Lifestyle

Klub Buku Menjamur, Benarkah Minat Baca Masyarakat Indonesia Meningkat?

Ini cerita tentang geliat klub-klub buku di era internet, sekaligus cerita membongkar mitos "minat baca Indonesia rendah".

Avatar
  • June 28, 2023
  • 12 min read
  • 2334 Views
Klub Buku Menjamur, Benarkah Minat Baca Masyarakat Indonesia Meningkat?

Setiap bulan, lebih dari 100 orang berkumpul dalam ruangan zoom yang dibuka oleh The Diversitea Book Club. Ratusan orang ini adalah para pecinta buku. Mereka datang dari berbagai wilayah di Indonesia dan sengaja meluangkan waktu di sela-sela kesibukan untuk hadir mengikuti diskusi buku daring bertajuk The Diversitea Tea Party bersama penulis favorit mereka.

Sabtu, 27 Mei lalu, aku adalah satu satu dari ratusan pecinta buku ini. Tidak peduli dengan rasa capek yang luar biasa pasca-menonton konser, tepat jam 7 malam aku sudah duduk manis di meja dengan tabletku.

 

 

Pikiranku kala itu cuma satu, kapan lagi bisa ikut diskusi bersama Zoulfa Katouh, Penulis berdarah Suriah yang menulis As Long As Lemon Trees Grows buku yang baru-baru ini kunobatkan jadi salah satu novel favorit sepanjang masa.

Dalam sesi diskusi yang berlangsung selama kurang lebih dua jam, Katouh diberikan ruang seluas-luasnya untuk bercerita tentang pengalamannya selama menulis. Ia bahkan tak takut membagikan cerita kondisi mentalnya yang cukup terpuruk kala melakukan riset konflik bersenjata di Suriah.

Pembawaan Katouh yang ramah dan easy going membuat ceritanya banyak direspons oleh para peserta. Berbagai pertanyaan dan refleksi pribadi terlontar dari peserta diskusi dan jika saja tidak dibatasi, mungkin diskusi malam itu bisa berjalan lebih dari 3 jam lamanya.

Pandemi yang Melahirkan dan Membangkitkan Kembali Klub Buku

Diskusi buku bersama Zoulfa Katouh menandai kesuksesan The Diversitea Book Club yang kini sudah hadir sebanyak 23 kali.  Shabrina, pendiri dari The Diversitea Book Club, mengatakan The Diversitea Tea Party memang selalu ramai peminat.

Sejak diselenggarakan dari Januari 2021, klub buku ini selalu bisa menggaet rata-rata peserta berjumlah sebanyak 50 sampai 100 orang. Bahkan pernah mencapai hampir 300 orang. Pencapaian ini bisa dibilang cukup mengagumkan, lantaran The Diversitea Book Club sendiri adalah klub buku yang bisa dikatakan “eksklusif”, meski sangat inklusif.

“Ini buku-buku yang ditulis oleh penulis BIPOC (Black, Indigenous, and other People of Color), penulis dengan latar belakang dan identitas marjinal seperti kelompok LGBTQIA+, ras dan etnis minorita), penulis  penyandang disabilitas, dan penulis neurodivergent. Jadi memang kami ingin menyediakan ruang aman yang inklusif untuk pembaca dan menyebarkan kecintaan kami terhadap buku-buku diverse melalui klub buku ini,” jelas Shabrina. 

Kehadiran The Diversitea Book Club di Indonesia sejak 12 Desember 2020 lalu menambah deretan angka klub buku yang kebetulan sedang aktif bergeliat di Indonesia dalam tiga tahun terakhir. Di Twitter maupun Instagram, kini klub buku lebih mudah ditemui dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. 

Sumber: The Diversitea Book Club

Dalam dua sampai tiga kali sapuan jari di akun khusus para pecinta buku di Twitter seperti Literary Base (@literarybase) saja misalnya, kamu sudah bisa menemukan berbagai klub buku. Kini pencinta buku tinggal memilih saja klub buku mana yang ingin mereka datangi. 

Baik itu klub buku berbasis wilayah (Sunmor Book Club di Yogyakarta atau Kelana Book Club di Palembang), klub buku berdasarkan genre (Nonfiction Book Club dan Book Clan) hingga klub buku khusus untuk membaca dalam sunyi (Baca Bareng) atau demografi tertentu seperti ibu-ibu (Buibu Baca Buku Book Club) semua kini tersedia. Gratis tanpa ada persyaratan jadi anggota.

Hestia Istivani, Duta Baca Buku Jakarta 2023 sudah berkecimpung di dunia literasi sejak 2012. Katanya, Indonesia sejak dulu punya cukup banyak klub buku. Ia sendiri dulu tergabung dalam Blogger Buku Indonesia yang kerap menyelenggarakan pertemuan luring. Tapi sayang, umur dari banyak klub-klub buku seperti BBI ini tidak bertahan lama. 

“Inisiator klub-klub buku ini mulai sibuk. Punya keluarga, punya kerjaan. Sayangnya ini enggak dibarengi dengan regenerasi ke angkatan di bawahnya. Kalau pun ada regenerasi, angkatan di bawahnya tidak bisa sustain. Tidak bisa membaca tren yang lagi naik atau membaca kebutuhan para pesertanya, makanya ya lama-lama mati,” kata Hestia.

Di saat klub buku kesulitan untuk mengejar tren dan menjangkau lebih banyak anggota, pandemi Covid-19 justru menawarkan jalan keluar. Dalam pembatasan sosial yang ketat, Covid-19 memberikan para pembaca buku kesempatan untuk mencari cara baru menikmati buku seraya tetap terhubung dengan sesamanya dan ini sudah jadi fenomena global.

Dilansir dari The Guardian, internet telah memungkinkan klub-klub buku generasi baru terbentuk. Di Amerika Serikat, ada Quarantine Book Club yang menawarkan kesempatan kepada para pembaca untuk bertemu langsung dengan penulis secara daring. 

Di Inggris, Salon London meluncurkan klub buku dua mingguan dan meningkatkan frekuensi bincang-bincang penulis secara langsung menjadi streaming di YouTube dua kali seminggu, setelah mengamati adanya peningkatan 20 persen dalam jumlah penonton selama pandemi. 

Di Indonesia sendiri, Hestia berusaha menjelaskan fenomena ini dari pengalamannya sendiri. Selain merupakan Duta Baca Buku Jakarta 2023, ia adalah inisiator Baca Bareng, sebuah komunitas baca buku yang terinspirasi gerakan baca senyap atau Silent Book Club (SBC) di San Fransisco, Amerika Serikat. Sejak berdiri pada Agustus 2019 komunitas ini fokus pada sesi baca buku luring di kedai kopi di Jakarta tiap hari Minggu, sebulan sekali, selama dua jam.

Celakanya, karena peraturan pembatasan sosial kala pandemi sesi baca buku ini harus terpaksa berhenti. Hestia yang tidak mau komunitasnya ini mati begitu saja dan secara pribadi tetap ingin terhubung dengan sesama pembaca buku lain pun harus memutar otak. 

Dibantu oleh teman-temannya sesama pecinta buku serta arahan dari Silent Book Club pusat yang ada di Amerika Serikat, Hestia akhirnya meramu strategi baru untuk tetap mempertahankan komunitasnya ini. Untuk pertama kalinya, Hestia memindahkan Baca Bareng ke ruang digital yang kemudian ia namakan Baca Bareng Daring. 

Sumber: bacabareng.sbc

“Bermodalkan akun Zoom, aku mengadakan Baca Bareng Daring di bulan Maret 2020. Waktu itu baru 12 orang yang bergabung dan durasi yang aku gunakan hanya 30 menit. Dari situ ternyata responnya cukup positif. Mulai banyak yang datang dan ternyata lewat sesi daring ini juga aku bisa menjangkau teman-teman di luar Jakarta yang dulu terkendala lokasi untuk bisa ikut Baca Bareng,” curhat Hestia. 

Memindahkan ruang baca luring ke ruang digital ternyata memang ampuh menjangkau komunitas pembaca yang lebih luas dengan jumlah yang lebih banyak. Cara inilah yang menurut Hestia kemudian membuat banyak para pecinta buku lain akhirnya terdorong untuk membentuk klub bukunya sendiri. 

“Aku berhasil memperlihatkan ke teman-teman lain ternyata untuk membangun klub buku sekarang tuh mudah lho. Asal kamu punya koneksi internet kamu bisa buat sendiri. Kemudahan ini juga dibarengi sama behaviour pembaca buku di media sosial kaya di Twitter yang suka ‘pamer’ baca buku dan kegiatan baca buku mereka. Ini bikin orang-orang iri dan terdorong untuk menduplikasi,” kata Hestia.

Ucapan Hestia ternyata juga diamini oleh Shabrina. Sebagai inisiator klub buku yang berdiri di masa-masa kritis pandemi, pandemi seakan memberikan berkah tersendiri bagi para pecinta atau pembaca buku. Dengan setiap perangkat yang terhubung dengan internet, banyak orang mulai berbagai ulasan dan rekomendasi buku di media sosial masing-masing. 

Baca juga: Rasa Bersalah saat Bikin Target Bacaan: Membaca Bukan Perlombaan

Diskusi buku pun akhirnya berpindah medium. Jika dulu diskusi buku umumnya diselenggarakan secara luring, sejak pandemi diskusi buku berpindah ke ruang digital, baik melalui video conference, diskusi terbatas di discord atau bahkan di Twitter Space

“Sejak dimudahkannya pertemuan di ruang digital, beberapa teman-teman pembaca mulai membangun sendiri klub buku daring mereka masing-masing untuk mengisi kegiatan selama pandemi dan mendekatkan pembaca, penulis, dan orang-orang yang bergerak di bidang literasi tanpa batasan jarak,” tutur Shabrina.

Tidak hanya mampu menghubungkan banyak orang tanpa batasan jarak, buat Puti Karina Puar, inisiator dari Buibu Baca Buku Book Club atau BBB Book Club generasi baru klub buku era pandemi ini juga mampu memperluas akses terhadap individu-individu dengan identitas sosial tertentu. Lewat pengalamannya sebagai seorang ibu, Puti menyadari betapa sulitnya para ibu punya waktu sendiri untuk membaca apalagi ikut kegiatan klub buku luring yang membutuhkan mobilisasi tinggi.

Ibu yang masih harus menyusui anaknya misalnya tidak mungkin bisa ikut diskusi buku. Diskusi yang selalu dilakukan secara luring oleh klub-klub buku sebelum pandemi menyerang. Namun, berkat pandemi para ibu dimungkinkan untuk bergabung. Mereka diberikan kenyamanan baru yang tidak pernah mereka cicip sebelumnya.

“Diskusi online, itu somehow masuk ke target audiens ibu-ibu. Mereka dimudahkan. Dalam pengalaman BBB Book Club itu ada lho ibu-ibu yang lagi nyusuin hadir ke diskusi kita. Mereka bisa off camera, ikut diskusi sambil nyusuin anaknya tanpa khawatir. Ini kan hal yang tidak bisa dilakukan kalau mereka ikut diskusi buku luring yang dulu (sebelum pandemi) jadi format umum klub buku,” jelas Puti.

Benarkah Minat Baca Masyarakat Indonesia Tinggi?

Berbincang soal klub buku, tidak lengkap rasanya jika tidak dibarengi dengan membincangkan minat baca masyarakat Indonesia. Save the Children baru-baru ini merilis riset mereka tentang minat membaca.

Di tengah gempuran anggapan bahwa orang Indonesia malas membaca atau punya minat membaca yang rendah, Save the Children justru menemukan Tingkat Kegemaran Membaca (TGM) masyarakat Indonesia berada pada skor 63,9 poin pada 2022. Skor tersebut meningkat 7.4 persen dibandingkan tahun lalu.

Sementara itu Adi Sarwono, inisiator gerakan literasi Busa Pustaka di Provinsi Lampung, dalam wawancaranya bersama BBC Indonesia juga mengatakan minat baca masyarakat Indonesia sebenarnya cukup tinggi. Hanya aksesnya saja yang memang tidak mumpuni.

Berdasarkan pengalamannya mendirikan perpustakaan keliling, ia melihat bagaimana anak-anak dan remaja selalu antusias menunggu kehadirannya untuk membaca buku. Ia bahkan mengatakan antusiasme satu sekolah untuk membaca buku di koridor kelas jadi penyemangat perjalanannya. 

Secara data dan pengalaman pegiat literasi memang minat baca masyarakat Indonesia terlihat baik-baik saja bahkan cukup tinggi. Temuan-temuan ini jadi bantahan terhadap minat baca masyarakat Indonesia yang rendah. Hal ini juga ditambah dengan kehadiran klub buku yang menjamur di Indonesia dan antrean membaca buku di iPusnas yang bisa sampai ribuan untuk satu buku bisa jadi barometer yang cukup untuk menilai minat baca. 

Namun apakah variabel-variabel ini sudah cukup baik menggambarkan minat baca seluruh masyarakat Indonesia yang diklaim tinggi? Jawabannya tidak. Puti menjelaskan selama ini ketika berbincang soal minat baca masyarakat Indonesia, kita sering kali melakukan simplifikasi. 

Bukannya berusaha untuk menanyakan dan menjawab terlebih dahulu tentang apa sebenarnya yang dimaksud atau didefinisikan sebagai minat baca, kita justru selalu berakhir pada dua pendapat. Minat baca rendah dan minat baca tinggi yang hanya mengandung beberapa variabel saja.

“Ada yang bilang minat baca rendah, ada juga yang bilang tinggi. Yang bilang minat baca tinggi bisanya ngomong kalau ini (minat baca) kelihatan dari antusiasme anak-anak tiap kali ada orang yang bawa buku ke daerah mereka. Tapi apakah itu langsung bisa diterjemahkan sebagai minat baca tinggi? Apakah anak-anak itu datangnya berulang? Mereka membaca berapa banyak? Mereka membaca apa buku apa saja? Itu menurut aku perlu ditanyakan juga,” jelas Puti.

Puti lalu menjelaskan mengukur minat baca buku masyarakat Indonesia, diperlukan pemahaman mendalam dan data-data terkait geliat bisnis buku itu sendiri. Bisnis buku terutama lewat toko buku besar seperti Gramedia atau Gunung Agung menurut Puti mencerminkan ketertarikan masyarakat umum terhadap buku. Dari eksistensi mereka, kita bisa melihat daya beli dan kebiasaan membaca masyarakat secara umum.

Baca juga: Setop ‘Book Shaming’, Berikut 5 Manfaat Baca Novel Fiktif

Ini berbanding terbalik dengan eksistensi toko buku indie seperti Pos Santa atau Patjarmerah atau toko buku daring. Menurutnya toko buku indie dan daring sudah pasti menjual buku untuk orang-orang yang sedari awal memang suka membaca buku.  

“Tapi kalau misalnya orang semakin enggak passionate berbisnis buku, banyak yang tutup ya berarti memang marketnya enggak growing gitu sih. Bahkan sudah jadi rahasia umum di kalangan pelaku bisnis toko buku besar, satu hal yang ngebuat toko-toko ini survive sebenarnya bukan dari penjualan buku lho. Tapi justru dari penjualan merchandise kayak alat tulis, printer, dan lain-lain,” ungkap Puti.

Puti menambahkan minat baca masyarakat Indonesia juga bisa diukur lewat pengalaman penulis dalam menjual bukunya. Puti yang kebetulan adalah seorang penulis bercerita bagaimana ia kesulitan menjual bukunya sendiri yang ia cetak sebanyak 3.000 eksemplar. Jumlah “minimal” buku yang kata Puti harus terjual untuk bisa dikatakan best seller. 

Dengan jumlah yang sebenarnya sedikit sekali jika kita melihat jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 273 juta orang, Puti mengaku butuh waktu lama bahkan untuk bisa menjual seribu buku. Ia putar otak dan sampai harus berulang kali berbincang dengan editor untuk mencari cara mempromosikan bukunya. 

Kesulitan penulis untuk menjual bukunya juga jadi refleksi tersendiri buat Puti apalagi dalam survei yang dilakukan BBB Book Club pada 2021 ditemukan masih ada stigma yang dialami oleh pecinta buku di Indonesia. Dari 770 respons yang ada masih ada rata-rata sekitar 6 persen dari semua kelompok umur yang mendapatkan stigma dari lingkungannya karena gemar membaca buku.

Hal ini kemudian dielaborasi lebih lanjut lewat dukungan yang didapatkan oleh para pembaca yang ternyata hanya 26 persen dari responden yang menjawab keluarganya punya hobi membaca. Kelompok ini membaca lebih banyak buku dalam setahun daripada kelompok responden yang orang tuanya tidak gemar membaca buku. 

Hasil survei ini pun beresonansi dengan pengalaman Hestia. Baik adik perempuan Hestia dan Hestia sendiri pernah dirundung karena gemar membaca buku. Adik perempuan yang beberapa kali dirundung karena lebih memilih membaca buku di dalam kelas dibandingkan bermain di lapangan bersama teman-temannya di jam istirahat. 

Baca juga: Penggunaan Bahasa Daerah Tingkatkan Kemampuan Belajar Siswa di Indonesia Timur

Sedangkan Hestia saat pertama kali pindah ke Jakarta sempat mendapatkan nyinyiran dari seniornya karena selalu terlihat membaca buku. Hestia pun mengatakan stigma ini boleh jadi masih dialami oleh para pecinta buku karena masyarakat Indonesia secara umum bahkan belum berkenalan dengan kegiatan membaca sebagai bagian dari hiburan atau hiburan.

“Most of our reading activities itu ditekankan untuk belajar, untuk lulus ujian. Tidak ada kesenangannya di situ. Kalau kita saja enggak bisa merasa senang membaca buku, gimana kita mau masuk ke tahap membaca buku sebagai kebutuhan? Membaca untuk mendapatkan ilmu,” tutur Hestia.

Dengan kompleksitas minat baca masyarakat Indonesia, maka ada tugas besar yang menunggu. Pemerintah utamanya baik Hestia dan Shabrina punya tanggung jawab lebih besar dibandingkan individu, organisasi masyarakat, dan klub buku. Sebagai pemangku kebijakan pemerintah adalah satu-satunya yang punya sumber daya besar untuk memperluas akses membaca buku pada masyarakat.

Akes ini tidak hanya dengan memperbanyak perpustakaan di kota-kota besar dan di pulau Jawa saja, tetapi juga di daerah-daerah pelosok dan wilayah Timur. Wilayah Timur seperti Maluku dan Papua dalam riset Save the Children masing-masing hanya memiliki empat dan lima perpustakaan terakreditasi saja.

Selain itu menurut keduanya pemerintah juga bisa memberikan subsidi buku sebanyak-banyaknya atau membeli hak kekayaan intelektual (HKI) dari penulis agar dapat menggratiskan buku bagi masyarakat. Pemerataan jaringan internet pun menurut keduanya sangat diperlukan. Hal ini karena perpustakaan daring seperti iPusnas pasti tidak akan bisa diakses oleh orang-orang yang tidak memiliki koneksi internet bahkan akses listrik memadai.

Terakhir, pemerintah juga bisa membuat kebijakan terkait harga buku. Dalam hal ini Shabrina secara spesifik mengatakan pemerintah harus membuat harga buku mereka di Indonesia. Harga buku di luar Pulau Jawa lebih mahal dari harga buku di Pulau Jawa membuat banyak orang akhirnya enggan membeli buku. Buku menjadi kebutuhan tersier karena harganya bahkan bisa melebihi makan seminggu.

“Ya aku berharap cara-cara ini bisa ditempuh sama pemerintah. Bukan cuma lip service. Karena mau bagaimana pun untuk bisa membangun kebiasaan membaca yang baik, perlu ada intervensi dan perbaikan akses dari pemerintah sendiri. Mereka yang punya budget-nya,” tutup Hestia.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *