Issues Opini

Nak, Kamu Boleh Jadi Apa Pun Asal Jangan Tentara

Militer jelas berperan penting sebagai alat pertahanan negara. Namun, watak kekerasannya membuat saya semudah itu membenci mereka.

Avatar
  • March 5, 2024
  • 12 min read
  • 1710 Views
Nak, Kamu Boleh Jadi Apa Pun Asal Jangan Tentara

Anak lelaki saya berumur tiga tahunan, sedang senang-senangnya mengoceh apa saja, termasuk cita-cita. Ia pernah bilang pada saya ingin jadi ikan setelah menonton film “Luca” (2021). Algoritme video di YouTube Kids miliknya juga mendadak dipenuhi video tentang ikan. Setiap akhir pekan, tak ada yang lebih membahagiakannya selain menonton ikan di kebun binatang. Ia juga pernah bercita-cita jadi tukang sampah karena menurutnya keren sekali bisa bergelantungan di truk sambil membantu orang-orang membersihkan sisa limbah rumah tangga. Terakhir yang bikin saya agak syok: Ia mau jadi tentara.

Sebuah cita-cita yang bikin saya enggak bisa tidur nyenyak. Saya tahu, anak-anak relatif mudah berubah keinginan. Namun, bagaimana jika tidak? Bagaimana jika anak saya akan meneruskan impian kanak-kanaknya hingga ia dewasa nanti? Jika melarangnya, saya tentu akan mudah dibenci anak atau dicap society sebagai ibu yang suka mengekang. Dilematis.

 

 

Sementara, kekhawatiran saya tentang cita-cita anak tersebut bukan tanpa sebab. Pengalaman pribadi sebagai wartawan, berbincang dengan banyak orang, hingga membaca buku, membuat saya mudah sekali menemukan sederet alasan untuk membenci tentara. Saya sadar, ibu dan bapak tentara di masa lalu punya peran penting sebagai alat pertahanan negara. Indonesia bisa saja akan semakin lama merdeka, jika tak didukung oleh orang-orang yang mengangkat senjatanya dengan gagah melawan penjajah.

Namun, ada satu yang mengusik pikiran saya: Tentara senang sekali menggunakan kekerasan untuk banyak hal sampai sekarang.

Baca juga: 3 Alasan Orang Rela Jadi Polisi atau TNI Gadungan

Watak Kekerasan Militer

Ingatan saya tentang kekerasan yang dilakukan oknum tentara mungkin memang terbatas. Salah dua pengalaman buruk saya adalah pernah dimaki oleh tentara dan istrinya yang tak terima karena mobil kecil saya parkir terlalu dekat dengannya. “Kamu enggak tahu ini mobil mahal? Kamu enggak tahu saya ini jabatannya apa di militer?” kata dia saat itu, yang buru-buru saya sambut dengan permintaan maaf, dan langsung menjauh parkir. Meskipun jujur sampai sekarang, saya enggak paham relevansi jabatan dan merek mobilnya apa.

Kedua, saat saya dikejar-kejar tentara berpakaian sipil saat sedang melakukan peliputan di sebuah proyek tambang di Yogyakarta. Pengalaman yang traumatis karena berhari-hari setelahnya, saya seolah merasa diikuti melulu oleh mereka. Sampai-sampai saya selalu ketakutan pulang sendirian ke kosan.

Namun, usai banyak mengobrol dengan mereka yang punya pengalaman langsung bersinggungan dengan tentara, telah memperpanjang ingatan tersebut. Ita F. Nadia, anggota Tim Relawan untuk Kemanusiaan (TRuK) yang saya wawancara pada 2015, pernah menceritakan, betapa mencekamnya tragedi Mei 1998 yang membuat banyak perempuan Tionghoa diperkosa, buntut kekacauan itu.

