Penunjukan Megawati Jadi Ketua Dewan Pengarah BRIN dan Pentingnya Riset Netral
Ideologi dari suatu pemerintahan atau partai bisa membawa malapetaka, tidak hanya bagi dunia sains, tetapi juga umat manusia secara umum.
Beberapa waktu lalu, Presiden Joko Widodo mengangkat Megawati Soekarnoputri sebagai Ketua Dewan Pengarah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Peraturan Presiden tentang BRIN memang mengatur bahwa posisi Ketua Dewan Pengarah BRIN diisi anggota dewan pengarah lembaga yang membina Pancasila – dalam hal ini Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), yang saat ini dipimpin oleh Megawati.
Di sini, Megawati bertugas mengarahkan Kepala BRIN dalam merumuskan kebijakan dan pelaksanaan riset di Indonesia, serta memastikan segala inovasi nasional berpedoman pada nilai Pancasila.
Namun, berbagai kalangan khawatir ini akan membuka lebar peluang politisasi dan pengekangan riset nasional.
Lebih jauh lagi, pengarahan riset berbasis ideologi negara juga berpotensi punya dampak khususnya pada ilmu pengetahuan alam – bidang ilmiah yang digeluti penulis.
Baca juga: Perspektif Gender dan Minoritas Masih Jarang Dipakai dalam Riset
Sejarah telah menunjukkan dampak fatal yang bisa timbul jika ilmu pengetahuan alam disetir kepentingan ideologi, mulai dari penelitian tentang iklim, kesehatan publik, hingga biologi.
Apa saja risiko tersebut? Dan apakah ideologi punya tempat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama ilmu alam?
Politisasi Proses Ilmiah Sering Berakhir Buruk
Ilmu pengetahuan dikembangkan melalui tiga komponen utama: Ilmuwan, komunitas ilmiah, dan pustaka ilmiah. Proses riset oleh ilmuwan terhadap alam lewat riset, misalnya, akan dicatat sebagai ilmu pengetahuan dan menjadi bagian dari pustaka ilmiah apabila mendapat verifikasi dari komunitas ilmiah – contohnya melalui proses peer review (telaah sejawat) yang ketat untuk masuk ke jurnal ilmiah.
Proses ini menghasilkan pustaka ilmiah yang bersifat netral, bebas-nilai, dan publik. Apabila proses ini mengalami intervensi ideologi dan politisasi, dampaknya akan fatal bagi kehidupan manusia.
Yang paling ekstrem, misalnya, sejarah mencatat malapetaka yang terjadi saat ideologi membajak ilmu pengetahuan, yakni pada masa kepemimpinan Adolf Hitler di Partai Nazi Jerman saat Perang Dunia II.
Ideologi bahwa ras Arya (keturunan Eropa) diciptakan lebih unggul dari ras lain, ditambah pandangan antisemitisme (kebencian terhadap keturunan Yahudi), membuat pemerintahnya menerapkan praktik “eugenika” – memperbaiki ras manusia dengan membuang orang-orang yang secara genetik dianggap “cacat”. Ini menyebabkan terbunuhnya jutaan jiwa akibat pelaksanaan riset genetika yang dipelintir melalui ideologi tersebut.
Contoh yang lebih baru dan relevan bisa dilihat dalam empat tahun masa kepimpinan Presiden Donald Trump di Amerika Serikat (AS). Bersama staf pemerintahannya, Trump mengekang banyak penelitian perubahan iklim karena ia tidak mempercayai fenomena tersebut. Ideologi dari Partai Republik yang cenderung pro-industri bisa jadi juga berperan dalam sikap ini.
Trump melakukan hal yang sama ketika komunitas ilmiah AS memperingatkan tentang bahaya COVID-19. Bahkan, Trump meremehkan ilmuwan dalam berbagai pertemuan ilmiah, serta menghalangi publikasi data-data ilmiah oleh lembaga resmi pemerintahan jika ia tidak setuju dengan data dan kesimpulan ilmiahnya.
Akibatnya, peran AS dalam penelitian menurun, terutama terkait perubahan iklim. AS juga sangat lambat dan kacau dalam penanganan pandemi COVID-19 di AS saat itu.
Berkaca pada beberapa contoh di atas, tidak tertutup kemungkinan hal serupa bisa terjadi di Indonesia.
Saat ini, banyak berlangsung riset yang sebenarnya bermanfaat bagi kesejahteraan manusia. Namun, jika pihak-pihak tertentu menganggapnya tidak sesuai dengan ideologi negara, bisa jadi akan diberangus.
Contohnya adalah penelitian terkait daging hewan sintetis di laboratorium berbasis sel punca (stem cells) dan penelitian kloning hewan unggul – seperti yang saat ini sedang dikembangkan di laboratorium kami di Institut Pertanian Bogor (IPB) dan institusi lainnya di Indonesia.
Beberapa interpretasi keagamaan, misalnya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), menganggap bahwa daging berbasis sel haram dikonsumsi. Kepercayaan religius juga sering menganggap makhluk ciptaan Tuhan tidak boleh dimodifikasi karena semua makhluk telah diciptakan sempurna oleh Tuhan. Potensi politisasi kepercayaan religius seperti ini bisa menghambat perkembangan penelitian.
Adakah Tempat bagi Ideologi?
Kesalahpahaman seperti di atas bisa timbul akibat kebingungan antara peran ideologi dalam sains, dengan perannya dalam penerapan teknologi.
Penelitian dan transfer hasilnya – yakni ilmu pengetahuan – lewat pendidikan bertahun-tahun membantu ilmuwan mencari prinsip alam yang netral, bebas-nilai, dan publik. Proses pendidikan dan penanaman etika riset ini melatih moral ilmuwan, sehingga tanpa berpedoman ke ideologi pun, nilai-nilai luhur telah terbenam di dalam proses ini.
Ada perbedaan antara ilmu pengetahuan yang berorientasi netral dan publik dan teknologi berorientasi pada efektivitas dan daya saing. Yang terakhir ini bertujuan mencari solusi untuk masalah hidup manusia, namun sekaligus melayani kepentingan pasar. Di sinilah ideologi negara bisa punya peran penting, yakni menjadi rambu-rambu penerapan teknologi.
Albert Einstein melalui Teori Relativitas Umum yang ia gagas pada 1915 – disusul berbagai riset dari komunitas ilmiah yang mengembangkan konsepnya sejak saat itu – berkontribusi pada pustaka ilmiah terkait cara kerja gravitasi, ruang, dan waktu dengan semangat yang netral, bebas-nilai, dan publik.
Kini, asas pokok dari konsep tersebut digunakan dalam berbagai penerapan teknologi global positioning system (GPS) – dari aplikasi peta seperti Google Maps hingga layanan transportasi seperti Uber atau Grab.
Sayangnya, kompetisi pasar dan peluang ekonomi telah mendorong banyak perusahaan untuk menyalahgunakan data lokasi dan data pribadi pengguna tanpa persetujuan orang tersebut.
Baca juga: Kajian Perempuan Muda Indonesia Masih Bias Barat, Lihat Perempuan sebagai Korban
Sila “kemanusiaan” dalam Pancasila bisa jadi landasan untuk memperkuat hak privasi melalui berbagai aturan yang melindungi data pribadi warga dengan ketat – sebagaimana ideologi kebebasan dunia Barat melahirkan Aturan Perlindungan Privasi Daring Untuk Anak di Amerika Serikat (AS), atau Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR) di Eropa.
Namun, fungsi ini pun berada di level regulasi pasar – bukan di level kebijakan dan pelaksanaan riset – serta bisa diwakili berbagai lembaga negara lainnya. Dengan demikian, keberadaan suatu “dewan pengarah” di suatu lembaga riset, apalagi yang berpegang pada ideologi negara, sebenarnya bukan hal yang wajar.
Otonomi Ilmiah yang Bebas Kekangan Politis
Pada akhirnya, bangsa yang sejahtera adalah bangsa yang mempunyai masyarakat industri yang mengandalkan ilmu pengetahuan. Mereka tahu bahwa teknologi hanya bisa berkembang bila ada inovasi dan pengolahan sumber daya alam yang baik – dua hal yang hanya bisa dicapai dengan pembedahan fakta di laboratorium berdasarkan prinsip alam yang netral dan bebas-nilai.
Dengan demikian, tradisi penelitian yang tidak dikekang justru merupakan penentu daya saing sebuah bangsa.
Jika memang suatu Dewan Pengarah BRIN harus ada, ia justru harus menjamin bahwa otonomi ilmiah tidak boleh mendapat kekangan politis atau dorongan ideologis.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.