December 5, 2025
Issues Politics & Society

Warga Bantu Warga: Komunitas Motor dan Mobil Nongkrong di SPBU Swasta karena “BBM Langka”

Saat pemerintah tak punya jalan keluar buat kelangkaan BBM di SPBU Swasta, warga turun tangan saling bantu warga.

  • October 28, 2025
  • 4 min read
  • 888 Views
Warga Bantu Warga: Komunitas Motor dan Mobil Nongkrong di SPBU Swasta karena “BBM Langka”

Muhammad Baharudin Yusuf—akrab disapa Bijey (24)—bersiap berkumpul bersama komunitas motornya. Biasanya mereka nongkrong di tempat-tempat populer. Tapi malam itu berbeda. 

Ratusan anak muda dari berbagai komunitas motor dan mobil justru mendatangi sebuah SPBU swasta yang sepi di kawasan Tangerang. Bukan untuk isi bensin, tapi untuk sekadar ngopi, beli camilan, atau beli perlengkapan motor di minimarket SPBU. Mereka tahu, SPBU-SPBU swasta sedang terseok setelah kebijakan pemerintah membatasi impor BBM. Penjualannya turun drastis, ancaman PHK mulai membayangi para pegawai.

Dokumentasi: Rainershots

“Pelayanannya oke dibanding plat merah, terus ramah juga, dan puas sebagai pelanggan. Makanya kita ibaratnya empati sama pekerjanya, sayang aja gitu kalo ada PHK pekerja, gak adil si di-PHK karena kelakuan pembuat kebijakan,” kata Bijey.

Ia dulu pelanggan setia BBM RON 92 di SPBU swasta—meski lebih mahal—karena merasa mesin motornya lebih awet, tarikan lebih enteng. Tapi sejak stok BBM swasta langka, ia terpaksa pindah ke Pertamina, meski masih ragu akibat isu oplosan BBM. 

Baca juga: Skenario Terburuk Jika BBM Tetap Langka di SPBU Swasta

Maka, bersama komunitasnya, ia memilih cara lain menunjukkan empati: meramaikan SPBU yang sepi. Di sana, SPBU berubah dari sekadar tempat isi bensin menjadi ruang kreatif—tempat pamer modifikasi motor, bertukar cerita, sekaligus memperluas jaringan komunitas.

Fenomena ini tak hanya terjadi di Tangerang. Dalam seminggu terakhir, SPBU swasta di Surabaya, Gresik, Bandung, Jakarta, hingga Banten jadi tempat nongkrong dadakan. Gerakan “meramaikan SPBU swasta” menyebar organik lewat media sosial. 

Dokumentasi: Rainershots

Namun, komunitas menetapkan satu aturan: tak boleh membawa spanduk atau narasi yang menyudutkan pemerintah. Mereka tahu situasi politik sedang panas, dan tak ingin aksi solidaritas ini dibungkus sebagai aksi protes.

Pekerja Informal yang Terdampak “Aturan Bahlil”

“Rani”—nama samaran—kini lebih sering menyapu area SPBU daripada mengisi bahan bakar. Rekannya, “Irwan”, sibuk mengisi jerigen air dan mengecek fasilitas toilet. Jam kerja mereka ikut dipangkas. “Biasanya sebulan bisa 25 hari masuk, sekarang paling 10 sampai 15 hari,” kata Irwan. “Gaji jelas turun karena dihitung per hari.”

Sebelum BBM langka, Irwan bisa membawa pulang sekitar Rp5,2 juta per bulan. Setelah kebijakan efisiensi diberlakukan, pendapatannya merosot hampir separuh. 

Ia menyebut kondisi ini membuatnya ragu melanjutkan rencana pernikahan yang sudah lama disiapkan. “Saya sudah bilang ke calon istri soal keadaan sekarang. Masih bingung, jadi atau enggak,” ujarnya.

Padahal, SPBU tempat mereka bekerja dulunya tak pernah sepi. Letaknya strategis, dikelilingi pertokoan dan apartemen, membuat antrean kendaraan hampir tak putus. Kini suasananya jauh berbeda. Rani bilang, dalam sehari hanya beberapa mobil yang datang. “Sepi banget, biasanya enggak sempat duduk. Sekarang malah bingung mau ngapain,” tuturnya.

Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung  

Bisakah Warga Bertumpu pada Pemerintah?

Masalah bermula ketika Kementerian ESDM menolak menambah kuota impor BBM buat SPBU swasta. Stok pun kosong selama berminggu-minggu. 

Pada 19 September, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia bertemu Shell, Vivo, BP AKR, dan ExxonMobil untuk mencari jalan keluar. Hasilnya: mereka sepakat membeli BBM dari Pertamina—dengan syarat, BBM yang dikirim masih dalam bentuk base fuel, belum ditambah aditif, dan dicampur sendiri di tangki masing-masing SPBU. Tapi di lapangan, sampai akhir Oktober, banyak SPBU swasta tetap kosong.

Pengamat UGM, Fahmi Radhi, mengkritik kebijakan impor satu pintu ini. Menurutnya, itu bisa membuka jalan monopoli Pertamina. Jika SPBU asing hengkang, bukan hanya tata kelola migas yang tersentralisasi, tapi juga iklim investasi ikut terancam.

Diahhadi Setyonaluri (Ruri), peneliti dan pengajar di Departemen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, menilai langkah Bahlil justru menimbulkan risiko monopoli. 

“Kalau SPBU swasta diwajibkan beli dari Pertamina, mereka kehilangan otonomi impor dengan harga kompetitif,” jelasnya. 

Menurut Ruri, daya tarik utama bisnis SPBU swasta selama ini justru ada pada otonominya: mereka bebas menentukan kuota, mencari pasokan dengan harga lebih murah, dan menyesuaikan harga jual dengan pasar. “Kalau itu diambil, insentif bagi investor hilang,” katanya. 

Ruri menegaskan, kebijakan yang menekan otonomi swasta akan berdampak langsung ke para pekerja di lapisan terbawah, seperti operator SPBU. Ketika jam kerja dan pendapatan dipangkas, mereka menjadi rentan beralih ke sektor informal tanpa perlindungan sosial memadai. 

“Pekerja informal sering kali tidak terlindungi oleh jaminan sosial dan pengaturan ketenagakerjaan yang memadai,” ujarnya. “Dari sisi pendapatan, makin banyak orang yang pendapatannya naik-turun, maka secara agregat, pendapatan nasional menjadi tidak stabil.”

Di tengah kebuntuan kebijakan, gerakan warga bantu warga seperti yang dilakukan Bijey menjadi napas sementara bagi SPBU swasta dan para pekerjanya.

Solidaritas ini muncul bukan dari instruksi negara, tapi dari empati: sesama warga saling menjaga agar yang lain tetap bisa bertahan. Di saat kebijakan menciptakan ketidakpastian, gotong royong justru menemukan ruang hidupnya.

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.