Di mana tentara saat tragedi Mei 1998? Ketika polisi kewalahan, Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat (TNI AD), terutama Kopassus diperbantukan untuk mengatasi Jakarta yang makin memanas. Tulisan Vincentia Hanni bertajuk “Kerusuhan Mei 1998: Kejahatan Negara Tanpa Pertanggungjawaban” di laman Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS) menjelaskan ini. Ia menyitir temuan Tim Gabungan Pencari Fakta di mana kondisi Jakarta saat itu “kosong melompong” dari aparat tentara. Banyak sekali ditemukan terduga aparat militer berpakaian seperti preman dan berambut cepak. Sebagian lagi berpakaian seperti siswa SMA tanpa badge OSIS–dengan wajah yang terlalu tua untuk usia siswa SMA–membakar mal-mal dan sejumlah toko di Jakarta, yang dengan segera diikuti oleh massa yang sebenarnya hanya masyarakat biasa.

KontraS mencatat, khusus untuk kurun Agustus 2016 hingga Agustus 2017, setidaknya terjadi 138 tindak kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang melibatkan tentara. Kasus terbanyak terjadi di Provinsi Sumatera Utara, Jawa Barat, dan Papua. Adapun secara keseluruhan di Indonesia, kekerasan militer terhadap sipil paling banyak terjadi selama lima bulan pada 2001. Mengutip Vice, di Provinsi Aceh saja ada 193 kasus pelanggaran HAM berat saat pemberlakuan Daerah Operasi Militer. Lalu sepanjang 2010-2011, kasus kekerasan aparat terhadap sipil turun drastis, hanya 28 kasus. Itu meningkat pada 2012, mencapai 86 kasus, kemudian turun dua tahun sesudahnya. Maka dari itu, data 2016-2017 merupakan periode terburuk kekerasan militer terhadap sipil pasca-konflik militer Aceh.

Di Jakarta, dalam catatan Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, ada 57 persen kasus penggusuran paksa yang melibatkan aparat TNI sepanjang 2016. Dari 90 kasus penggusuran paksa, 53 kasus di antaranya mengerahkan aparat TNI. Pada 2015, 65 dari 113 kasus penggusuran paksa melibatkan TNI.

Baca juga: Tingkah Laku Polri-TNI: Dari Flexing sampai Narsistik

Ini belum termasuk kasus yang terjadi di 2018 dan 2019. Di Maluku Utara, pada 2018 petani singkong, La Gode, 31, tewas dianiaya militer lantaran kedapatan mencuri singkong parut seberat lima kilogram yang dihargai Rp25.000. Mendiang sempat diseret ke Pos Satuan Tugas Daerah Rawan Batalyon Infanteri Raider Khusus 732/Banau di bawah Kodam XVI/Pattimura, Maluku Utara selama lima hari dan dikembalikan dalam kondisi babak belur. Pengakuannya pada istri, sekujur badannya terasa sakit, gigi-giginya patah, kuku ibu jari kanan dicabut, wajahnya bengkak, sementara sekujur tubuhnya lebam. Pihak TNI dilaporkan sempat menawari sang istri uang sebesar Rp1,4 juta selama sembilan bulan ke depan dan sembako. Bantuan ini disebut aparat militer sebagai uang damai. Nyawa petani malang itu sendiri tak tertolong tiga hari berselang, demikian dikutip dari Tribun.

Di Kulon Progo, Yogyakarta, ibu-ibu yang sedang beribadah di rumahnya diseret keluar oleh polisi dan militer dari rumahnya dalam rangka pengosongan lahan untuk pembangunan Bandara NYIA. Wartawan Net TV Soni Widianto dipukul TNI AD, lalu pada momentum demo buruh Mei 2019, jurnalis di Bandung konon dipukuli juga oleh aparat tentara.

Pertanyaannya, kenapa militer lekat dengan watak kekerasan?

Tradisi kekerasan dalam tubuh militer sebenarnya punya sejarah yang merentang zaman. Namun dalam sejarah modern, tonggaknya dipancang sejak era Orde Baru. Militer yang saat itu merupakan salah satu anasir dalam Angkatan Bersenjata Indonesia (ABRI) memiliki sistem organisasi yang sangat ketat dan hierarkis, mulai dari sistem pembinaan personel, pendidikan, anggaran, dan sistem operasional.

Keadaan ini diperburuk dengan doktrin Dwifungsi ABRI yang memberi keleluasaan tentara untuk berpolitik menggunakan “tekanan senjata”. Ketika keahlian militer menggunakan senjata, maka keahlian itu pula yang digunakan untuk berpolitik. Militer menurut Imparsial, tidak membutuhkan dukungan rakyat, tapi cukup dengan senjata saja. Dari sinilah dimulai pewajaran kekerasan yang berlebihan (brutalitas) dan tekanan senjata dari kelompok militer, tulis Imparsial dalam buku Praktik Brutalitas Polisi di Masa Transisi (2016).

Watak kekerasan dalam militer menurut Imparsial sekaligus menjadi ciri dari watak rezim yang berkuasa. Penempatan garis koordinasi militer yang langsung di bawah Presiden membuat arah dan tugas mereka hanya direduksi sebatas upaya menjaga dan melanggengkan status quo, dan membenarkan tindakan penguasa termasuk ketika penguasa berkepentingan dalam menggaet para investor untuk menanamkan modal di Indonesia.

Dalam berbagai kasus struktural seperti konflik agraria, konflik buruh, pendudukan daerah operasi militer, dan seterusnya, peran militer yang utama adalah menunjukkan kekuasaannya pada rakyat. Selain itu, menurut analisis Imparsial dalam buku yang sama, ada beberapa alasan kenapa tradisi kekerasan militer maupun polisi, alih-alih hilang, justru direpetisi terus-menerus.

Baca Juga: Penyiksaan oleh Polisi Harus Dihentikan

Pertama, alasan kekuasaan. Karena militer memposisikan diri sebagai penguasa, maka tugas dan fungsi mereka pun tak lebih dari sekadar alat gebuk dari negara, sehingga ketika ada masalah antara negara dan rakyat, dengan sendirinya militer akan berpihak pada penguasa.

Kedua, salah satu ideologi dalam militer, yakni ingin mewujudkan superioritas atas sipil. Pasukan militer Indonesia diketahui mempunyai kekuatan politis yang sangat besar, terutama semasa pemerintahan otoritarian Jendral Soeharto, dan sampai sekarang masih mempunyai pengaruh di masyarakat. Karena pasukan militer Indonesia disebar menurut susunan wilayah, sesuai dengan susunan administrasi pemerintahan sipil sampai ke tingkat lokal, sering ada interaksi antara angkatan bersenjata dengan masyarakat. Struktur ini membuka kesempatan lain bagi satuan militer dan tiap-tiap prajurit untuk mempergunakan posisi mereka dan memanfaatkan warga sipil. Dengan menggunakan wewenang mereka yang bersifat memaksa, pihak militer dapat mengembangkan atau melindungi hasrat-hasrat ekonomi mereka sendiri atau mitra kerja mereka.

Keadaan kian dipersulit karena aparat militer Indonesia sering dipanggil untuk membantu menjaga atau memulihkan ketertiban masyarakat. Keterlibatan militer di dalam masalah keamanan dalam negeri dapat menimbulkan hasrat dan kepentingan yang berlawanan, yang mempertandingkan fungsi-fungsi resmi militer dengan keinginan yang kuat untuk mencari keuntungan dan dana. Beberapa kegiatan swadana militer, seperti dengan membuka jaringan perlindungan bagi kriminal, secara langsung telah memperburuk keamanan dan mendorong terciptanya hukum rimba.

Ketiga, motif balas dendam. Lagi-lagi militer berdalih atas nama solidaritas, nyawa dari rekannya yang melayang harus dibayar pula oleh nyawa. Tak peduli meskipun yang jadi sasaran adalah masyarakat sipil yang tak bersenjata. Perstiwa pendudukan militer di Dili, Timor Timur, Papua, dan Aceh adalah beberapa contoh nyatanya.

Keempat, menyambung poin kedua, adalah faktor ekonomi politik termasuk bisnis militer. Dalam laporan Human Right Watch (HRW) bertajuk “Harga Selangit: Hak Asasi Manusia Sebagai Ongkos Kegiatan Ekonomi Politik Militer Indonesia” (2006) disebutkan, aparat militer mulai turut ambil bagian dalam bisnis besar-besaran sejak akhir 1950-an.  Saat negara berada dalam keadaan darurat perang ini, aparat militer mulai mengambil alih kontrol atas perusahaan-perusahaan Belanda. Tidak lama kemudian, Presiden Sukarno secara resmi menempatkan perusahaan-perusahaan yang baru saja dinasionalisasikan ini di bawah pengawasan pejabat-pejabat tinggi militer. Usaha nasionalisasi ini berlanjut dengan pengambilalihan perusahaan-perusahaan Inggris dan AS oleh pemerintah pada pertengahan tahun 1960-an. Kontrol terhadap perusahaan-perusahaan ini juga diserahkan kepada pejabat milliter. Langkah ini sebagian bertujuan untuk mengatasi kekurangan anggaran yang sangat parah, yang mengakibatkan gaji yang tidak seberapa, perumahaan yang menyedihkan, dan kekurangan pakaian dan peralatan bagi para prajurit.

Masih dikutip dari HRW, aparat militer juga terlibat erat di dalam pengelolaan badan-badan usaha milik negara. Perusahaan minyak raksasa, Pertamina, dan Badan Urusan Logistik (atau Bulog) juga didominasi pimpinan militer selama tahun 1960-an dan sampai dekade berikutnya. Laba dari perusahaan yang dijalankan oleh aparat militer biasanya juga disalurkan ke pihak militer. Selain itu, “pembiayaan tidak lazim”ini memungkinkan pemerintah dan pimpinan militer untuk memperlihatkan bahwa seakan-akan pengeluaran militer telah dikorbankan untuk kepentingan-kepentingan negara lainnya. Sementara itu, di sektor swasta, pihak militer bertugas menyediakan lisensi dan persetujuan, serta membantu perusahaan mendapatkan konsesi atau kontrak dari pemerintah.

Di era Orde Baru, lanjut HRW, bisnis militer makin meluas. Bahkan Soeharto sengaja membiarkan jabatan-jabatan militer tertinggi diduduki oleh orang-orang yang setia terhadap Soeharto yang juga memperoleh keuntungan dari usaha bisnis swasta. Pola ini membantu melanggengkan hubungan ekonomi militer karena pejabat yang tidak berkorupsi kemungkinan tidak akan diangkat untuk menduduki posisi-posisi komando tertinggi.

Pola bisnis yang seperti ini kemudian terus diimitasi oleh jajaran militer di bawahnya hingga ke level desa. Namun, dalam perkembangannya, sejak Dwi Fungsi ABRI dihapus, lalu militer kembali ke barak, kue bisnis yang mulanya bisa dibagi rata antara polisi dan militer pun terancam raib. Akhirnya, militer memutar otak untuk mendapatkan sumber dana yang lain, mengingat penghasilan mereka sebagai tentara pun belum memadai. Dilansir dari laman Sekretariat Negara, penghasilan militer sendiri pada 2014 untuk golongan Tamtama hanya Rp 1.476.600 per bulan, sedangkan gaji pokok tertinggi golongan perwira tinggi (Jenderal, Laksamana, atau Marsekal) sekitar Rp 5.326.400. Gaji pokok prajurit Indonesia juga lebih rendah dibanding Malaysia. Gaji tertinggi seorang prajurit berpangkat Letnan Satu di sana mencapai Rp 7,8 juta per bulan. Sedangkan di Indonesia gaji tertinggi prajurit di pangkat yang sama adalah Rp 4,4 juta per bulan.

Gaji tersebut sempat dinaikkan hingga 70 persen di era Jokowi, namun ternyata tak memupus rantai bisnis bawah tangan dari TNI. Menurut catatan HRW, bisnis yang dimaksud antara lain mencakup jasa layanan penjaminan keamanan untuk perusahaan swasta, jasa parkir dan pungutan tempat-tempat hiburan, koperasi yang mengelola usaha penambangan liar, dan seterusnya. Sayangnya, dalam praktik bisnis tersebut, militer kerap menggunakan cara kekerasan kepada masyarakat sipil. 

Baca juga: Heboh BTS Hiatus, Wajib Militer Korea Selatan Jadi Sorotan

Mungkinkah Menghilangkan Kebencian itu?

Mengingat banyaknya “dosa” tentara, membuat saya agak sangsi kebencian pada mereka bisa mudah hilang. Tentu saja saya akan belajar untuk sembuh dari trauma dan luka-luka kedua yang muncul dari pengalaman saya dan orang-orang. Namun, kebencian yang berakar dari kekerasan yang sayangnya terus diawetkan sampai sekarang, butuh solusi yang sifatnya struktural.

Allison Abrams dalam artikel “Psychology of Hate” (2017) di Pshycology Today bilang, kebencian tak sesederhana berakar dari psikologi pribadi atau riwayat diri dan keluarga. Namun juga bisa bersumber dari sejarah budaya dan politik yang lebih kompleks. Dalam konteks kebencian pada militer yang disebabkan oleh trauma kolektif, saya ingin sekali mengusulkan sejumlah perbaikan. Di antaranya peningkatan kesejahteraan dan reformasi militer. Meningkatkan gaji dan kesejahteraan bisa dilakukan tak hanya di level perwira tapi juga di level bawah, termasuk memikirkan solusi agar mereka bisa bertahan hidup tanpa memerlukan pensiun dini yang digadang-gadang mampu menambah penghasilan, terutama buat mereka yang berdinasi di desa-desa.

Pada akhirnya, kata Muradi kepada saya, Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, militer harus benar-benar fokus pada urusan pertahanan negara. Menurut Samuel Huntington, itu berarti kekuasannya dibatasi hanya pada urusan terkait pengelolaan ancaman pertahanan nasional, bukan keamanan apalagi urusan sosial politik. Dalam “The Soldier and State” (1957),  penulis dan pemerhati politik itu mengungkapkan, jika militer terjun di luar bidangnya, ia akan jadi pretorian, terjebak dalam urusan sipil semata.

Sementara kenyataannya, militer sejak dilibatkan dalam mengatasi Tragedi Mei 1998 membantu polisi, juga terlibat dalam konflik lahan, penggusuran warga, hingga pengelolaan pangan. Di bidang politik, kadang anggota militer ingin mendaftarkan diri dalam ajang Pemilu, tapi tak kunjung mundur meskipun secara definitif sudah ditetapkan. Di bidang ekonomi pun, pelibatan militer juga pernah terjadi di era Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono. Dalam kasus darurat pangan, mantan RI-1 itu juga sempat mengeluarkan Inpres Nomor 5 Tahun 2011 tentang Pengamanan Produksi Beras Nasional Dalam Menghadapi Iklim Ekstrem. Di aturan tertulis itu, SBY menginstruksikan Panglima TNI untuk mengambil tindakan penyelesaian.

Berikutnya, di era Presiden Joko Widodo, ada kemunduran dengan banyaknya pelibatan TNI dalam konflik sosial, termasuk penggusuran warga dari rumahnya. Yang terbaru dan bikin semakin mengelus dada, tentara tak cuma jadi alat gebuk tapi “mesin suara”. Mereka jadi alat untuk memikat rakyat di Pemilu 2024. Ini tampak dari banyaknya romantisasi pada Mayor Teddy, aparat Kopassus yang jadi ajudan Prabowo Subianto, salah satu calon presiden.

Jika reformasi tentara masih sekadar jadi angan-angan, maka susah berharap kebencian terhadap rekam merah mereka bisa lenyap. Untung saja, anak saya sekarang sudah berganti cita-cita menjadi masinis karena kecintaan barunya pada kereta. Setidaknya untuk saat ini, saya tak perlu diliputi kebencian yang terus merusak hati.



#waveforequality


Avatar
About Author

Purnama Ayu Rizky

Jadi wartawan dari 2010, tertarik dengan isu media dan ekofeminisme. Kadang-kadang bisa ditemui di kampus kalau sedang tak sibuk binge watching Netflix.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *