Kelompok Moderat Didesak Lebih Bersuara Lawan Radikalisme, Terorisme
Kelompok moderat harus mengorganisasi diri lebih solid untuk menandingi narasi kelompok radikal.
Indonesia sedang melalui masa-masa kritis dengan munculnya aksi-aksi terorisme di beberapa lokasi baru-baru ini. Lantas, apa saja yang harus kita pahami mengenai aksi-aksi tersebut? Peran apa yang harus kita jalankan?
Direktur Wahid Foundation, Yenny Wahid, menekankan pentingnya bagi mayoritas yang moderat untuk mulai lantang menyuarakan posisi terkait isu terorisme dan radikalisme.
“Penting untuk melibatkan masyarakat sipil dalam masalah pencegahan terjadinya terorisme di masa depan. Selama ini mayoritas masyarakat kita adalah masyarakat yang moderat, sayangnya mereka adalah ‘silent majority’ (mayoritas yang diam). Sudah saatnya kita, yang moderat, mulai bersuara,” ujar Yenny dalam diskusi “Setelah Mako Brimob dan Bom Surabaya” yang diadakan lembaganya pada Selasa, 15 Mei.
Ia menyadari bahwa ada pula faktor narasi simplistis yang menyebabkan kuatnya narasi radikal.
“Selama ini narasi-narasi radikal lebih bergaung karena cara mereka mengemas narasi yang jauh lebih unggul. Mereka menggunakan isu-isu bombastis, sensasional, hitam-putih, miskin-kaya, baik-jahat. Narasi-narasi yang mereka sodorkan adalah narasi-narasi yang sangat simplistis sehingga efektif dan mudah dipahami untuk mengobarkan kebencian,” tambah Yenny.
Dengan demikian, Yenny mendorong agar kelompok moderat mulai menata diri agar mampu membawa wacana tandingan terhadap narasi kelompok radikal.
“Kemampuan pengorganisasian kelompok moderat masih terbilang lemah. Oleh karena itu, sekarang adalah saat yang tepat bagi kita untuk mengorganisir diri. Kita harus lebih aktif bersuara. Jika ada kampus yang mengundang, kita datang. Jika ada gereja yang ingin memecahkan masalah ini bersama, kita juga sangat welcome. Kita ingin melibatkan publik yang lebih luas dalam dialog,” ujarnya.
Akademisi Muslim Abdul Moqsith Ghazali mendesak umat Islam untuk secara aktif mengevaluasi dan merefleksi pesan-pesan yang disampaikan oleh pemuka agama, yang sering menyuarakan pesan-pesan radikalisme.
“Tentu kami tidak memiliki kapasitas untuk menuntut sertifikasi ustaz. Namun, kita semua dapat mendorong agar masyarakat mulai aktif memilih dan menyeleksi ustaz-ustaz berdasarkan nilai-nilai seperti apa yang mereka sampaikan,” jelas Moqsith.
“Semua harus berhati-hati ketika ada seorang ustaz yang secara mudah dan cepat menjawab segala pertanyaan; mengomentari isu ekonomi, politik, dan sebagainya, yang sebenarnya bukan bidang keahliannya. Bagi seorang ustaz untuk mengeluarkan pernyataan itu juga harus dipikirkan baik-baik serta dikaji secara mendalam. Tidak semestinya semudah mengeluarkan fatwa halal atau haram, kafir atau bukan tanpa landasan yang jelas.”
Selain itu, Moqsith juga mendorong pembenahan kualitas guru agama dan kepala sekolah di Indonesia karena masih banyak guru-guru di sekolah yang memiliki pandangan intoleran, atau tidak mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan murid dengan baik.
“Hasilnya, murid mencari jawaban dari sumber lain yang tidak terpercaya. Sepengetahuan saya, Wahid Foundation selama ini memiliki program untuk mengatasi masalah tersebut, yakni dengan melakukan pelatihan pada guru-guru agama dan kepala sekolah terkait nilai-nilai seperti apa yang harus mereka sampaikan kepada murid,” ujarnya.
Terkait dengan kasus pelaku terorisme yang adalah anak-anak usia remaja dari organisasi Islam, Moqsith mengimbau masyarakat untuk tidak memupuk stigma.
“Meski memang pada kenyataannya paham radikal turut berkembang di ranah sekolah, tetap kita tidak semestinya menekan ataupun mengintimidasi organisasi keislaman di sekolah-sekolah. Kelompok Rohis (Rohani Islam) tidak perlu dilarang. Hal tersebut hanya akan semakin mengukuhkan para ekstremis, sehingga mereka akan cenderung defensif dan melakukan pergerakan bawah tanah yang tak dapat kita pantau,” ujarnya.
“Yang harus kita lakukan justru adalah merangkul anak-anak muda tersebut, dan memberikan pemahaman tentang kemanusiaan yang baik kepada mereka,” kata Moqsith.
Posisi perempuan dalam aksi terorisme
Serangkaian pengeboman mematikan di Jawa Timur dan pembunuhan brutal Markas Komando Korps Brigade Mobil (Mako Brimob) Kelapa Dua, Depok, terjadi hanya dalam waktu seminggu. Setelah penyerangan oleh narapidana terorisme yang menewaskan lima polisi di Mako Brimob pada 8 Mei 2018, Surabaya diguncang tiga bom bunuh diri yang dilakukan setidaknya tiga keluarga, yang melibatkan perempuan dan anak-anak.
Peneliti dan akademisi Navhat Nuraniyah mengatakan pelibatan perempuan dan anak-anak menunjukkan adanya perubahan pola aksi terorisme.
“Sejak awal berdirinya jaringan teroris sekitar 2014-2015, ISIS (kelompok teroris Negara Islam) baru mewajibkan perempuan untuk berjihad secara fisik pada 2017. Sebelumnya, perempuan dan anak-anak tidak pernah diperbolehkan melancarkan penyerangan karena adanya pemikiran jangka panjang: regenerasi. Oleh karena itu, pada mulanya perempuan dan anak-anak dijaga agar gerakan mereka selalu ada penerusnya,” jelas Navhat.
Yenny Wahid menyebutkan bahwa perempuan telah banyak terlibat “di balik layar” dalam pelaksanaan aksi-aksi terorisme. Kebanyakan menjalankan peran sebagai perekrut, karena kemampuan mereka melakukan pendekatan perlahan, serta bagian logistik, karena perempuan cenderung tidak dicurigai ketika menyewa mobil, memesan bahan-bahan bom, dan lain sebagainya, ujarnya.
Selain itu, Navhat menemukan bahwa pelibatan perempuan dan anak-anak dalam aksi penyerangan mengindikasikan semakin terbatasnya jumlah anggota kelompok teroris tersebut.
“Dapat dikatakan bahwa pelibatan perempuan dan anak-anak adalah sebuah bentuk langkah taktis mereka. Perempuan, apalagi membawa anak-anak, cenderung tidak dicurigai—tidak dianggap berbahaya karena diasumsikan tidak punya tendensi kekerasan,” ujarnya.
“Selain itu, ada faktor ‘shocking effect’ sehingga pemberitaan media berpotensi lebih masif. Pelaku perempuan juga punya dampak menekan laki-laki yang tadinya tidak mau berpartisipasi dalam aksi: ‘Perempuan saja bisa, apakah kamu tidak malu?.”
Fakta bahwa pelaku pengeboman melibatkan satu keluarga juga dibaca Navhat sebagai perkembangan pola.
“Sejak awal, banyak perempuan sudah mengajukan diri untuk terlibat aksi-aksi penyerangan. Meski demikian, mereka masih mempercayai bahwa ketika laki-laki dan perempuan berbaur maka rawan menimbulkan fitnah. Oleh karena itu, perempuan pada mulanya tidak dilibatkan. Nah, pola yang sekarang, perempuan dinikahi dahulu, sehingga perencanaan dan penyerangan dilakukan dengan sesama muhrim-nya,” Navhat menambahkan.
Adapun motif keterlibatan perempuan dalam aksi terorisme, Navhat menyebutkan salah satunya adalah “penghormatan”.
“Beberapa perempuan melakukan aksi bom bunuh diri karena berasumsi bahwa tindakan tersebut akan menuai penghormatan dari lingkungan mereka. Terkait motif ini, biasanya para perempuan cenderung berasal dari kelompok yang kurang berdaya, sehingga mengorbankan diri mereka untuk sesuatu yang mereka anggap terhormat diasumsikan mampu menaikkan martabat mereka,” jelasnya.
Selain itu, tambahnya, motif-motif lain keterlibatan perempuan dalam aksi bom bunuh diri adalah membalas dendam atas kematian suami atau orang terdekatnya, dan upaya pertobatan dan penebusan dosa di masa lalu.
Saat ini, perempuan yang ditahan dalam kasus terorisme di Indonesia, antara lain perempuan yang terbang dari Indonesia untuk bergabung dengan ISIS namun tertangkap di Turki dan sekitarnya sehingga dideportasi, narapidana teroris, serta kelompok buruh migran yang mengalami radikalisasi di luar Indonesia.
“Meski jumlah perempuan yang terbawa pandangan ekstrem banyak, hingga saat ini pemerintah belum punya program deradikalisasi yang jelas. Sesekali mereka menyelenggarakan dua-tiga hari penyuluhan pada perempuan-perempuan tersebut, tapi tidak bertanggung jawab soal akomodasi mereka sehingga hasilnya cenderung tidak maksimal. Selain itu, anak-anak dari perempuan-perempuan ini juga seharusnya memperoleh hak mereka atas pendidikan yang layak sebagai langkah pemberdayaan,” ujar Navhat.
Baca juga tentang kesejarahan penutup tubuh perempuan