Issues Opini

Bolehkah Perempuan Korban KDRT Bela Diri dengan Kekerasan juga?

Banyak perempuan korban KDRT berubah statusnya jadi pelaku kekerasan kepada suami. Umumnya ini dilakukan atas nama membela diri.

Avatar
  • August 16, 2024
  • 6 min read
  • 626 Views
Bolehkah Perempuan Korban KDRT Bela Diri dengan Kekerasan juga?

Awal Agustus 2024, kita digegerkan dengan pembunuhan Rinoyadi oleh istrinya di Belitung. Namun, di balik framing sejumlah media soal “betapa sadisnya istri yang menusuk suami”, ada hal yang jarang dibicarakan oleh kita. Salah satunya, perempuan ini melakukan kekerasan karena sebelumnya ia juga korban kekerasan. 

Dalam kasus tersebut, Rinoyadi yang dalam kondisi mabuk, memaksa istri untuk berhubungan seksual saat sedang menstruasi. Kejadian itu bukan hanya melanggar hak dan martabat istri sebagai individu, tetapi juga menunjukkan pola kekerasan yang sering kali mengancam keselamatan dan kesejahteraan perempuan dalam pernikahan. 

 

 

Sebagai korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sang istri terdorong membela diri dan membalas perlakuan tersebut. Setidaknya itulah niat batin atau mens rea yang kita tangkap dari pembunuhan ini. 

Di Indonesia, kasus serupa juga terjadi: Polwan membakar suami karena ia jadi korban kekerasan ekonomi dan emosional. Suami dikabarkan selingkuh dan menghamburkan uang untuk judi daring, alih-alih memenuhi kebutuhan finansial anak kembarnya yang belum lama lahir. Ada pula istri yang membunuh suami dengan kapak setelah ia jadi korban KDRT dan dianiaya sedemikian rupa. 

Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), setiap tahun ribuan kasus KDRT telah dilaporkan di Indonesia. Kasus Rinoyadi hanya salah satu dari banyak cerita tragis yang sering kali tidak terungkap. 

Baca juga: Jangan Takut Mencampuri, 4 Hal yang Bisa Kamu Lakukan untuk Bantu Korban KDRT 

Dari Sudut Pandang Psikologi 

Dalam kasus istri Rinoyadi, kita perlu melihat juga situasi psikologisnya. Sang istri mungkin mengalami berbagai bentuk kekerasan sebelumnya, baik fisik maupun emosional. Pemaksaan seksual yang terjadi saat ia sedang menstruasi adalah bentuk kekerasan yang tidak hanya melanggar hak-haknya tetapi juga menunjukkan ketidakpedulian ekstrem terhadap kesehatan perempuan. 

Menstruasi adalah masa ketika banyak perempuan merasa tidak nyaman dan rentan. Pemaksaan seksual atau pemerkosaan dalam pernikahan (marital rape) jelas merupakan kekerasan. Dalam konteks KDRT, hal ini sering kali merupakan puncak dari kekerasan lebih luas yang sudah terjadi sebelumnya, seperti pengabaian, penghinaan, atau pemaksaan dalam berbagai aspek kehidupan. 

Dari sudut pandang gender, istri Rinoyadi bisa jadi mengalami trauma mendalam selama bertahun-tahun. Pada malam kejadian, tindakan suami yang memaksa, mengancam dengan pisau, mungkin jadi pemicu terakhir dari ledakan emosi dan ketakutannya. 

Kekerasan seksual dalam pernikahan adalah masalah yang sering diabaikan. Banyak orang masih percaya, dalam pernikahan, hubungan seksual adalah hak mutlak suami, tanpa memerhatikan kondisi dan keinginan istri. Pandangan ini sangat keliru dan merugikan. Dalam pernikahan, hubungan seksual harus didasarkan pada rasa hormat dan persetujuan kedua belah pihak.  

Baca juga: ‘Safety Plan’ dari KDRT di Tengah Wabah Corona 

Dari Sudut Pandang Hukum 

Lepas dari itu, kita bisa sama-sama menebak, istri Rinoyadi bakal mengadapi konsekuensi hukum yang merugikannya. Sayangnya, aparat hukum kerap mengusut dan memutus kasus dengan tangan besi, tanpa memerhatikan ada lapis kekerasan psikologis si istri. Sebaliknya, mereka menangani kasus seolah-olah tak ada faktor pendorong yang membuat istri melakukan kekerasan. Aparat hukum sering kali gagal melihat kasus dari perspektif korban dan memberikan dukungan yang diperlukan. 

Ada pandangan menarik soal ini dari Heru Susetyo, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia di laman Fakultas Hukum dan Kompas. Menurutnya dari perspektif viktimologi, aspek victim precipitation (level kontribusi korban) sedikit banyak berperan dalam terjadinya viktimisasi. Maksudnya, perbuatan korban dapat menjadi keadaan yang menyebabkan pelaku melakukan perbuatan pidana. Tentu saja hal ini harus menjadi salah satu aspek pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan yang lebih memenuhi rasa keadilan. 

Heru mengutip pernyataan Vinita Susanti, Kriminologi FISIP UI (2018) yang menyebutkan, tidak tepat jika perempuan korban KDRT yang melakukan kekerasan kepada pasangan, dihukum dengan bobot serupa seperti hukuman untuk setiap kasus pembunuhan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Sebagai gantinya, perlu ada alternatif hukuman yang disesuaikan dengan konteksnya. 

Apalagi kita tahu, dalam kasus istri Rinoyadi atau polwan bakar suami, korban pembunuhan juga memiliki kontribusi, yang memprovokasi tindakan sang istri. Korban bisa disebut provocative victim dan participating victim (dalam klasifikasi Marvin Wolfgang). Terlepas bagaimana pun posisinya, ujar Heru, anak-anak dari mereka berdua juga korban nyata dari tragedi kekerasan ini. Mereka menjadi anak yatim dengan kondisi sang ibu terancam dipenjara karena (dugaan) membunuh ayah mereka. 

Baca juga: Aturan Perlindungan UU PKDRT Belum Beri Keamanan Bagi Korban 

Bagaimana Kita Harus Menyikapinya? 

KDRT adalah cerminan dari ketimpangan gender yang masih mengakar dalam masyarakat kita. Perempuan sering kali dianggap sebagai pihak yang harus tunduk dan patuh kepada suami, tanpa mempedulikan hak-hak mereka sebagai individu. Dalam kasus Rinoyadi, istri tidak hanya menjadi korban kekerasan fisik, tetapi juga KDRT dan kekerasan seksual yang sering kali dianggap tabu untuk dibicarakan. 

Menghadapi kasus seperti ini, kita harus lebih kritis dalam melihat realitas di baliknya. Pemaksaan seksual dalam pernikahan adalah bentuk kekerasan yang tidak bisa diabaikan. Banyak perempuan merasa terjebak dalam pernikahan yang penuh dengan ancaman dan kekerasan, tanpa memiliki tempat untuk melarikan diri atau meminta bantuan. Rasa takut dan ketidakberdayaan sering kali membuat mereka terjebak dalam lingkaran kekerasan yang berulang. 

Sistem hukum juga harus lebih sensitif terhadap kasus-kasus KDRT. Dalam situasi di mana korban merasa terancam dan tidak berdaya, tindakan yang diambil sering kali adalah hasil dari trauma dan tekanan yang mereka alami selama bertahun-tahun. Para penegak hukum harus mempertimbangkan konteks dan latar belakang kekerasan yang terjadi, bukan hanya melihat tindakan kriminal secara terpisah. 

Dari sisi organisasi non-pemerintah, pusat krisis, dan lembaga pemerintah harus bekerja sama untuk menyediakan dukungan yang lebih baik bagi korban, termasuk bantuan hukum, perlindungan fisik, dan konseling psikologis. 

Lebih lanjut, peran masyarakat juga sangat penting dalam menghadapi masalah ini. Kita harus lebih peka terhadap tanda-tanda kekerasan dalam rumah tangga di sekitar kita. Jangan ragu untuk memberikan dukungan dan bantuan kepada korban, baik secara fisik maupun emosional. Pendidikan mengenai kekerasan dalam rumah tangga dan hak-hak perempuan juga harus ditingkatkan, agar masyarakat lebih memahami dan menghargai hak-hak individu dalam pernikahan. 

Dalam kasus Rinoyadi, istri yang membunuh suaminya mungkin terlihat sebagai tindakan ekstrem. Namun, jika kita melihat dari perspektif korban yang telah mengalami kekerasan dan ancaman selama bertahun-tahun, tindakan tersebut mungkin adalah bentuk pembelaan diri yang mereka anggap sebagai jalan terakhir untuk melindungi diri sendiri dan anak. Sebagai masyarakat, kita harus mampu melihat dari sudut pandang korban dan memberikan dukungan yang diperlukan untuk mengatasi trauma dan kekerasan yang mereka alami. 

Widi Iskandar Rangkuti adalah mahasiswa Sosiologi semester 5 dengan minat khusus pada isu gender. 

Ilustrasi oleh: Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Widi Rangkuti

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *