‘Magdalene’ Akui Lalai Jadi ‘Media Partner’ JILF, Kita Perlu Tegas Lawan Genosida
Afiliasi JILF dengan sponsor yang terkoneksi dengan Israel bikin publik kecewa. Kejadian ini jadi refleksi bersama tentang pentingnya meneguhkan posisi kontra terhadap genosida di Palestina.
Jakarta International Literary Festival (JILF) kembali dilangsungkan di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta Pusat. Ajang yang mempertemukan gagasan antara penulis Indonesia dan mancanegara ini mengangkat tema “F/acta: Words and Actions Aligned On Eco Literature”. Sayang, penyelenggaraan tahun ini diwarnai kontroversi. Mereka dianggap jadi enabler genosida Palestina usai disponsori Frankfurt Book Fair yang terafilisasi Israel.
Salah satu kritik dilontarkan Intan Paramaditha, penulis yang juga pembicara pada Panel 1 Forum Penulis JILF, (30/11) lalu. “Saya kecewa dengan pernyataan JILF yang tidak menjelaskan apa-apa selain menebalkan posisi pro Palestina mereka. Saya telah berupaya berdialog sebisa mungkin, karena harapan yang saya miliki pada beberapa orang yang terlibat di JILF, dan saya memohon maaf dialog itu tidak berhasil,” tulis Intan dalam catatannya yang dibagikan di Instagram.
Baca juga: 7 Catatan Penting dari Setahun Genosida Israel di Palestina
Dugaan JILF yang jadi enabler genosida Israel di Palestina sendiri mencuat setelah mereka memberi ruang bagi Claudia Kaiser, Vice President Business Development Frankfurt Book Fair untuk tampil. Ia menggantikan Laura Prinsloo dari Jakarta Content Week, yang berhalangan hadir.
“Saya menyampaikan kepada JILF bahwa kesepakatan di awal tidak seperti ini, dan bahwa saya melihat adanya kooptasi yang pelan-pelan terjadi menjelang acara berlangsung,” imbuh Intan.
Enggak cuma Intan yang kecewa. Organisasi masyarakat sipil independen yang fokus pada isu lingkungan, Trend Asia juga mengambil sikap tegas. Mereka memilih tak melanjutkan keterlibatannya dalam gelaran JILF 2024. Bahkan booth mereka dalam pameran sengaja disulap jadi ruang protes terhadap siapa pun yang mendukung genosida.
JILF di sisi lain, telah mengklarifikasi berita ini lewat laman media sosialnya, (1/12). Mereka mendaku konsisten mendukung suara-suara komunitas yang terpinggirkan, terutama suara penulis dan seniman Palestina. Sponsor Frankfurt Book Fair, menurut JILF juga tak memiliki intervensi apa pun dalam penyelenggaraan festival.
Magdalene sempat menghubungi pembicara lain yang sempat memutuskan untuk tidak menghadiri sesi diskusi, Hariati Sinaga. Ia seharusnya tampil bersama Suraya Afiff dalam Panel 4, yang membicarakan suara kelompok marjinal.
Mengetahui keterlibatan Frankfurt Book Fair sebagai sponsor, Hariati langsung menarik diri. Alasannya, dalam konteks genosida di Palestina, membicarakan kelompok marjinal saja menjadi tidak cukup. Kita perlu bekerja sama dengan komunitas itu untuk mendengar harapan mereka.
“Sebetulnya dalam panel itu pertanyaannya adalah, kalau misalnya ada penulis menceritakan tentang kisah kelompok marjinal, apakah itu termasuk apropriasi budaya atau tidak? Tadinya, jawabanku itu menyasar ke proses kerja sama yang seharusnya ada setelah kita menuliskan kisah mereka. Kita harus bekerja bersama dengan kelompok marjinal, terus mendengarkan apa yang sebenarnya mereka harapkan dari tulisan kita. Apakah cukup hanya membicarakannya?” jelas Hariati.
Ia menambahkan, ketidakhadirannya adalah jawaban atas pertanyaan utama panel tersebut. Agar tidak terjadi apropriasi budaya, atau klaim dan pengambilan unsur budaya oleh kelompok budaya dominan dari kelompok minoritas.
“Kita harus bekerja bersama dengan kelompok marjinal itu. Dan seharusnya itu menunjukkan sikap kita terhadap festival literasi ini. Kalau kita mendengarkan (rakyat Palestina), sebenarnya bahkan mereka berharapnya kita melakukan aksi yang lebih keras lagi,” ucapnya.
Baca juga: ‘When Olive Trees Weep’: Tentang Luka, Duka, dan Pencarian Keadilan Tanpa Ujung Palestina
Kritis dengan Siapa Bekerja, Pelajaran Penting buat Magdalene
Dalam pernyataannya, Intan mengingatkan, peduli dan mencari tahu dengan siapa kita bekerja sebagai hal penting. Meskipun terlihat rumit, pertanyaan ini harus tetap dihadirkan agar kerja-kerja budaya bisa memihak pada keadilan sosial. Pada akhirnya Intan berharap pernyataan sikap dan kekecewaan masyarakat terhadap JILF kali ini dapat menjadi pelajaran awal untuk kolektif lanjutan di depan.
“Di panel JILF saya membagi pertanyaan penting gerakan feminis: ‘Dengan siapa kita bekerja?’ Jawaban pertanyaan ini bisa sangat rumit namun harus terus direnungkan untuk kerja budaya yang berpihak pada keadilan sosial. Pertanyaan ini juga saya ajukan sebagai kritik pada diri saya sendiri. Saya ingin memanfaatkan ruang-ruang yang seharusnya merupakan milik kita, warga negara Indonesia, sebagai ruang pertemuan untuk berpikir kritis dan mulai mengidentifikasi kawan gerak bersama,” tulis Intan.
Selaras dengan hal ini, Hariati pun menyebutkan, penting untuk mengetahui siapa yang bergerak di balik kerja-kerja akademik dan kebudayaan. Sebagai tenaga pendidik, ia pun selalu berupaya memerhatikan hal tersebut dengan berpegangan pada The Palestinian Campaign for the Academic and Cultural Boycott of Israel (PACBI). Itu merupakan bagian BDS Movement.
Baca juga: Setiap Hari adalah Perang Saya Melawan Trauma, Kisah Jurnalis yang Menulis Palestina
“Aku sendiri berpatokan pada PACBI itu ya. Jadi, untuk acara-acara kultural atau akademik, mereka menyediakan list apa aja lembaga yang terafiliasi dengan Israel dan. Aku rasa masyarakat Palestina justru mengharapkan ini. Ada satu solidaritas internasional gitu ya untuk memboikot,” pungkas Hariati.
Magdalene pun sebagai media perempuan yang punya agenda setting melawan genosida Israel di Palestina, meminta maaf atas kelalaian kami menjadi salah satu media partner. Komitmen kami tentang kemerdekaan Palestina adalah mutlak, dan tak ada niat untuk menjadi enabler kekerasan macam ini di masa depan.