Majukan Gibran dan Kaesang demi Kepentingan Anak Muda: Sebuah Alibi Jokowi?
Berlaganya Gibran dan Kaesang dalam Pemilu diklaim sebagai representasi baru politikus muda. Namun, sebagai anak muda, saya justru curiga itu cuma tokenisme belaka.
Jokowi memang tak lepas jadi sorotan publik. Setelah sebelumnya berhasil jadi king maker di balik kemenangan putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka di Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 dengan cara lancung, kini hal sama terulang kembali. Seperti deja vu, wacana pencalonan anak bungsunya, Kaesang Pangarep di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ditempuh dengan mengakali peraturan yang ada.
Mestinya jika ikut pada Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 Tahun 2020, tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati, dan/ Wali kota dan Wakil Wali Kota, tak ada peluang buat Kaesang untuk maju Pilkada. Namun, tiga hari selang uji materi Ahmad Ridha Sabana, Ketua Umum Partai Garuda ke Mahkamah Agung (MA), pasal itu jadi direvisi.
Kini, usia minimal calon kepala daerah tak lagi dihitung “sejak penetapan pasangan calon” melainkan “saat pelantikan”. Jika benar Kaesang maju dan menang di Jakarta, maka saat dilantik nanti, usianya pas 30 tahun.
Sejumlah pihak berang mendengar putusan MA tersebut. Dari akademisi hingga aktivis menilai, putusan ini adalah manuver kesekian Jokowi untuk membangun politik dinasti. Namun, dilansir dari Detik, para politisi macam Mardani Ali Sera dari PKS, Grace Natalie dari PSI, hingga Yohana Murtika dari Partai Garuda melihat, perubahan batas usia ini adalah sesuatu yang baik. Ia membuka keran agar semakin banyak politikus muda terlibat. Sehingga, suara anak muda akan kian terakomodasi.
Saya tak sepakat dengan para politisi itu. Dalam hemat saya sebagai anak muda yang mengamati dinamika politik belakangan, jelas ada yang bermasalah di sini. Saya harus mengamini pernyataan Violla Reininda, peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) di DW, bahwa representasi anak muda itu hanya omong kosong belaka. Ada banyak politik kepentingan di dalamnya yang terang benderang.
Baca juga: ‘End Game’ Jokowi, Kontroversi Kebijakan, dan Warisan Politik Dinasti
Representasi Anak Muda dalam Politik yang Jadi Token
Di Indonesia sendiri, jumlah orang muda yang terlibat dalam perpolitikan Indonesia terbilang sedikit. Pada Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 Februari lalu, menyitir Kompas, politikus senior nyatanya masih dominan. Ini selaras dengan modal jaringan, pendanaan, dan modal sosial yang memang jadi pertimbangan utama partai untuk memajukan kadernya.
Majunya Gibran yang digadang-gadang menyegarkan imej tua blantika politik kita, tak lebih dari pemanis saja. Nyatanya, regenerasi di partai politik masih stagnan. Melansir Katadata, hanya 3 dari 17 partai di Indonesia yang memiliki ketua umum berusia di bawah 50 tahun. Satu dari ketiga partai itu pun memiliki ketua umum dengan usia di atas 40 tahun. Sehingga, dapat dikatakan, hanya 11 persen atau dua partai dengan representasi muda yang didudukkan sebagai ketua. Mereka adalah Kaesang Pangarep (PSI), 29 dan Ridho Rahmadi, 39 dari Partai Ummat.
Masalahnya, duduknya anak muda sebagai pucuk partai, tak lepas dari kritik. Wawan Kurniawan, Peneliti Laboratorium Psikologi Politik Universitas Indonesia menemukan, sekali pun ada, partisipasi politik anak muda didominasi oleh mereka yang punya “akses khusus” terhadap partai.
Dalam risetnya bertajuk “Dari AHY hingga Kaesang: politikus muda masih didominasi dinasti politik, apa kabar kaderisasi partai? “ (2023) yang terbit di The Conversation itu dicontohkan sosok Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Tanpa waktu yang panjang, kata Wawan, AHY bisa meraih jabatan Ketua Umum Partai Demokrat kurang lebih selama empat tahun. Pencapaian ini konon tidak lepas dari posisi sang ayah, Susilo Bambang Yudhoyono, yang merupakan sosok penting dalam Partai Demokrat dan juga Presiden RI pada 2004-2014.
Dalam konteks politik Tanah Air, tak mudah buat anak muda untuk maju di Pemilu. Selemah-lemahnya iman, mereka yang ingin terjun, butuh sumber daya dan modalitas cukup dan privilese garis keturunan atau jejaring dengan orang penting.
Mungkin saja betul-betul ada politisi muda yang punya pandangan progresif, tapi mayoritas dimajukan sebagai simbol saja. Sebuah simbol kemajuan, penyegaran, regenerasi. Lalu diciptakanlah romantisasi politisi muda, kepentingan anak muda, mewakili anak muda, dan seterusnya. Padahal bisa jadi anak muda ini cuma jadi token setengah hati, atau alat agar kepentingan “orang penting” di baliknya bisa terwujud tanpa harus mengotori tangannya.
Baca juga: Putusan MK Soal Batas Umur Capres-Cawapres dan Potensi Dinasti Politik Jokowi
Saya mewawancarai Annisa R. Beta, pendiri Anotasi dan Dosen Budaya di Universitas Melbourne soal ini. Kata dia, meskipun kini kesempatan formal di bidang politik, sudah terbuka bagi anak muda, hal ini tidak otomatis menguntungkan mereka.
“Pada dasarnya membuka kesempatan partai politik formal membutuhkan persetujuan birokrasi yang nyata. Sayangnya, di Indonesia, birokrasi politik sendiri masih dipegang orang-orang ‘lama’ yang tidak mau melepas kekuasaannya,” jelas Annisa.
Padahal kata dia, membuka ruang partisipasi dan kesempatan kritik jauh lebih penting daripada memberikan tindakan performatif semacam ini. “Ini penting dilakukan pada semua level itu supaya partisipasi anak muda enggak semu seperti ini,” pungkasnya.