Keistimewaan Seorang Minoritas di Indonesia
Menjadi ‘triple minority’ membuat penulis mudah memeluk perbedaan karena biasa sendirian dan dikucilkan.
Suatu hari, setelah berbincang dengan teman lama, aku baru menyadari betapa istimewanya aku sebagai kaum minoritas. Aku punya tiga keistimewaan: dari suku di Indonesia Timur, non-Muslim, dan perempuan. Diskriminasi dan rasialisme adalah makanan sehari-hari. Lantas, mengapa hal ini aku sebut istimewa?
Terkadang, untuk menumbuhkan kepekaan terhadap lingkungan sekitar yang tidak adil dan kejam, kita perlu menjadi korban. Atau setidaknya, saksi terhadap suatu ketidakadilan. Untuk menjadi terbuka, yang harus dilakukan adalah memeluk perbedaan dan sebagian besar yang berani memeluk perbedaan adalah mereka yang dijadikan liyan dan diasingkan. Mengapa? Karena mereka tahu rasanya sendirian dan dikucilkan.
Temanku ini adalah salah satu yang kurang beruntung. Entah bagaimana ceritanya, kami sampai pada sebuah pembahasan mengenai feminisme dan LGBTQ+ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer). Menurutnya, dia sangat terbuka terhadap segala perbedaan. Namun ketika kutanya, “Lalu bagaimana pendapatmu tentang homoseksual?” Ia menjawab, “Aku enggak apa-apa, tetapi kalau mereka diajak kembali ke kodratnya, kenapa tidak?” Menurutnya, kodrat yang dimaksud bersumber dari agamanya, dan agamanya adalah kebenaran mutlak. Dia menganggap bahwa yang benar adalah peran laki-laki dan perempuan seperti yang tertulis dalam kitabnya, dan bahwa dari sono-nya manusia diciptakan berpasangan, laki-laki untuk perempuan, dan sebaliknya. Di situ aku terenyak dan hanya bisa tertegun memandangnya. Kuhentikan perbincangan itu dan aku pun pulang dalam kebingungan.
Aku heran dengan stempel “terbuka” yang dia berikan untuk dirinya sendiri. Teman lamaku itu tidak terbuka, dia hanya toleran. Sedangkan toleransi itu tidak pernah cukup untuk menghilangkan diskriminasi. Toleransi tidak memeluk perbedaan, namun sekadar menjadikan perbedaan sebagai pemandangan di depan etalase yang harus dihargai. Untuk menjadi terbuka, seseorang harus dapat mencintai perbedaan. Agar bisa mencintai, seseorang harus mengenal, merasakan, dan menempatkan dirinya dalam keadaan orang lain yang dijadikan liyan tersebut. Hal-hal itulah yang biasanya bisa dirasakan oleh si minoritas, atau bisa juga si mayoritas yang mau peka dan peduli terhadap fenomena sekitar yang tidak selamanya ideal.
Sepulang dari pertemuan itu, aku bertanya-tanya. Mengapa hal sesederhana itu tidak dapat dipahami semua orang? Kemudian aku menyadari, mungkin karena temanku itu tidak memiliki keistimewaan yang aku miliki. Teman kencanku itu adalah seorang laki-laki, muslim, dan Jawa. Dia berasal dari keluarga yang cukup berada, dan “lurus” alias tidak gay. Dia adalah seorang mayoritas, dan juga berkawan dengan sesama mayoritas. Mungkin saja, dari kecil hingga dewasa, dia tidak pernah terpapar hal-hal yang berbeda darinya.
Lalu kubandingkan pengalaman yang aku punya. Di tanah Jawa, aku jelas terlihat sangat berbeda dari yang lain. Perisakan dan rasialisme tidak pernah absen. Itu mengapa aku lebih peka terhadap perbedaan. Sebagian besar teman-temanku juga setidaknya memiliki satu hal yang membuat mereka kadang merasa terkucilkan, sehingga kepekaan mereka pun terlatih. Mulai dari teman-temanku yang LGBTQ+, keturunan Cina, orang luar Jawa, perempuan, bukan dari keluarga berada, punya masalah kesehatan mental, dan banyak lagi. Hal-hal di luar yang ideal itulah yang membuat mereka tidak takut memeluk perbedaan, karena sesama alien tidak mendiskriminasi. Mereka tidak lagi memegang kebenaran mutlak, karena pemegang kebenaran mutlak pasti penuh penghakiman terhadap sesuatu yang dianggapnya tidak normal.
Pada akhirnya aku menyimpulkan, sebetulnya hanya ada tiga jenis manusia di dunia ini. Satu yang bodoh, alias sama sekali tidak ada harapan untuk menerima perbedaan. Dua, yang tidak peka seperti temanku, dan tiga, adalah mereka yang peka. Jadi, berbanggalah bagi kalian yang peka!
Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa