Mengurai Komitmen Pertamina dalam Transisi Energi Terbarukan
Dari menggandeng warga Desa Berdikari hingga memanfaatkan panas Bumi sebagai sumber energi, berikut inisiatif Pertamina dalam transisi energi.
Di malam pertama festival musik Lollapalooza di Chicago, Amerika Serikat, (3/8), Billie Eilish mengaku konser itu ditenagai dengan baterai nol-emisi. Penyanyi lagu “What Was I Made For” itu bilang, proyek ramah lingkungan adalah hasil kerja sama dengan lembaga lingkungan non-profit Reverb, dan perusahaan pembangkit listrik tenaga surya Overdrive Energy Solutions. “Kita harus mulai peduli dengan Bumi ini,” serunya kepada para fans.
Ini bukan kali pertama, Billie secara terbuka membicarakan pentingnya aksi pribadi untuk mengatasi krisis iklim. Setahun silam, bersama dengan pelawak Rainn Wilson, mereka menyebutkan ada kondisi darurat di Bumi, sehingga butuh aksi nyata hari ini. Di tahun yang sama, ia juga menggunakan tenaga surya dan mendaur ulang atau mengompos 92 persen sampah bekas fans di konsernya bareng University of Georgia’s Office of Sustainability.
Menggunakan tenaga surya yang ramah lingkungan, adalah jalan ninja Billie untuk melibatkan diri. Begitu juga dengan sejumlah musisi yang melakukan hal serupa, mulai dari Pink (2018-2019), Tame Impala (2020), Harry Styles (2021), hingga Coldplay (2022). Di Indonesia, jauh sebelum itu, band Navicula sengaja pakai tenaga matahari untuk menggerakkan listrik dalam konsernya di Borobudur, Jawa Tengah pada 2012. Nosstress menyusul dengan pakai tenaga surya dan angin pada konsernya di Jogja (2013) dan Bali (2019), dilansir dari Mongabay.
Kita bisa meniru inisiatif musisi-musisi sohor tersebut dari diri sendiri. Misalnya dengan mencabut charger gawai yang tak terpakai, menggunakan barang-barang bertenaga alternatif seperti powerbank, juga menghapus email secara rutin. Ihwal menghapus email ini, laporan McAfee bertajuk “The Carbon Footprint of Email Spam Report” (2009) menjelaskan, 78 persen email yang masuk ke kita adalah spam. Sebanyak 62 triliun pesan spam per tahun menyedot listrik 33 miliar kilowatt jam (KWh) dan eksesnya adalah 20 juta ton karbondioksida. Karena itu, menghapus surel spam secara rutin, setidaknya 10 buah per hari, bisa menghemat 55,2 juta KWh listrik di sistem data.
Selain terlibat dalam upaya-upaya itu, selemah-lemahnya iman yang bisa kamu lakukan adalah mendukung inisiatif tentang pemanfaatan energi terbarukan (EBT). Salah satu inisiatif yang perlu kita dukung, dilakukan oleh perusahaan pelat merah Pertamina. Lewat misi jangka panjang mencapai transisi energi nol emisi, Pertamina telah melakukan pelbagai aksi nyata. Ini sejalan dengan komitmen negara yang memang ingin mencapai emisi nol karbon pada 2060 atau lebih cepat, sesuai amanat Perjanjian Paris yang diteken bersama 194 negara lainnya.
Baca juga: ‘Kiamat’ Energi Fosil di Depan Mata, Energi Terbarukan adalah Kunci
Transisi Energi Terbarukan
Dalam liputan Jasmine Floretta di Magdalene bertajuk “Kiamat Energi Fosil, Energi Terbarukan adalah Kunci” (2022) dijelaskan besarnya ketergantungan kita pada energi fosil. National Geographic dalam “Renewable Energi, Explained” (2019) menyebutkan, ketergantungan kita pada energi fosil seperti batubara, gas, dan minyak paling besar terjadi dalam 150 tahun terakhir. Sebut saja penggunaan peralatan elektronik, transportasi, bola lampu.
Padahal jumlah energi fosil terus menipis, menurut penelitian Millennium Alliance for Humanity and the Biosphere (MAHB) Universitas Stanford (2019). Bahan bakar fosil minyak, gas, dan batu bara bakal ludes dalam 30 tahun, cadangannya betul-betul tak bersisa pada 2052. Gas diprediksi habis pada 2060. Sementara, batu bara–sumber energi terbanyak untuk pembangkit listrik–diprediksi habis dalam kurun 70 tahun, dengan cadangan terakhirnya pada 2090.
Jika prediksi-prediksi itu terjadi, kita manusia akan menanggung dampaknya yang paling distopik. National Geographic menjelaskan, gas rumah kaca yang dilepaskan dari pembakaran bahan bakar, bakal memerangkap panas di atmosfer yang seharusnya bisa lepas ke luar angkasa. Peningkatan suhu di Bumi akhirnya jadi niscaya. Kita kerap menyebutnya dengan pemanasan global, salah satu gejala paling mudah dikenali dari perubahan iklim. Selain suhu Bumi yang kian panas, berbagai peristiwa ekstrem pun mengekos, mulai dari naiknya permukaan air laut, bencana alam banjir, kebakaran, longsor, juga lenyapnya habitat satwa liar.
Baca juga: Pentingnya Pelibatan Perempuan dalam Isu Energi Terbarukan
Sementara di level rumah tangga, bisa jadi kita tidak lagi bisa dapat energi listrik yang memadai karena cuma menyala satu jam sekali. Mobilisasi juga terhambat karena bensin habis. Mau memasak makanan pun, tak ada gas yang bisa digunakan.
Berangkat dari skenario inilah, kita butuh energi terbarukan. Energi ini menurut definisi United Nations, berasal dari sumber alami yang diisi ulang pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dikonsumsi. Ia bisa berupa tenaga air, panas Bumi, biomassa, tenaga surya, tenaga angin, panas laut, ombak, dan pasang surut air laut. Sumber energi terbarukan berlimpah dan ada di sekitar kita. Dalam laporan IESR, Beyond 443 GW Renewables Energy Potential (2021) disebutkan, bahkan Indonesia memiliki potensi teknis hingga 7.714.6 GW dari tenaga surya.
Di Indonesia, komitmen untuk bertransisi ke energi terbarukan sebenarnya masuk dalam berbagai produk hukum kita. Mulai dari Undang-undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi. Lalu ada UU Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris Atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim. Ada juga Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Khususnya dalam Undang-undang Energi juga diamanatkan agar disusun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sampai dengan 2050. RUEN inilah yang jadi dasar kebijakan energi terbarukan, dan ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2017.
Dalam RUEN disebutkan, Indonesia menargetkan penggunaan EBT di bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025 dan 31 persen di 2050. Target ini, dilansir dari policy brief Institute for Essentials Services Reform (2018), setara dengan 45,2 gigawatt (GW) pembangkit listrik EBT di 2025. Sementara, kondisi terkini, menurut data Badan Pusat Statistik, bauran EBT meski terkerek naik dari 4,4 persen jadi 11,5 persen di 2020, tapi masih jauh dari target yang dipatok.
Pemerintah mesti lebih serius dan ambis mengejar target EBT ini. Terlebih, mengingat secara sumber daya, Indonesia punya stok energi terbarukan yang melimpah dan bisa dimaksimalkan. Di antaranya, energi air sebesar 450 MW, Biomass 50 GW, energi surya 4,80 kWh/m2/hari, energi angin 3-6 m/det, dan energi nuklir 3 GW, catat Kementerian Energi dan Sumber Daya mineral. Dengan potensi tersebut, peluang kita menyelamatkan Bumi bakal semakin terbuka lebar.
Baca juga: 5 Perempuan Inspiratif di Bidang Energi dan Pertambangan
Dari Desa Berdikari hingga Listrik dari Panas Bumi
Usaha penyelamatan Bumi dengan EBT memang cuma salah satu ikhtiar. Namun, memulai langkah pertama selalu layak untuk kita apresiasi. Di Indonesia, Pertamina sebenarnya sudah mencicilnya lewat berbagai inisiatif yang langsung menyentuh akar rumput. Bahkan menggandeng mereka dalam strategi pentahelix tersebut.
Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati menjelaskan komitmen perusahaan untuk menjaga ketahanan energi nasional, dengan tetap melihat potensi EBT. Strategi Pertamina dijabarkan pada 10 Fokus Keberlanjutan, yaitu mengatasi perubahan iklim, mengurangi jejak lingkungan, melindungi keanekaragaman hayati, kesehatan dan keselamatan, pencegahan dan kecelakaan besar, pengembangan dan retensi rekrutmen karyawan, inovasi dan penelitian, keterlibatan dan dampak komunitas, keamanan siber, serta etika perusahaan.
Perwujudannya misal, guna menekan emisi, Pertamina sengaja melakukan dekarbonisasi dalam setiap kegiatan operasionalnya. Tak cuma itu, Pertamina juga memperkuat infrastruktur gas di seluruh rantai nilai. Ia juga membangun pembangkit listrik tenaga panas Bumi (PLTP) lewat PT Geothermal Energy (PGE). Hingga di penghujung 2021, sudah ada 21 PLTP di Kamojang, Sibayak (Sumatera Utara), Ulubelu (Lampung), Lahendong (Sulawesi Utara), Lumut Balai (Sumatera Selatan), dan Karaha (Jawa Barat). Total kapasitas 21 PLTP itu mencapai 672 MW.
Lalu yang paling laik diapresiasi adalah upaya Pertamina merangkul penduduk lokal lewat program Desa Berdikari. Desa ini “Kita tidak bisa melakukannya sendiri. Karena itu, kami membuka diri untuk kolaborasi global bersama seluruh peneliti, penemu dan para ahli dari universitas dan akademisi, perusahaan, kementerian hingga masyarakat melalui UMKM,” ucap Nicke, dilansir dari laman Pertamina.
Desa Energi Berdikari sudah digagas sejak 2019. Tak sekadar membangun infrastruktur, Desa Energi Berdikari juga memberdayakan warga dengan memanfaatkan sumber energi lokal agar akselerasi transisi energi merata hingga ke pelosok desa.
Dilansir dari Kompas, program Desa Berdikari telah memberikan manfaat dengan menghasilkan 143.250 watt peak (WP) energi pembangkit listrik tenaga surya serta 605.000 meter kubik per tahun energi gas metana dan biogas. Lalu, sebanyak 16.500 WP energi surya dan angin hibrida, 8.000 watt energi mikrohidro, dan 6.500 liter per tahun biodiesel, serta pengurangan dampak emisi sebesar 565.896 ton Co2 eq per tahun. Sementara dari sisi ekonomi, dampak Desa Berdikari telah dirasakan oleh 3.061 kepala keluarga dengan total multiplier effect sebesar Rp1,8 miliar per tahun.
Hingga artikel ini diturunkan, telah ada 52 desa yang mencapai kemandirian energi bersih. Di antaranya, Desa Keliki, Ubud, Gianyar, Bali. Desa ini menjadi kawasan yang paling kerap jadi percontohan dan dikunjungi stake holders dari berbagai negara, termasuk dalam gelaran G20 tempo hari.
Listrik yang dihasilkan desa dan bermanfaat untuk 1.200 warganya, berasal dari energi matahari. Nantinya, listrik akan digunakan untuk mengairi sawah serta menggerakkan alat pencacah dan pengolahan sampah. Dengan total kapasitas energi 28 KWp, sumber energi listrik ini diklaim menghemat energi Rp56 juta per tahun.
Desa Berdikari lainnya ada di Bondan, Cilacap, Jawa Tengah. Pada 2022, energi bersih diupayakan dengan sumber panel surya dan angin. Masih di Cilacap, ada Kampung Kepiting Kutawaru, Manggar. Desa ini memiliki program budi daya ikan dan kepiting, pertanian, serta eco village. Di akhir Juli lalu, Pertamina juga menyediakan infrastruktur energi listrik di Kalijaran, Cilacap untuk mengairi sawah warga. Ini menjadi langkah konstruktif guna mengatasi krisis air di musim kemarau, yang kerap menghantui warga.
Lalu ada Desa Manggar, Balikpapan yang mengelola sampah menjadi gas methane. Program ini memberi dampak pada sektor ekonomi dan kehidupan sehari-hari warga. Ada pula Desa Berdikari di Lampung Tengah yang memanfaatkan limbah tengah menjadi EBT melalui pembangunan 40 unit biogas.
Dari beberapa contoh di atas, Pertamina sekali lagi telah membuktikan diri sebagai pelopor dan pemimpin di bidang transisi EBT demi mencapai target nol emisi. Jadi buat kita, tak ada lagi alasan untuk tak mendukungnya, bukan?
Artikel ini disponsori oleh Pertamina.
Ilustrasi oleh: Karina Tungari