Safe Space

Bahkan di Ruang Digital Perempuan Palestina Masih Tak Aman

Tak cuma di ruang fisik, banyak perempuan Palestina yang juga mengalami kekerasan di internet.

Avatar
  • January 31, 2024
  • 6 min read
  • 1624 Views
Bahkan di Ruang Digital Perempuan Palestina Masih Tak Aman

Sara, perempuan Palestina dari Beit Hanoun di Jalur Gaza, menceritakan kisah temannya yang menjadi korban kekerasan daring.

“Teman saya punya dua akun Facebook,” kata Sara, dilansir dari Middle East Eye.

 

 

“Seorang lelaki menghubungi ia di akun Facebook alter dan mengancam bakal memposting fotonya di depan umum, jika tidak melakukan apa yang dimintanya. Teman saya takut karena hanya orang terbatas, bahkan tidak ada anggota keluarganya yang tahu dia punya akun Facebook lain.”

Teman Sara bukan satu-satunya di Palestina yang mendapat kekerasan berbasis gender online (KBGO). Laporan Pusat Pengembangan Media Sosial Arab (7amleh) dan Yayasan Kvinna til Kvinna Swedia (2018) yang dikutip Middle East Eye mencatat, sepertiga perempuan Palestina di Tepi Barat, Jalur Gaza, dan di wilayah Israel telah menjadi sasaran KBGO. Pelecehan ini bersumber dari masyarakat patriarkal dan pendudukan Israel.

Mulai dari mengirimkan gambar telanjang perempuan atau mengirim pesan yang tidak pantas pada seseorang. Belum lagi pemerasan dan stalking korban. Yang paling ekstrem, beberapa perempuan Palestina yang berselancar di internet dan vokal terkait isu kemanusiaan, kerap menerima ancaman pemerkosaan atau pembunuhan daring.

Laporan senada juga disampaikan UN Women. Di wilayah Negara Arab ditemukan, sebanyak 60 persen perempuan pengguna internet telah terpapar KBGO. Perempuan Palestina salah satunya jadi kelompok rentan yang paling banyak mengalami KBGO, yaitu 54,2 persen mengalahkan Tunisia (46,7 persen) dan Lebanon (35,2 persen).

Baca Juga: Elitisida, Kematian Refaat Alareer, dan Pembunuhan Orang Penting di Palestina

Kasus KBGO yang Terus Meningkat

7amleh Arab Center for Social Media Advancement mencatat lebih dari 3.000.000 pengguna internet Palestina terdaftar di Tepi Barat dan Gaza pada 2017 dan jumlahnya terus bertambah tiap tahun. Peningkatan pengguna internet, termasuk media sosial bagi masyarakat Palestina jadi medium bercakap-cakap sekaligus menggali informasi dari luar-luar batasan wilayah yang dikuasai Israel. Internet juga jadi medium perang melawan pendudukan Israel.

Sebelum mencapai lebih dari 3.000.000 pengguna internet, pada 2016, Assiwar Gerakan Arab Feminis melaporkan terdapat 13 persen kasus KBGO perempuan Palestina. Umumnya KBGO tersebut berupa ancaman dan pemerasan seksual (sextortion). Angka ini kemudian meningkat menjadi 35 persen pada 2017.

Kondisi Covid-19 dan mulai panasnya situasi politik di Palestina pada 2020 juga memperburuk situasi kekerasan yang dialami perempuan. The Palestinian Central Bureau of Statistics (PCBS) mencatat, jumlah pengaduan kejahatan siber termasuk KBGO yang diterima oleh unit kejahatan siber di kepolisian pada 2019 meningkat sebesar 11,2 persen, dari 2.420 menjadi 2.720 kasus pada 2020.

PCBS juga mencatat, ada sekitar 10 persen perempuan yang sudah atau pernah menikah di Palestina, mengalami beberapa bentuk kekerasan digital melalui media sosial dalam satu waktu. Sementara, 8 persen mengalami kekerasan melalui telepon atau pesan. Demikian pula, sekitar 12 persen perempuan yang belum menikah di Palestina pernah mengalami KBGO melalui media sosial, dan 8 persen pernah mengalami kekerasan melalui saluran telekomunikasi.

Baca Juga: 5 Buku tentang Palestina yang Harus Kamu Baca

Peningkatan KBGO pun terus terjadi sampai akhir 2022, di mana Sawa Foundation meningkat 31 persen dalam panggilan yang terkait dengan KBGO dibandingkan dengan 2020 dan 2021. Ahmed Qadi, Petugas Pemantauan dan Dokumentasi di 7amleh dan kepala Observatorium Pelanggaran Hak Digital Palestina menyebutkan, kenaikan kasus terbanyak terjadi pada Mei dan Juni 2021, yaitu selama ketegangan politik yang melanda Tepi Barat, termasuk Yerusalem Timur, Jalur Gaza, dan Israel.

Dalam catatan kasus KBGO, peretasan, penguntitan siber (cyber stalking), pemerasan, ujaran kebencian, dan sextortion selalu jadi bentuk-bentuk KBGO yang paling banyak dialami perempuan Palestina. Adapun menurut para peneliti Palestina di bidang hak-hak perempuan dikutip dari studi 7amleh Arab, KBGO perempuan setempat mengalami kekerasan berlapis-lapis yang bersifat akumulatif.

Di satu sisi, mereka menderita akibat kebijakan dan praktik kolonial dan otoriter Israel yang melanggar hak asasi manusia. Hal yang tercermin dalam data survei 7amleh pada 2022 yang menunjukkan perempuan Palestina di Israel selalu menempati urutan pertama dalam kasus KBGO, disusul Gaza lalu Tepi Barat. Perempuan Palestina di Israel dalam hal ini, mengalami penguntitan siber, peretasan, dan pelecehan daring berupa targeted gender-based offensive or derogatory.

Di sisi lain, mereka juga mengalami kekerasan akibat wacana patriarkis dan bias gender yang terdapat dalam masyarakatnya sendiri. Dalam penelitian 7amleh pada 2018 didapati kebebasan berekspresi tidak berbanding lurus dengan keterwakilan perempuan di ranah publik. Ketika Palestina menjadi semakin nasionalis, ranah politik menjadi semakin didominasi laki-laki dan patriarki semakin menguat.

Imbasnya, perempuan jadi jauh lebih rentan mengalami KBGO. Salah satu narasumber Amany dari Beit Hanoun berujar, ia dan perempuan Palestina muda lain kini takut jika ingin mengritik sesuatu yang terjadi di Gaza. Mereka takut pada pemerintah Hamas mengingat saat kampanye digital “Hastag Palestina 2017” berujung pada penangkapan sejumlah perempuan Palestina atas tuduhan penghasutan di media sosial oleh Hamas, otoritas Palestina, dan Israel.

Baca Juga: Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina

Perempuan Pembela HAM Paling Rentan jadi Korban

Ketakutan Amany lebih jauh menggarisbawahi tentang permasalahan mendalam soal persekusi yang dialami perempuan pembela HAM. Mereka adalah aktivis dan jurnalis yang Palestina memang jadi yang paling rentan mengalami KBGO.

Melansir dari laman resmi Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCR) dan Addameer Prisoner Support and Human Rights Association, perempuan pembela HAM Palestina kerap jadi korban ujaran kebencian dan ancaman di ranah digital. Mereka dan keluarganya mendapatkan ancaman pembunuhan serta pemerkosaan.

Contoh yang menonjol dari kasus KBGO adalah penangkapan jurnalis dan profesor di Universitas Birzeit Dr. Wadad Barghouthi. Israel mengklaim postingan Wadad di Facebook mendukung aktivitas dan organisasi permusuhan. Sebelum ditangkap atas tuduhan penghasutan di media sosial, Wadad sebelumnya sudah mengalami berbagai jenis KBGO di media sosial, mencakup ancaman, hinaan, dan beberapa bentuk pelecehan lain.

Asosiasi Dukungan Tahanan dan Hak Asasi Manusia Addameer menggambarkan tuduhan ini sebagai manifestasi dari pendudukan Israel untuk menindas kebebasan berpendapat dan berekspresi.

Tak cuma Wadad, perempuan jurnalis atau aktivis di Tepi Barat dan Tepi Barat Jalur Gaza juga pernah dipersekusi di jagat maya. Ini terjadi saat perempuan jurnalis dan aktivis ikut berdemonstrasi di Ramallah pada Juni 2021, menentang pembunuhan mendiang aktivis Palestina Nizar Banat oleh keamanan otoritas Palestina.

Pada hari itu, pihak-pihak yang berafiliasi dengan dinas keamanan otoritas Palestina sengaja mencuri telepon genggam para pengunjuk rasa, terutama jurnalis perempuan dan perempuan aktivis. Otoritas dengan sengaja membocorkan dan mengunggah gambar-gambar yang memengaruhi privasi mereka di media sosial, menghasut, dan melecehkan secara fisik dan verbal.

Sayangnya hingga kini, perempuan Palestina tak bisa mendapatkan perlindungan hukum dari kekerasan. Palestina telah meratifikasi dua puluh satu perjanjian internasional, termasuk Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) dan Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional. Namun, ketiadaan negara Palestina yang berdaulat menghalangi otoritas negara untuk memenuhi kewajiban dalam mencegah kekerasan terhadap perempuan.

Situasi ini tercermin dalam data PCBS di mana lebih dari separuh perempuan Palestina lebih memilih bungkam atas kekerasan yang mereka alami. Selain karena tak percaya pada aparat, ada ketakutan dari perempuan yang sudah menikah, bakal distigma jika melaporkan kekerasan tersebut.

Berbagai rekomendasi diberikan kepada beberapa lembaga HAM terkait kasus KBGO yang menimpa perempuan Palestina. Di antaranya, kampanye hak-hak digital, pembentukan ruang aman dan solidaritas atas sesama perempuan penyintas, dan kolaborasi bersama dengan kepolisian di wilayah masing-masing.

Namun, rekomendasi ini sia-sia saja mengingat kekerasan yang dialami perempuan Palestina juga berakar dari kedaulatan negaranya. Karena itu, hal yang justru paling mendesak dan penting untuk dilakukan adalah dengan mendorong kebebasan masyarakat Palestina dari segala pendudukan. Dengan kedaulatan yang mereka punya, Palestina bisa fokus membangun negaranya, termasuk memberikan hak dan perlindungan hukum bagi para perempuan untuk terbebas dari kekerasan.

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.