Menelusuri Geliat Kritik Sastra Anak Indonesia: Minim dan Diabaikan?
Membicarakan geliat kritik sastra anak Indonesia, saya kira, sama sulitnya dengan membahas perkembangannya.
Geliat kritik sastra anak di Indonesia tak lebih seperti uang koin yang jatuh melenting lalu terabaikan. Ini seakan menampakkan sastra anak di Indonesia sekadar recehan belaka. Hal ini masih relevan dengan yang dikatakan oleh Sumardjo dalam Khasanah Sastra untuk Anak-Anak (Kompas, 1981) bahwa penulis sastra anaknya pun masih dianggap kurang berarti dalam percaturan sastra Indonesia. Sehingga, membicarakan geliat kritik sastra anak Indonesia, saya kira, sama sulitnya dengan membahas perkembangannya.
Situasi tersebut dapat diperhatikan melalui kondisi minor buku kritik sastra yang khusus membicarakan buku anak. Juga buku anak yang hanya menjadi objek penelitian untuk kepentingan jurnal akademik saja. Hanya berhenti di situ, tidak dinamis. Padahal sejak sejarah sastra Indonesia mulai dianggap ada, sebenarnya diisi pula oleh sub-genre anak yang diterbitkan Balai Pustaka, penerbit yang muncul sebagai akibat dari politik etis pemerintah kolonial Hindia Belanda.
Untuk menyebutkan contoh saja, sekitar tahun 1920-an Balai Pustaka telah menerbitkan buku sastra anak berjudul si Jamin dan si Johan (1921) karya Merari Siregar. Penulis sezamannya, Mohammad Kasim, juga menulis sastra anak. Bahkan, pada tahun 1924 Kasim memenangkan sayembara menulis buku anak-anak yang diadakan Balai Pustaka. Karyanya kemudian diterbitkan dengan judul Pemandangan dalam Doenia Kanak-Kanak (Si Samin). Namun, tulisan kritik sastra atas buku-buku tersebut di masa itu masih terbilang nihil.
Baca juga: Capeknya Jadi Anak Sastra, Kuliah Susah tapi Masih Distigma
Rintisan dan Kemunculan Lain: Kritik Sastra Anak Genre Prosa
Melihat situasi kajian sastra anak yang nihil, pada tahun 1976, baru terbit buku kritik sastra yang membicarakan sastra anak dengan judul Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke Dalam Hakekat, Sifat, dan Corak Bacaan Anak-Anak serta Minat Anak pada Bacaannya (Penerbit Pustaka Jaya) yang dirintis oleh Riris K. Sarumpaet. Dalam buku tersebut, Riris mengkaji permasalahan bacaan anak dan tanggapan anak-anak terhadap bacaannya sehingga mendapatkan konklusi kesesuaian bacaan untuk anak-anak.
Riris juga menulis buku lain berjudul Pedoman Penelitian Sastra Anak (penerbit Pustaka Obor Indonesia, 2010). Berbeda dengan buku sebelumnya, fokus buku ini, yaitu teori pendekatan dalam meneliti sastra anak. Namun, ternyata tidak hanya itu. Dalam buku ini ia juga melampirkan empat kritik sastra anak yang ditulis oleh dirinya. Ini menarik. Karena selain membaca strategi dalam berbagai teori pendekatan sastra anak, pembaca juga mendapati sedikit banyak kritik sastra anak dari buku itu.
Salah satu kritik sastra anak yang menarik berjudul Tokoh dalam Bacaan Anak Indonesia (2001). Tulisan ini meriset 40 judul bacaan anak realistik Indonesia terbitan 1991-1993 untuk menyinggung kecenderungan penokohan yang kerap dijubeli rentetan didaktis secara eksplisit: sebuah muatan yang konon menjemukan. Menurut Riris, ini dibuktikan melalui kemiskinan eksplorasi penokohan. Sebab tidak ada pengembangan di setiap tokohnya. Sehingga tokoh-tokoh hanya berperan sebagai hitam-putih antara yang baik dan buruk, atau penasihat dan pendengarnya. Maka, alih-alih membangun cerita yang manusiawi sebagai misi mendidik karakter anak, justru cerita macam ini membuatnya tidak realistis. Lebih dari itu, meski pada bagian lampiran bukunya terdapat puisi anak pilihan, namun sayang tidak ada lampiran kritik sastra terhadap puisi anak Indonesia.
Setelah rintisan Riris, pada tahun 2004 terbit kumpulan esai seputar masalah bacaan anak berjudul Buku, Mendongeng, dan Minat Membaca (Pustaka Tangga) karya Murti Bunanta. Buku ini menyoal dongeng, buku seks untuk anak, minat baca, hingga permasalahan sastra anak yang dianaktirikan. Meski buku ini sebenarnya bukan termasuk kritik sastra terhadap buku anak, tapi analisa Murti terhadap perkembangan bacaan anak penting untuk diteroka.
Selain itu, pada tahun 2020 sayembara kritik sastra yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, memilih naskah kritik sastra anak genre prosa berjudul Tarik Ulur Realisme-Imajinatif (Dongeng) Kokokan Mencari Arumbawangi karya Ahmad Muzaki sebagai nominasi dan masuk dalam buku Antologi Kritik Sastra: Teks, Pengarang, dan Masyarakat (2020). Naskah tersebut mengkaji buku dongeng kontemporer karya Cyntha Hariadi berjudul Kokokan Mencari Arumbawangi (Gramedia, 2020) mengenai penawaran konsep realisme imajinatif melalui persinggungan lokalitas masyarakat Bali sehingga layak dijadikan buku dongeng anak terbaik.
Namun, di media lain muncul kritik atas buku tersebut dengan tendensi berbeda yang ditulis Dewi Anggraeni. Dewi menulis kritik dalam Tentang Anak Titipan dan Sebuah Peringatan (Tengara.id, 2021) dengan tajam berpendapat bahwa buku dongeng ini justru bukan termasuk sastra anak. Bagi Dewi, penokohan anak-anak dan gaya penyampaian narator mahatahu dalam buku tersebut tidak mencerminkan perspektif dan kemampuan berpikir anak itu sendiri.
Sehingga katanya: cukuplah dikatakan bahwa novel ini adalah novel yang menjadikan anak-anak sebagai tokoh protagonis. Tapi meskipun kritik Muzaki dan Dewi berbeda, inilah bentuk perbincangan kritik sastra anak yang diperlukan untuk menelisiki buku anak, juga imajinasi anak, yang kian hari semakin dinamis.
Lanjut pada tahun 2022 terbit tulisan berjudul R.A. Kartini: Penulis Sastra Anak (Lensasastra.id, 2022) yang ditulis M. Fauzi Sukri. Ia membincang prosa buah karya R.A. Kartini berjudul Kongso Tjerita Wajang Purwo (1902). Dalam tulisannya, ia membicarakan potensi obrolan sastra anak dalam cerita karya Kartini yang secara muatan mengarah pada proto-nasionalistik. Hasil dari pembacaan tersebut lantas telah membuka tirai lain pengkaryaan Kartini yang hanya dikenal melalui surat-suratnya. Pun, juga memberikan alternatif apresiasi lain dalam dunia imajinasi anak-anak tepatnya di hari Kartini.
Baca juga: Sastrawan Perempuan Korea Beri Suara untuk Mereka yang Dibungkam
Bagaimana dengan Kritik Puisi Anak Indonesia?
Yenny Hayati dalam Menuliskan (Kembali) Sastra Anak dalam Sejarah Sastra Indonesia (Unpad Press, 2015) mengatakan bahwa puisi anak di Indonesia diperkirakan diawali oleh adanya nursery rhymes (puisi anak-anak atau puisi lagu). Sementara buku yang berisi kumpulan puisi anak masih jarang ditemukan. Puisi-puisi anak banyak tersebar pada surat kabar dan majalah di antaranya Kompas, Pikiran Rakyat, Majalah Si Kuncung, dan Majalah Bobo.
Namun tercatat pada tahun 1981, Balai Pustaka menerbitkan kumpulan puisi anak berjudul Bunga Anggrek untuk Mama karya Sherly Malinton dan Berkemah dengan Puteri Bangau karya Leon Agusta. Kemudian, tahun 1982 disusul oleh L.K. Ara dalam bukunya Anggrek Berbunga: Sajak anak-anak (Pustaka Dian). Selain itu, beberapa kumpulan puisi anak kontemporer juga telah terbit seperti kumpulan puisi Untuk Bunda dan Dunia (DAR! Mizan, 2004) karya penulis cilik, Abdurahman Faiz. Buku ini mendapatkan prestasi Buku Terpuji Adikarya IKAPI 2005. Ada juga penulis cilik lainnya seperti Abinaya Ghina Jamela yang menulis buku puisi Resep Membuat Jagat Raya (Kabarita, 2017). Dan terbaru, bukunya Noor H. Dee berjudul Jus Puisi (Penerbit Noura Kids, 2023).
Melihat puisi-puisi anak yang tersebar di media dan yang terbit sebagai buku kumpulan puisi anak, apakah ada kritikus yang membincang puisi-puisi mereka?
Dibandingkan dengan genre prosa, perbincangan puisi anak justru lebih minor. Bahkan upaya menghimpun puisi-puisi Indonesia yang pernah dilakukan oleh Sutan Takdir Alisyahbana, Oyon Sufyan, dan H.B. Jassin, sama sekali tidak ditemukan posisi puisi anak baik yang ditulis oleh pengarang dewasa maupun pengarang anak. Ini membuktikan bahwa sastra anak (khususnya puisi) dalam sejarah perkembangan awal sastra Indonesia jelas tidak dianggap ada.
Rintisan kajian puisi anak baru dilakukan secara serius oleh Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak (Gadjah Mada University Press, 2005). Dalam buku tersebut terdapat pembahasan jenis-jenis puisi anak, seperti puisi anak nursery rhymes, balladas, narative poems, free verse, dan concrete poetry. Burhan juga menelaah berbagai jenis puisi anak melalui pendekatan struktural, baik itu bunyi (rima), irama, maupun maknanya. Ini menjadi rintisan yang bagus sebagai acuan kritik terhadap puisi anak.
Dilanjut pada tahun 2020, sayembara kritik sastra yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, juga memilih satu naskah kritik puisi anak yang ditulis oleh Saeful Anwar berjudul Mengurai dan Menimbang Kebaruan Puisi Anak Dalam Resep Membuat Jagat Raya sebagai satu-satunya kritik sastra anak genre puisi yang masuk nominasi. Dalam naskah tersebut, Anwar membicarakan bangunan metafor-metafor melalui persinggungan empiristik seorang anak dalam buku puisi Resep Membuat Jagat Raya (Karabita, 2017) karya Abinaya Ghina Jamela.
Ia mengkaji puisi-puisi Naya yang lebih fokus pada efektivitas makna dengan menciptakan sejumlah metafora yang dibangun dengan pola asosiasi. Menurutnya, pola tersebut tidak didapatkan pada puisi anak pada umumnya dengan tidak mengutamakan tradisi keindahan bunyi (rima). Tulisan kritik sastra anak terhadap genre puisi anak ini, bagi saya, menjadi angin segar dalam perbincangan puisi anak di Indonesia. Akan tetapi, sayangnya setelah kemunculan kritik sastra anak genre puisi karya Saeful Anwar, sampai saat ini belum ditemukan lagi tulisan yang intens membicarakan genre tersebut.
Baca juga: Epistemisida: Saat Israel Bakar Buku, Bom Sekolah, dan Hapus Sejarah Palestina
Kegalauan Kritik Sastra Anak Indonesia
Sampai di titik ini, berbagai kritik sastra anak yang telah disinggung di atas, cenderung lebih fokus pada genre prosa meski rentang waktu terbitnya masih bisa dihitung satuan. Sementara pada genre puisi masih sangat minor. Apalagi pada genre drama, belum ditemukan satu pun. Fakta ini menunjukkan bahwa “kritik sastra hadir bersamaan dengan hadirnya karya sastra” yang dikatakan dalam pengantar Antologi Kritik Sastra: Teks, Pengarang, dan Masyarakat, sepertinya tidak berlaku untuk sastra anak Indonesia.
Ini masalah besar yang menjadikan sastra anak terpinggirkan. Meminjam ungkapan Wicaksono dalam Memaknai Sastra Anak (2010): jangan sampai kita mengalami kegalauan dan kerancuan terhadap diri kita sendiri hanya karena kita telah ”membunuh” sastra anak sebagai masa lalu kita. Imajinasi anak-anak yang terpasung atau terbunuh adalah sebuah kematian prematur dari kemampuan fantasional, ide-ide, dan visi kita pada masa berikutnya; kematian inti dari sebuah kebudayaan.
Para pengarang dewasa saat ini telah menulis sastra anak yang lebih progresif, di antaranya Okky Madasari, Cyntha Hariadi, Reda Gaudiamo, Setyaningsih, dan Noor H. Dee. Juga pengarang anak seperti Faiz dan Naya. Selain itu ada pula Rembuku (Rembug Buku) yang aktif menjadi ruang perbincangan bacaan anak Indonesia. Demikian, eksistensi para kritikus juga sudah semestinya menelisik dinamika sastra anak lebih intens lagi sebagai upaya penting membaca geliat sastra anak Indonesia untuk tumbuh-kembang imajinasi anak-anak.