Health Lifestyle Opini

Saya Korban KDRT, Bercerai, Jadi Penyintas Kanker, dan Berhasil Bertahan

Ini kisah saya keluar dari pernikahan toksik penuh kekerasan. Lalu menghidupi anak seorang diri di tengah kondisi saya sebagai penyintas kanker.

Avatar
  • August 16, 2024
  • 10 min read
  • 626 Views
Saya Korban KDRT, Bercerai, Jadi Penyintas Kanker, dan Berhasil Bertahan

*Peringatan Pemicu: Cerita KDRT*

Saya orang tua tunggal yang berhasil keluar dari kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), baik mental maupun fisik selama sembilan tahun pernikahan. Di tengah kesulitan untuk bangkit, saya juga harus menghadapi kenyataan bahwa ada sel kanker yang menggerogoti tubuh. 

 

 

Inilah kisah perjuangan saya untuk menjalani hidup sekaligus menghidupi anak seorang diri. Harapannya, kisah ini menjadi penyulut buat perempuan yang terjebak pernikahan toksik, untuk keluar. Semoga kisah saya juga bisa jadi pengingat buat para perempuan yang jadi orang tua tunggal atau penyintas kanker bahwa kalian tak sendirian. 

Baca juga: Catur Rini: Penyintas Kanker Payudara yang Jadi Pahlawan Hidroponik

Bagaimana Semuanya Bermula 

Akhir 2015, saya didiagnosis dengan polycystic ovary syndrome (PCOS) atau gangguan hormonal pada perempuan di usia subur. Enam bulan kemudian, ada adenomiosis (penebalan rahim) di bekas luka sayatan sesar tiga tahun silam. Sehingga, saya harus menjalani terapi PCOS selama enam bulan. Saat kontrol ulang pada 2016 usai terapi PCOS, muncul keluhan baru berupa endometriosis. Alhasil, saya harus menjalani terapi untuk mengobati ketiganya hingga Maret 2017. 

Ketika dicek kemajuan terapi, PCOS sudah terkontrol tapi adenomiosis dan endometriosis masih ada. Karena lelah dengan proses terapi, saya sempat melalui fase tanpa terapi selama sembilan bulan. Kelelahan tersebut salah satunya muncul karena selama proses terapi, saya tidak pernah didampingi pasangan. Pun, pasangan tidak pernah menunjukkan kepedulian terhadap proses pengobatan yang harus saya lalui karena sibuk dengan dunianya sendiri di ruang publik.  

Kemudian, saya mulai menyadari menstruasi saya bermasalah, yakni berkurang satu hari setiap bulannya. Puncaknya, di Desember 2018, saya hanya haid sehari dan muncul flek. Menyadari kondisi itu, saya memutuskan untuk melakukan medical check up di sebuah rumah sakit swasta di Malaysia di mana dokter menyarankan untuk menjalani terapi hormon agar menstruasi berhenti. Tujuannya, demi adenomiosis dan endometriosis tidak bertambah besar. 

Selanjutnya, saya memulai program untuk hamil sejak Juni 2019. Harapannya, adenomiosis dan endometriosis akan bisa diangkat ketika persalinan. Meskipun terapi hormon tersebut berhasil, sayangnya kehamilan saya hanya bertahan selama 16 hari. Kemudian, saya mengalami keguguran yang menyakitkan. 

Di Agustus 2019, saya mulai menghadapi badai rumah tangga dan diwarnai dengan kekerasan fisik. Memang, sedari awal pernikahan, saya tidak baik-baik saja. Namun, saya berusaha mempertahankan rumah tangga, walaupun saya menjadi pemain tunggal yang mengerahkan seluruh daya upaya agar pernikahan kami bertahan. 

Saat memulai proses gugat cerai di awal Oktober 2019, saat di mana PCOS, adenomiosis, dan endometriosis saya mendadak kambuh. Dokter spesialis kandungan di Banda Aceh memberikan vonis angkat rahim agar saya bisa sembuh. Bayangkan, dalam kondisi jiwa raga yang lelah menghadapi proses perceraian, saya malah mendengar vonis yang membuat putus harapan. 

