Menolak Lupa Kematian Helmud Hontong, Pejabat yang Tolak Tambang Sangihe
Pada (19/12), empat aktivis lingkungan berinisial TM, MH, DR, dan MR dilaporkan ditangkap di Denpasar, Bali. Informasi tersebut disampaikan melalui kanal WhatsApp Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Bali. Penangkapan disebut terjadi menjelang siang hari dan diduga berkaitan dengan tuduhan keterlibatan mereka sebagai provokator aksi demonstrasi pada Agustus 2025.
Berdasarkan informasi yang dihimpun YLBHI Bali, keempat aktivis itu dibawa menggunakan mobil polisi oleh sekitar 20 orang berpakaian preman yang mengaku berasal dari Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) dan Kepolisian Daerah (Polda) Bali.
Baca Juga: Di Mana Ada Tambang Nikel, Di Situ Perempuan Jadi Korban
Kasus ini menambah daftar penangkapan terhadap aktivis lingkungan dalam beberapa waktu terakhir. Pada bulan sebelumnya, dua aktivis lingkungan—Adetya Pramandira atau Dera dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Jawa Timur dan Fathul Munif dari Aksi Kamisan—juga dilaporkan ditangkap.
Keduanya ditangkap setelah menyampaikan laporan dugaan perusakan lingkungan dan ancaman terhadap ruang hidup petani Sumberrejo, Jepara, kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan). Laporan tersebut menyoroti aktivitas salah satu perusahaan tambang di wilayah tersebut.
Dalam situasi tersebut, perhatian publik kembali tertuju pada berbagai penolakan terhadap proyek ekstraktif di Indonesia. Salah satu yang kembali dibicarakan adalah sikap almarhum Wakil Bupati Kepulauan Sangihe, Helmud Hontong, yang semasa hidupnya secara terbuka menyampaikan penolakan terhadap izin tambang emas di wilayah Sangihe.
Nama Helmud Hontong kembali muncul dalam percakapan publik, seiring ingatan atas sikapnya yang pernah disampaikan secara resmi kepada pemerintah pusat terkait risiko lingkungan dan dampak sosial dari aktivitas pertambangan di daerah kepulauan tersebut.
Baca Juga: Perempuan Desa Melawan Tambang: Tak Hanya Membela Tanah, Tapi Merawat Kehidupan
Masih Jadi Misteri
Helmud meninggal dunia mendadak di pesawat Lion Air dalam perjalanan dari Bali menuju Makassar pada 9 Juni 2021 silam. Menurut laporan Tempo, sebelum meninggal, Helmud terlihat batuk-batuk dan mengeluarkan darah dari hidung serta mulutnya.
Kematian mendadak Helmud menimbulkan kecurigaan sejumlah organisasi masyarakat sipil. Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Merah Johansyah Ismail, menilai kematian mendadak Helmud tersebut amat janggal.
“Ini mengagetkan. Kedua, misterius dan agak janggal kematiannya. Kenapa seperti itu? Karena dia ini kan menjadi sorotan, high profile karena dia ini kepala daerah yang menolak tambang juga. Bahkan dia juga mengirim surat ke ESDM. Suratnya juga sudah beredar,” ujarnya seperti dikutip dari Detik .
Dua bulan sebelum meninggal, Helmud secara pribadi memang mengirim surat penolakan pertambangan kepada Menteri Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM). Dalam surat tersebut, ia memprotes izin pertambangan PT Tambang Mas Sangihe (PT TMS) untuk menggarap 42.000 hektar wilayah.
Helmud menilai aktivitas tambang PT TMS berpotensi merusak lingkungan daratan, terumbu karang, komunitas mangrove, serta merugikan manusia dan biota laut. Bukan hanya itu, Helmud juga memperingatkan ESDM, aktivitas tambang hanya menguntungkan pihak perusahaan dan tidak memberi kesejahteraan bagi masyarakat.
“Bahwa penguasaan wilayah pertambangan akan berdampak pada hilangnya sebagian atau keseluruhan hak atas tanah dan kebun masyarakat. Masyarakat secara struktur akan terusir dari tanahnya sendiri, serta menghilangkan kampung, budaya, dan memunculkan masalah yang baru,” tulis Helmud pada 28 April 2021 silam.
ESDM sendiri berjanji akan mempertemukan Helmud dengan pihak perusahaan tambang. Namun sebelum terjadi pertemuan, Wakil Bupat itu telah meninggal. Dua puluh hari berselang, pihak kepolisian juga langsung menutup penyelidikannya.
“Iya sudah kami tutup penyelidikan,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Sulawesi Utara Komisaris Besar Jules Abraham Abast saat itu kepada Tempo.
Kepada awak media Kombes Abraham saat itu menyebut Helmud meninggal akibat penyakit komplikasi yang diderita. Dia pun meminta publik untuk tidak mengaitkan kematian sang Wakil Bupati kepada tambang emas di Kabupaten Kepulauan Sangihe. “Terkait dengan hal ini, kami mengharapkan isu-isu ini tidak diperluas lagi, karena fakta hasil autopsi seperti itu,”
Meski begitu, Tempo menulis kecurigaan tetap hidup di tengah sebagian masyarakat Sangihe. Tempo juga melaporkan sikap tegas Helmud menolak PT TMS tidak bisa dilepaskan dari konteks kematiannya.
Jull Takaliuang dari Save Sangihe Island, penolakan PT TMS sebagai langkah berani dan wajar sebab akan merugikan 58 ribu jiwa masyarakat Kepulauan Sangihe.
“Kami sangat takut apabila PT Tambang Mas Sangihe itu akan beroperasi. Menggunakan metode open pit dan bisa jadi akan melakukan blasting dalam lima tahun ke depan di awal,” katanya.
















