Kekerasan Domestik di Kota: Di Mana Peran Tanggung Jawab Sosial?
Kekerasan domestik di perkotaan kerap terjadi tanpa perhatian masyarakat, meskipun seharusnya ada tanggung jawab sosial yang melekat untuk menanggapi hal tersebut.
Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan bahwa pada tahun 2023, lembaga itu menerima lebih dari 457 ribu aduan kekerasan terhadap perempuan. Dari jumlah itu, kekerasan di ranah personal merupakan kasus paling menonjol (99 persen). Angka tersebut hanyalah puncak gunung es karena merupakan data kasus yang dilaporkan saja.
Ini tidak hanya terjadi di Indonesia. Di Eropa, misalnya, hanya 2,5 persen sampai 15 persen saja dari perempuan korban kekerasan domestik yang akhirnya meminta pertolongan. Faktornya beragam, dari rasa malu sampai kebiasaan menyalahkan korban atau victim blaming.
Yang acap kali menjadi keresahan dan refleksi pribadi saya adalah “kesunyian sosial” atau pengabaian dari orang-orang sekitar korban. Hal ini didasarkan pada pengalaman pribadi saya menghadapi bystander effect (efek pengamat), saat orang-orang di sekitar hanya diam saat terjadi kekerasan terhadap perempuan. Di negara dengan budaya patriarki yang masih mengakar ini, saya yakin saya tidak sendiri.
Survei yang dilakukan Komisi Eropa menunjukkan bahwa banyak responden yang mengetahui perempuan menjadi korban kekerasan domestik. Artinya, seperti yang ditulis oleh peneliti Enrique Gracia (2004), kemungkinan besar kasus kekerasan terhadap perempuan diketahui oleh orang di sekitarnya, namun berhenti di situ dan tidak dilaporkan.
Laporan terbaru dari kolektif Jakarta Feminist menyebutkan bahwa 37 persen kasus femisida, atau pembunuhan berbasis gender, terjadi dalam relasi intim dan korban kemungkinan sudah mengalami kekerasan sebelumnya. Selain responsivitas aparat penegak hukum, kesadaran dan kepekaan masyarakat dianggap menjadi hal yang penting untuk mencegah hal tersebut bisa terjadi.
Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, 4 Hal yang Bisa Kamu Lakukan untuk Bantu Korban KDRT
Kekerasan Domestik di Perkotaan
Lalu bagaimana jika kekerasan terjadi di area perkotaan, di mana norma privasi lebih dijaga dan individualisme lebih kuat? Saya mencoba mencari perbedaan karakteristik respons dan penanganan kasus kekerasan di kota dan di desa di Indonesia, namun tidak menemukannya. Menurut saya, ini bisa menjadi sesuatu yang menarik untuk ditelisik.
Stanley Milgram, seorang ahli psikologi dari Amerika, pada tahun 1969 mengisahkan pengalamannya berpindah dari wilayah perdesaan ke kota besar. Ia membuka tulisannya dengan kalimat, “When I first came to New York, it seemed like a nightmare”. Menurutnya, individu di kota cenderung mengalami kelebihan beban psikologis akibat kepadatan penduduk yang lebih tinggi, tuntutan sosial yang lebih besar, dan masyarakat yang lebih heterogen. Kelebihan beban ini berdampak negatif kepada bagaimana individu melihat tanggung jawab sosial.
Kelebihan beban psikologis mendorong individu untuk beradaptasi, salah satunya dengan mengabaikan input tertentu yang dianggap tidak relevan atau tidak penting. Ketika kekerasan terhadap perempuan tidak dianggap sebagai sesuatu yang penting bagi dirinya dan bagi banyak orang di sekitarnya, terjadi kelumpuhan aksi secara kolektif (collective paralysis of action).
Milgram memberikan contoh kasus pembunuhan seorang perempuan bernama Genovese pada tahun 1964. Sebuah media ternama menerbitkan judul berita “37 Who Saw Murder Didn’t Call the Police”. Tidak ada seorang pun dari 37 saksi pembunuhan melapor kepada polisi. Di dalam kerumunan, terjadi difusi tanggung jawab dan efek pengamat, yaitu persepsi individu bahwa ada orang lain yang akan mengambil langkah nyata, sehingga ia tidak perlu melakukan apa-apa. Kota yang heterogen memiliki keberagaman perilaku dan norma, sehingga individu ragu untuk bertindak karena takut melanggar privasi atau melanggar batas-batas tertentu yang dianggap berbeda oleh orang lain.
Di Indonesia, hal mirip terjadi tahun 2015 pada kasus pembunuhan seorang anak perempuan di Bali. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengatakan bahwa banyak orang di sekitar anak perempuan tersebut mengetahui kekerasan yang menimpanya sebelum ia dibunuh, namun tidak melaporkannya. KPAI juga menyerukan kepada orang sekitar untuk melaporkan, saat merespons kasus pembunuhan seorang anak di permukiman padat penduduk pada tahun 2017.
Tahun lalu, seorang perempuan bernama Mega Suryani Dewi dibunuh secara keji oleh suaminya di dalam rumah kontrakan mereka di Jakarta Barat. Sebelumnya, ia sempat melaporkan kekerasan yang dialaminya kepada aparat keamanan, namun tidak digubris. Kisahnya berakhir tragis, dan yang lebih mengenaskan, Mega tidak sendiri. Kasus serupa, baik yang melibatkan perempuan maupun anak perempuan terus terjadi di negeri ini.
Baca juga: Kekerasan Anak di ‘Daycare’ Depok, Saya Ngobrol dengan Ibu Pekerja untuk Cari Tahu Solusinya
Kekerasan Domestik dan Tanggung Jawab Sosial
Menurut Milgram, faktor sosial, yaitu budaya diam dan budaya toleransi terhadap kekerasan, berkontribusi pada langgengnya kekerasan. Sebaliknya, penelitian Gracia pada 2009 menunjukkan, semakin individu memiliki tanggung jawab personal terhadap kekerasan, ia akan lebih ingin mengintervensi dan melaporkan kasus tersebut kepada pihak berwenang.
Milgram mengatakan, salah satu respons adaptif kota dalam menghadapi persoalan kekerasan terhadap perempuan adalah dengan menciptakan institusi penerima laporan yang lebih responsif. Menurutnya, warga kota cenderung lambat dan enggan merespons krisis yang terjadi pada orang lain, sehingga perlu ada institusi keamanan dan lembaga pengada layanan yang lebih responsif terhadap laporan, tidak lamban, apalagi menolak mentah-mentah ataupun melakukan viktimisasi ulang terhadap korban.
Selain itu, perlu ada kesadaran akan adanya potensi efek pengamat dan edukasi memadai mengenai penanganan kekerasan domestik. Semua hal ini perlu diupayakan agar warga dan institusi bisa lebih proaktif dalam melaporkan dan mengintervensi situasi darurat, untuk menyelamatkan korban, menekan kerusakan, dan menghindari kelumpuhan tindakan kolektif di dalam konteks perkotaan.
Baca juga: Ciptakan Kota Aman Bagi Anak Perempuan
Jika warga menyadari potensi efek pengamat dan keluar dari zona nyamannya, memahami langkah yang harus diambil untuk merespons kekerasan domestik, serta mengetahui adanya institusi yang bertanggung jawab serta responsif, mungkin akan ada banyak nyawa perempuan dan anak yang bisa terselamatkan.
Semoga tulisan ini bisa menjadi refleksi bersama agar kekerasan terhadap perempuan dapat dihentikan. Yang juga penting, pelaku mendapatkan hukuman yang sepatutnya, bukan melenggang bebas tanpa beban, menikmati impunitasnya.
Lola Loveita adalah seorang Ibu satu anak yang bekerja untuk isu HAM, termasuk kesetaraan gender dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Saat ini sedang menempuh studi Magister Psikologi Sosial di Universitas Indonesia.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari