Issues

Kasus Kekerasan Seksual Priguna: Pelanggaran Etika dan Hak Pasien

Kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh dokter residen Unpad terhadap keluarga pasien mengungkap pentingnya memahami hak-hak pasien dan etika profesi medis.

  • April 14, 2025
  • 5 min read
  • 867 Views
Kasus Kekerasan Seksual Priguna: Pelanggaran Etika dan Hak Pasien

Pemerkosaan terhadap keluarga pasien oleh dokter residen Universitas Padjadjaran (Unpad) adalah pengkhianatan terhadap sumpah profesi dan nilai dasar kemanusiaan. Ilmu kedokteran yang seharusnya digunakan untuk menyelamatkan nyawa justru dijadikan alat untuk melakukan kejahatan seksual.

Tindakan kriminal ini dilakukan oleh Priguna Anugerah Pratama, dokter residen Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) anestesi Unpad, terhadap seorang perempuan yang tengah menjaga ayahnya di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), Bandung.

 

Peristiwa itu terjadi 18 Maret 2025, saat korban diminta Priguna melakukan pengecekan kecocokan golongan darah untuk kebutuhan transfusi sang ayah. Sekitar pukul 01.00 WIB, korban diminta mengganti pakaian dengan baju operasi.

Namun, alih-alih mengambil darah untuk melihat kecocokan, Priguna malah menyuntikkan infus berisi obat bius ke tangan korban. Setelah disuntik 15 kali, korban merasa pusing dan kehilangan kesadaran.

“Korban sadar sekitar pukul 04.00 WIB, lalu diminta berganti pakaian dan diantar ke lantai bawah. Saat buang air kecil, ia merasakan perih di bagian tubuh yang terkena air,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat (Polda Jabar) Komisaris Besar Polisi Hendra Rochmawan, di Bandung (9/4/25).

Korban langsung meminta visum dan melapor ke Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jabar. krimum Polda Jabar. Polisi mengumpulkan bukti dan memeriksa 11 saksi, di antaranya korban, ibu dan adik korban, beberapa perawat, serta dokter di rumah sakit. Priguna kemudian ditangkap pada 23 Maret, lima hari setelah kejadian. Ia dijerat Pasal 6 huruf C Undang-Undang No. 12/2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).

RSHS telah mengembalikan Priguna ke Unpad dan memberhentikannya dari program PPDS. Direktur Jenderal Kesehatan Lanjutan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Azhar Jaya menjelaskan bahwa Kemenkes melarang pelaku melanjutkan Pendidikan spesialis seumur hidup.

Baca juga: Kasus Kekerasan Seksual I Wayan Agus: Siapa pun Bisa Jadi Pelaku Termasuk Orang Disabilitas

Pengkhianatan etika kedokteran

Perilaku Priguna menunjukkan pengkhianatan terhadap nilai-nilai dasar profesi medis. Menurut dokter Muhammad Gilang Dwi Putra dari Unpad dan RSHS, sejak awal pendidikan di fakultas kedokteran, mahasiswa telah diajarkan etika secara mendalam.

“Sejak baru masuk FK, kami mempelajari etika profesi dengan sangat serius. Karena kita akan dipersiapkan menjadi dokter,” ujarnya kepada Magdalene lewat wawancara video, Jumat (11/4). Gilang adalah Koordinator Penelitian Klinis di Unit Penelitian Klinis Departemen Ilmu Kesehatan Anak Unpad dan RSHS.

Terdapat empat prinsip dasar etika kedokteran yang wajib dijunjung tinggi: tidak membahayakan dan menyakiti pasien dan keluarga pasien; menghargai otonomi pasien; memberi tindakan medis terbaik untuk pasien; serta memegang prinsip-prinsip hukum dan keadilan. Tindakan Priguna melanggar keempat prinsip tersebut.

Pun demikian, masyarakat perlu memahami hak-haknya saat berada di rumah sakit agar tidak menjadi korban oknum seperti Priguna. Salah satu prinsip penting adalah otonomi pasien, yakni hak pasien untuk mengambil keputusan atas tindakan medis yang akan dilakukan.

“Bentuk paling dasarnya, seorang dokter harus meminta izin kepada pasien sebelum melakukan pemeriksaan,” ujar Gilang.

Pasien juga berhak menolak saran dokter, dan dokter wajib menghormatinya. Untuk tindakan medis yang serius, biasanya diperlukan informed consent atau persetujuan tertulis dari pasien.

Informed consent ada yang bentuknya verbal dan tertulis, tergantung tingkat risikonya. Biasanya yang tertulis dan ditandatangani itu untuk tindakan-tindakan yang agak besar, contohnya pemberian obat keras,” Gilang menjelaskan.

Pasien juga berhak mendapat informasi lengkap mengenai prosedur dan pengobatan yang akan diberikan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 276 UU No. 17/2023 tentang Kesehatan. Bahkan, pasien bisa meminta pendapat dari tenaga medis lain.

Di sisi lain, dokter berkewajiban untuk menginformasikan kepada pasien secara lengkap tanpa ada yang ditutup-tutupi. Informasi tentang pasien pun bersifat rahasia. Bahkan dokter tak bisa membagikan informasi medis pasien kepada keluarga pasien tanpa meminta izin terlebih dahulu.

Baca juga: Kekerasan Seksual Kian Marak, di Mana Amarah Para Lelaki?

Kenali alur tindakan dan identifikasi petugas

Setelah sadar akan hak sebagai pasien, masyarakat juga harus meningkatkan kekritisan di rumah sakit. Pasien sebaiknya memeriksa kredibilitas dokter dan memahami alur tindakan di rumah sakit.

Biasanya, rumah sakit menyediakan informasi prosedur di majalah dinding, seperti alur pengambilan darah. “Misalnya di unit donor darah, ada peta alur: siapa petugasnya, prosesnya seperti apa,” kata Gilang.

Jika pasien diajak ke ruangan yang tidak sesuai alur, ia berhak bertanya. Apabila terdapat kejanggalan, pasien bisa melapor ke layanan pelanggan rumah sakit.

Petugas medis pun harus dapat diidentifikasi. Lazimnya, proses mengambil darah juga dilakukan oleh perawat atau flebotomis (tenaga ahli pengambilan darah). Namun, jika perawat atau flebotomis gagal melakukan tindakan tersebut, dokter bisa juga mengambil darah pasien. Pasien disarankan memeriksa kartu identitas dan mencocokkannya dengan data di situs resmi Konsil Kedokteran Indonesia: https://kki.go.id/cekdokter/form.

“Kita bisa cek, apakah benar orang ini terdaftar dan bertugas di rumah sakit tersebut,” tambah Gilang.

Hal lain yang mencurigakan dari kasus ini adalah akses Priguna terhadap obat bius. Menurut Gilang, prosedur pengambilan obat bius sangat ketat dan tidak bisa diakses sembarangan, bahkan oleh dokter umum.

Obat bius hanya bisa diakses oleh dokter tertentu, disertai resep khusus dan prosedur pemantauan ketat. Sisa obat pun harus dilaporkan kembali ke bagian farmasi.

Baca juga: Korban Makin Rentan, Dilema ‘Spill the Tea’ Kasus Kekerasan Seksual

“Secara standar, itu tidak mudah diakses. Tapi soal bagaimana Priguna bisa mendapatkannya, saya tidak tahu,” ujarnya.

Pada akhirnya, yang paling penting adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan hak dan prosedur medis. Pasien perlu aktif bertanya, mengenali petugas medis, dan memahami setiap tahap tindakan medis.

“Kita semua perlu lebih kritis. Tanya siapa yang menangani, pakai alat apa, prosedurnya bagaimana. Itu hak kita,” tegas Gilang.



#waveforequality
About Author

Andrei Wilmar

Andrei Wilmar bermimpi buat jadi wartawan desk metropolitan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *