Kontroversi Sam Levinson, dari ‘Euphoria’ Hingga ‘The Idol’
Setelah ‘Euphoria’, kini ‘The Idol’. Sam Levinson masih kontroversi. Pertanyaannya, kenapa ia masih berkarya di Hollywood?
Peringatan konten: Naskah ini mengandung eksplisit adegan intim di The Idol.
Sejak episode perdananya tayang di HBO Max 4 Juni kemarin, The Idol (2023) mendulang kontroversi. Serial teranyar garapan Sam Levinson ini dinilai sarat adegan eksplisit, serta melanggengkan misogini dan seksualisasi terhadap perempuan. Salah satunya di sebuah adegan, ketika Jocelyn (Lily-Rose Depp) menyatakan dirinya tertarik dengan Tedros (The Weeknd), karena punya aura pelaku pemerkosaan.
Kontroversi ini sebenarnya dimulai sejak Maret lalu, ketika Rolling Stones mengungkap situasi di balik layar The Idol, termasuk draf naskah yang digarap Levinson. Naskah tersebut berisikan adegan seksual dan kekerasan fisik, antara Tedros dan Jocelyn.
Misalnya Tedros yang ereksi, karena Jocelyn tersenyum saat ditampar dan minta diperlakukan demikian. Atau Tedros yang akan menolak “memperkosa” Jocelyn, apabila perempuan itu menjatuhkan telur yang dibawa dalam vaginanya. Sementara bagi Jocelyn, Tedros adalah kunci kesuksesan. Kepercayaan ini membuat Jocelyn menginginkan “pemerkosaan” dari Tedros.
Secara garis besar, The Idol bercerita tentang Jocelyn, pop idol yang sedang naik daun, menjalin hubungan kompleks dengan Tedros—pemimpin kultus sekaligus pemilik kelab malam. Awalnya, serial ini disutradarai oleh Amy Seimetz, dan ingin mengangkat soal perempuan yang mengeksplorasi diri secara seksual.
Begitu produksinya diambil alih Levinson, lantaran jadwal Seimetz yang bentrok dengan produksi proyek lain, makna yang ingin disampaikan The Idol berubah. Tim produksi The Idol menyebutnya “serial tentang laki-laki yang melecehkan perempuan dan perempuan itu menyukainya.”
Namun, tulisan ini enggak akan menguliti serial yang baru rilis dua episode itu, tetapi kritik terhadap Levinson. Sebab, The Idol bukan serial pertama garapannya yang kontroversial. Hal serupa terjadi selama Levinson memproduksi Euphoria (2019 – sekarang), ketika karakter perempuan muda dipotret secara eksploitatif.
Baca Juga: ‘Euphoria’: Adiksi, Seks, dan Romantisme ‘Coming of Age’
Sam Levinson dan Seksualisasi Berlebihan pada Karakter Perempuan Muda
Di kedua musim Euphoria, Levinson banyak mengeksploitasi perempuan lewat kekerasan seksual berbasis gambar, hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak, serta slut-shaming. Cassie (Sydney Sweeney), merupakan salah satu karakter yang mengalaminya.
Potret kehidupan Cassie kebanyakan menyangkut aktivitas seksual, dan menjadi objek slut-shaming di sekolah ataupun daring. Termasuk dalam perkenalan karakternya di episode pertama. Ceritanya, sekelompok remaja laki-laki tengah melihat foto dan video telanjang Cassie, sambil berkomentar merendahkan secara seksual.
Terkait perannya itu, Sweeney mengatakan, karakter Cassie seharusnya tampil tanpa busana. Namun, ia menyampaikan ketidaknyamanannya pada Levinson.
“Aku bilang pada Sam, ‘kayaknya enggak perlu (telanjang) di sini,’” ujarnya dalam wawancara bersama The Independent. “Sam enggak memaksa, kalau aku enggak mau melakukannya.”
Selain karakter Cassie yang diobjektifikasi, cara Levinson melakukan pendalaman karakter terhadap Kat (Barbie Ferreira) juga problematik.
Kat adalah satu-satunya karakter bertubuh gemuk di Euphoria. Di musim pertama, ia enggak percaya diri dan belum pernah berhubungan seksual. Sampai Kat melakukan hubungan seks dan videonya tersebar di situs porno.
Meskipun awalnya takut, usai membaca komentar, Kat justru sadar bisa menghasilkan uang dengan menjadi camgirl—perempuan yang berpose di depan webcam untuk hiburan orang dewasa.
Baca Juga: 8 Serial Netflix yang Kupas Tabu dalam Masyarakat
Dari karakter Kat, Levinson ingin membangun narasi body positivity, lewat citra perempuan bertubuh gemuk yang semakin kepercayaan diri. Sayangnya, fakta bahwa Kat adalah anak di bawah umur luput dari pandangan Levinson. Enggak seharusnya Kat belajar memberdayakan diri dengan bekerja sebagai pekerja seks.
Kemudian, perubahan karakter Kat semakin terlihat di musim kedua. Ia jadi sosok egois dan manipulatif, ketika enggan berpacaran lagi dengan Ethan (Austin Abrams). Bukannya mengakhiri hubungan secara baik-baik, Kat mengaku mengalami gangguan pada otak.
Nyatanya, di balik pengembangan karakter itu terdapat perselisihan antara Levinson dan Ferreira. Bahkan, beberapa kali Ferreira diduga meninggalkan lokasi syuting. Daily Beast melaporkan, situasi ini melatarbelakangi alasan Levinson mengurangi penampilan Ferreira di depan layar. Karena itu, Ferreira memutuskan meninggalkan Euphoria, dengan alasan tidak melihat karakternya perlu lanjut di musim ketiga.
Upaya Levinson menampilkan kehidupan remaja lewat Euphoria mungkin terkesan progresif, dan sesuai dengan realitas saat ini. Begitu juga dengan The Idol, yang tidak menabukan seksualitas perempuan. Sayangnya, kedua serial tersebut melanggengkan kekerasan. Bahkan The Idol seperti visualisasi dari fantasi seksual laki-laki untuk memerkosa perempuan.
Melihat situasi ini, netizen berulang kali menyatakan agar berhenti memberikan Levinson platform, dan mendorong untuk membatalkan Euphoria maupun The Idol. Kru produksi The Idol pun mengaku enggan bekerja untuk Levinson lagi, mengingat filmmaker tersebut menciptakan ruang kerja yang tidak nyaman—termasuk dalam memperlakukan kru.
Meskipun demikian, kini nama Levinson masih melambung. Hal ini kemudian meninggalkan pertanyaan, apa yang membuat Levinson masih berkarya di Hollywood?
Alasan Sam Levinson Masih Bertahan di Hollywood
Tak dimungkiri, kesuksesan Euphoria menjadi salah satu faktor Levinson memegang kendali di HBO. Sebab, serial yang dibintangi Zendaya tersebut mengantongi sejumlah prestasi: berbagai penghargaan—termasuk empat Emmy Awards, dan jumlah penonton di musim kedua yang rata-rata mencapai 16,3 juta berdasarkan catatan HBO. Angka ini menempatkan Euphoria sebagai serial televisi kedua yang paling banyak ditonton setelah Game of Thrones (2011-2019).
Dalam artikel Rolling Stones yang sama, kru produksi The Idol menyatakan Levinson menyadari hal itu. Sebab, ia pernah berhenti mengirimkan naskah The Idol pada HBO, karena menganggap permintaannya akan tetap dipenuhi.
Baca Juga: Hollywood Suka ‘Remake’ Film Asia, Apakah Ini Problematik?
Anggapannya, jika jajaran eksekutif HBO menginginkan musim ketiga Euphoria, mereka tidak akan membatalkan The Idol. Diikuti dengan memberikan Levinson kebebasan dalam produksi.
Dengan kata lain, selama Levinson menghasilkan pundi-pundi uang bagi HBO, jaringan televisi berbayar itu akan “melindungi” Levinson. Begitu pun dengan para kru, yang mengabaikan perilaku dan tetap bekerja untuk Levinson.
Hal itu menjelaskan, mengapa ia bisa mengambil alih posisi sutradara untuk The Idol. Termasuk kembali menulis kembali naskah dan mengulang syuting dari awal—meskipun artinya “membuang” 54-75 juta dolar AS, sekitar 800 miliar hingga satu triliun rupiah, dari biaya produksi yang dikeluarkan Seimetz.
Selain karena privilesenya sebagai laki-laki cis-heteroseksual berkulit putih, latar belakang Levinson yang merupakan anak dari filmmaker Barry Levinson turut berperan dalam “kekuasaannya” di Hollywood.
Sebagai nepo baby, atau anak yang sukses dan terkenal karena status orang tuanya, Levinson memiliki banyak keuntungan. Profesi sang ayah membukakan pintu untuknya berjejaring, dan berkarya di industri perfilman Hollywood—sekalipun seandainya Levinson punya kemampuan yang biasa saja.
Buktinya, ia debut akting di usia tujuh tahun dalam film Toys (1992). Disusul dengan Bandits (2001) dan What Just Happened? (2008). Ketiga film tersebut tentu disutradarai ayahnya.
Bahkan, setelah menjadi pencandu narkoba semasa remaja dan menjalani rehabilitasi, Levinson kembali meniti karier sebagai filmmaker yang semakin membesarkan namanya. Privilese itu juga yang membuat Levinson, dengan mulus mengadaptasi cerita adiksinya pada karakter Rue (Zendaya) di Euphoria.
Melihat latar belakang Levinson yang punya hak istimewa dan menghasilkan keuntungan bagi platform, kelihatannya ia akan terus “menguasai” Hollywood dengan karya-karyanya. Jadi, pilihan ada di kamu, mau enggak menyaksikannya?