Kisah Seorang Anak dari Keluarga Poligami
Saya tak pernah menganggap suami Ibu adalah ayah saya. Ia hanyalah pria yang mengharapkan surga dengan menikahi janda.
Ibu saya adalah seorang istri muda. Ayah saya menikahinya puluhan tahun yang lalu, jauh sebelum isu ini merebak lewat layar bioskop dan acara gosip di televisi. Saya tidak bangga, tapi juga tidak malu untuk mengakuinya. Karena apa pun keputusan Ibu saya, itu adalah pilihannya dan saya tidak berhak menghakimi dengan alasan apa pun.
Pergunjingan khalayak sudah saya rasakan sejak kecil. Bahkan pertama kali saya mengetahui status Ibu saya adalah dari tetangga. Waktu itu, ketika saya melintas, salah satu dari mereka berkata, “Iki lo, anake bojo nom! (Ini lho, anaknya istri muda)”. Saya yang baru berumur enam tahun hanya kebingungan dan menangis sambil pulang ke rumah.
Ibu menatap saya lekat-lekat sambil menahan air mata, lalu ia menjelaskan pelan-pelan. Semuanya. Sebelumnya, Ibu hanya menjelaskan bahwa sosok “Ayah” baru saya ini bekerja di luar kota dan jarang bisa pulang. Baru saya tahu bahwa ternyata kami hanyalah bagian kecil dari keluarga besarnya.
Saya tak pernah menganggap suami Ibu adalah ayah saya. Ia hanyalah pria yang mengharapkan surga dengan menikahi janda beranak. Ayah bagi saya cuma satu dan beliau sudah meninggal. Saya tak pernah mengganggap dia sebagai pengganti dan terlebih dengan banyaknya anak kandung maupun anak bawaan seperti saya membuat jarak kami semakin jauh. Sudah dibiayai hidup dan pendidikan dari kecil hingga sekarang saya sudah bisa menafkahi diri sendiri adalah cukup. Bicara seperlunya dan biarlah tidak ada ikatan batin sama sekali.
Pernah saya bertanya kepada Ibu, bagaimana bisa bertahan sekian tahun lamanya dengan status “Janda Bukan, Istri Orang Juga Bukan” ini? Karena saya merasa dengan sering absennya sosok “Ayah” itu, Ibu adalah orangtua tunggal. Ibu tak pernah menjawab. Pernah juga saya bertanya, kenapa Ibu mau jadi istri muda? Ibu selalu diam. Namun, Ibu selalu berpesan kepada saya untuk menjadi perempuan mandiri dan sebisa mungkin untuk tidak mengikuti jejaknya.
Membangun dan mempertahankan keluarga semacam ini tidak mudah. Segala intrik, iri dengki di antara para istri dan anak itu pasti ada. Kebohongan-kebohongan, baik yang kecil dan yang besar akan selalu menyertai. Belum lagi bila pemimpin keluarganya terkadang kurang adil dan tepat dalam mengambil keputusan. Hiruk pikuk keributan dan kekacauan sulit dihindari. Jika sudah begitu ingin rasanya saya teriak, “Berlakulah bijak! Seperti junjungan yang dengan namanya kamu jadikan alasan untuk berpoligami, jangan cuma enaknya aja yang ditiru!”
Akan selalu seperti ini, bila ajaran agama digunakan tidak dengan hati-hati.
Berbagi suami dan perasaan bertahun-tahun membuat Ibu saya kini mati rasa. Segala yang diharapkannya dahulu sudah lewat begitu saja, tak terpenuhi oleh waktu dan keadaan. Saya tidak ingin laki-laki itu menemani Ibu saya di usia senja. Biarlah dia dengan kehidupan dengan istri-istrinya yang lain. Sudah cukup, Ibu. Sudah cukup.
Putri Daeng adalah seorang penggemar Nasi Padang yang tidak bisa melafalkan huruf ‘r’. Semampunya sedang berusaha untuk tidak menyesal ketika menyelesaikan hidupnya nanti.