Dua hari kemudian, saya dan orang tua memutuskan untuk berkonsultasi dengan spesialis kandungan di Malaysia terkait dengan kondisi terkini. Kami menjumpai dua spesialis di dua rumah sakit berbeda. Syukur kepada Tuhan, keduanya menyebutkan rahim saya baik-baik saja. Namun, kondisi stres berat akibat proses perceraian yang sedang saya lalui, memicu kontraksi dan sebagainya. 

Ketika kembali ke Banda Aceh, proses sidang perceraian pun selesai: Saya resmi menyandang status janda cerai hidup di November 2019.   

Baca juga: Risiko Mediasi dan Rekonsiliasi Antara Penyintas dan Pelaku KDRT 

Mengumpulkan Serpihan-serpihan untuk Menata Hidup Baru 

Hampir tiga bulan lamanya saya terpuruk dalam kesedihan karena menyesali keterlambatan mengambil keputusan untuk terbebas dari hubungan toksik berkekerasan. Saya menyesali kepasrahan membiarkan diri disakiti. Rumah tangga ini tidak hanya menyakiti saya secara psikologis, namun juga berdampak terhadap kondisi psikis anak lelaki saya.  

Di Maret 2020, ketika menyelesaikan masa iddah, saya memperbaiki pola makan dan gaya hidup dengan giat berolahraga. Dengan kombinasi hidup sehat, saya berhasil menurunkan berat badan hingga 15 kilogram dalam jangka waktu 40 hari. 

Di Agustus 2020, saya kembali berkonsultasi ke dokter kandungan untuk mengecek kondisi rahim. Ia kaget dengan kondisi rahim saya yang jauh membaik. Baik adenomiosis dan endometriosis tidak membesar, demikian halnya dengan PCOS. Namun, saya harus menjalankan terapi untuk mengontrol adenomiosis dan endometriosis dengan cara menstruasi selama tiga bulan dilanjur tanpa menstruasi untuk tiga bulan setelahnya. 

Siklus tiga bulanan tersebut diulang hingga PCOS, adenomiosis dan endometriosis benar-benar hilang, atau hingga saya hamil dan melahirkan. Pasca konsultasi, saya tidak langsung menjalani terapi. Namun, saya menunggu hingga akhir Januari 2021 ketika batin lebih siap untuk melalui proses tak menyenangkan ini.  

Setahun setelah menyelesaikan masa iddah, muncul rasa gatal tak tertahankan di daerah sekitar puting kiri payudara. Saya memutuskan untuk berkonsultasi ke dokter kandungan yang kemudian merujuk ke spesialis bedah umum dan ke spesialis radiologi. Spesialis radiologi menyebutkan mengenai indikasi maligna atau keganasan dari ciri bentuk yang tidak rata, bulat pipih, serta tidak menetap. Oleh karenanya, spesialis radiologi merujuk saya untuk berkonsultasi dengan spesialis bedah onkologi.  

Sebagai pasien pemula yang belum pernah berkonsultasi dengan spesialis bedah onkologi, saya benar-benar buta mengenai dokter mana yang sebaiknya saya temui. Sehingga, pilihan pun dijatuhkan secara acak. Sialnya, saya berurusan dengan spesialis bedah onkologi yang pemarah, tidak sabar, dan tidak informatif terhadap pasien. Ia dengan cepat memutuskan untuk biopsi atau mengambil sampel jaringan dari payudara kiri tersebut. Hasil patologi anatomi dari biopsi mengindikasikan, benjolan tersebut adalah tumor jinak. Namun, hati saya masih diliputi kecemasan karena seminggu setelah biopsi, muncul benjolan baru di sekitar luka biopsi.  

Di akhir Agustus 2021, benjolan baru tersebut semakin membesar dan menimbulkan ketidaknyamanan. Sehingga, saya memutuskan untuk lebih informed mengenai kondisi tubuh dengan banyak membaca dan bertanya. 

Saya sempat berkonsultasi lagi dengan dokter A yang melakukan biopsi lima bulan yang lalu. Ternyata, perilaku dokter yang sama sekali tidak berubah dari kunjungan terdahulu, membuat saya harus berganti dokter. Kali ini, saya lebih giat bertanya kepada sesama teman atau kenalan yang sedang menjalani proses pengobatan dengan spesialis onkologi, agar tidak salah dalam memilih dokter. Berdasarkan rekomendasi, saya memutuskan untuk berkonsultasi dengan dokter B yang jauh lebih ramah dalam mengedukasi pasien.  

Dokter B menyarankan untuk core biopsi yang hasilnya keluar tiga hari kemudian. Hasil patologi anatomi masih sama dengan sebelumnya, bahwa ini merupakan tumor jinak. Namun, dokter B mengingatkan saya untuk sering periksa mandiri (SADARI)

Sekitar 1,5 bulan setelahnya, area ketiak kiri mulai terasa tidak nyaman. Ditambah, lengan kiri yang selalu terasa pegal dan kesemutan. Saya pun memutuskan untuk berkonsultasi lagi dengan dokter B di awal Oktober 2021. Saat konsultasi tersebut, dokter B memutuskan agar dilakukan biopsi eksisi untuk mengetahui apakah ini tumor atau kanker. 

Saya merasa dunia runtuh karena hasilnya menyebutkan, benjolan tersebut adalah kanker. Saya bahkan sudah tidak bisa menangis, bertanya mengapa cobaan datang bertubi-tubi. Kemudian, dokter B memaparkan, saya hanya memiliki opsi double-mastektomi (pengangkatan kedua payudara) atau Breast Conserving Therapy untuk mengangkat hanya payudara yang terindikasi memiliki sel kanker. 

Dokter B mengingatkan, saya hanya memiliki waktu empat minggu untuk mengambil keputusan karena dalam jangka waktu tersebut, kemungkinan pembelahan sel kanker akan lebih cepat.  

Seminggu berselang, saya memutuskan untuk berangkat ke Jakarta dalam rangka melakukan screening di RS Kanker Dharmais yang merupakan rumah sakit kanker rujukan nasional seluruh Indonesia. Pemeriksaan yang dilakukan berupa PET CT Scan dan pemeriksaan tumor marker spesifik (CA 15-3). Hasil dari pemeriksaan lengkap pada November 2021, saya dinyatakan mengidap kanker payudara stadium 2B dengan sebaran hingga ke kelenjar getah bening ketiak kiri.  

Baca juga: ‘Safety Plan’ dari KDRT di Tengah Wabah Corona 

Mengelola Ketakutan untuk Memulai Treatment 

Vonis kanker payudara stadium 2B tersebut diikuti dengan vonis tindakan, yakni pengangkatan payudara kiri hingga jaringan getah bening di ketiak kiri. Saya menangis hebat ketika mendengar vonis treatment tersebut: Bagaimana saya bisa merelakan kehilangan mahkota hidup saya? 

Dada saya sesak. Selama sepekan saya menangis setiap mengingat tidak memiliki opsi selain mastektomi. Saya terpuruk untuk kesekian kalinya dan bertanya kepada Tuhan, “Mengapa saya terus menerus diuji dengan ujian yang tidak ada habis-habisnya.” Namun, Allah Maha Baik, hati saya dilembutkan untuk menyerahkan diri pada jalan takdir. Dokter-dokter yang menemani proses ini pun menguatkan bahwa ini adalah takdir yang harus saya jalani.  

Saya menjalani mastektomi pada 17 November 2021. Hasil operasi dikirimkan ke laboratorium untuk dicek patologi-anatominya untuk melihat reseptor kanker. Hasil laboratorium menyatakan, saya positif esterogen 20-50 persen. Tindakan berikutnya adalah kemoterapi sebanyak empat siklus. Masing-masing siklus per 21 hari. Setelah kemoterapi, saya harus mengkonsumsi obat penghambat estrogen alias memasuki menopause dini. Proses menopause dini tersebut membuat saya harus mengonsumsi obat oral dan menjalani injeksi zoladek, kategori obat yang hanya bisa diresepkan oleh dokter.  

Saya bersyukur karena selama menjalani treatment, banyak mendapatkan dukungan yang luar biasa dari keluarga. Dukungan ini menjadi penting sebagai shock absorber bagi kondisi mental saya yang naik turun karena efek pengobatan yang sangat berdampak pada kesehatan dan kenyamanan tubuh.  

Selain itu, saya juga bersyukur karena terdaftar sebagai peserta Badan Penyelenggaraan Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa pengobatan untuk penyakit kanker mahal. Dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan, saya mendapatkan akses terhadap pengobatan penyakit kanker tanpa mengeluarkan biaya tambahan di luar premi bulanan.  

Namun, proses menggunakan layanan BPJS Kesehatan bukannya mulus karena proses antrean yang lama. Di Aceh, cuma ada satu rumah sakit rujukan pasien kanker. Prosesnya berbelit-belit, sehingga jika pasien berobat tanpa pendamping, akan menimbulkan stres dan kelelahan. 

Untuk mengurangi kelelahan fisik dan frustrasi ketika menghadapi birokrasi yang berbelit, saya memadukan akses via BPJS dengan layanan mandiri (berbayar). Misalnya, saya merogoh kocek sendiri untuk konsultasi ke praktik pribadi spesialis bedah onkologi, pemeriksaan patologi-anatomi sampel biopsi, serta screening PET CT Scan (yang paling mahal, karena berkisar antara Rp10 hingga 15 juta) dan pemeriksaan tumor marker spesifik yang pertama.  

Sementara, saya menggunakan BPJS Kesehatan untuk operasi, kemoterapi, serta terapi lanjutan pasca-kemoterapi. Terapi lanjutan ini mencakup obat oral selama lima tahun dan injeksi penghambat hormon esterogen selama dua tahun. Juga, screening tiga bulanan yang meliputi USG perut, pemeriksaan tumor marker spesifik, dan rontgen paru. Efek samping dari terapi lanjutan adalah osteoarthitis. 

Oleh dokter yang merawat, saya disarankan untuk injeksi zometa setiap tiga bulan sekali. Sayangnya, karena bukan sebaran kanker maka biaya injeksi ini tidak ditanggung BPJS Kesehatan. Oleh karenanya, saya harus merogoh kocek antara Rp900 ribu hingga Rp1,8 juta per injeksi saban tiga bulan.  

Perjalanan saya menjadi penyintas kanker belum berakhir. November 2024 nanti, saya harus melakukan check up tahunan untuk mendeteksi apakah tubuh saya sudah terbebas dari sel kanker. Melihat proses yang sudah saya lalui selama ini, saya menyimpulkan bahwa pencegahan terhadap kanker bisa diawali dari pikiran yang sehat. 

Perempuan terutama sangat rentan terkena kanker payudara. Oleh karenanya, hindari stres berlebihan; hindari hubungan yang toksik, baik dengan pasangan, teman, atau bahkan mereka yang memberikan efek negatif dalam pergaulan; rutin berolahraga; mengonsumsi makanan yang sehat ataupun jika ingin diet, harus disesuaikan dengan kondisi tubuh; serta hindari junk food

Selain itu, saya menyarankan agar kita rajin melakukan SADARI, terutama seminggu setelah menstruasi. Sehingga, ketika menemukan benjolan atau ada yang berbeda, bisa segera berkonsultasi ke dokter. Deteksi dini lebih efektif dengan harapan sembuh yang lebih tinggi untuk penyakit kanker. 

Saya ingin mendorong para pejuang kanker (survivor maupun warrior) agar tetap bersemangat dalam menjalani hidup. Karena, kematian setiap makhluk sudah menjadi ketetapan Yang Maha Kuasa. Sehingga, dengan atau tanpa penyakit kanker, ketika saatnya tiba, kita semua akan berpulang pada-Nya. Pada akhirnya, menjalani ujian dalam hidup niscaya akan menemui hikmah dan jalan keluarnya.   

Dian Sukma Burhan adalah lulusan FKIP Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala (2011). Di 2013, ia melanjutkan S2 Teaching English as Foreign Language di Universitas Sulthan Idris Malaysia. Namun ia harus drop out karena mengalami KDRT. Memasuki tahun kelimanya sebagai orang tua tunggal dan tahun ketiga sebagai penyintas kanker, ia masih aktif sebagai pelatih renang anak dan perempuan. Sejak 2023, ia mengelola yayasan yang bergerak di bidang pendidikan anak usia dini.  

Mirisa Hasfaria merupakan lulusan S2 Ilmu Politik dari University of Arkansas, Fayetteville, Amerika Serikat. Ia memiliki ketertarikan yang mendalam terhadap kesetaraan gender. Selain itu, ia mulai mendampingi para perempuan untuk menuliskan pengalaman mereka karena meyakini pengalaman perempuan adalah sah sebagai kebenaran.  

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Dian Sukma Burhan and Mirisa Hasfaria

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *