December 6, 2025
Gender & Sexuality Issues Lifestyle

‘Performative Male’ dan Keinginan Tersembunyi di Baliknya: Kontrol, Status, dan Pengakuan

Performative male adalah satire untuk laki-laki yang pura-pura woke demi menarik perempuan. Sayangnya tren di internet ini, kini kehilangan esensinya.

  • August 15, 2025
  • 6 min read
  • 2365 Views
‘Performative Male’ dan Keinginan Tersembunyi di Baliknya: Kontrol, Status, dan Pengakuan

Akhir pekan yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Siang itu, langit Jakarta sedang cerah dan Lala, 30, warga Tebet, sudah bersiap dengan tas selempangnya. Ia bersama dua teman satu kosannya hendak pergi Taman Langsat di Jakarta Selatan. Bukan untuk sekadar menikmati rindangnya pepohonan, tujuan Lala ke sana adalah untuk menyaksikan kontes Performative Male. Ia dibuat penasaran sama tren yang belakangan memenuhi linimasa TikToknya itu.

“Setiap kali buka (TikTiok), pasti nemu konten performative male ini. Jadi pas diadain kontesnya di Jakarta, ikut aja. Lagian kapan lagi ada acara kaya gini gratis,” ucapnya sambil tertawa. 

Teriknya matahari bukan alasan Lala ikut bersama muda-mudi lain memadati area “panggung” dadakan itu. Di sana Lala melihat beberapa kontestan yang mayoritas adalah laki-laki berdandan kurang lebih sama. Dalam penuturan Lala, mereka umumnya pakai kacamata bundar minimalis, kaos oversized atau kemeja kotak-kotak vintage, celana chino atau baggy jeans, dan sepatu kanvas atau Derby boots. Di pundak tote bag kanvas tersampir rapih. Di tangan-tangan mereka, buku feminis atau dari perempuan penulis dipamerkan ke publik. 

Satu per satu kontestan maju unjuk kebolehan. Ada yang bermonolog pendek dengan kata-kata puitis tentang kesetaraan gender dan pentingnya mental health. Ada pula yang berteriak-teriak soal kecintaannya pada feminis sampai rela bagi-bagi pembalut gratis. Gelagat para kontestan ini sukses buat para penonton tertawa, tidak terkecuali Lala.

“Lucu sih. Soalnya kan selama ini cuma liat di TikTok dan (kontes) itu semua di luar (negeri), pas nonton langsung lebih lucu,” ceritanya.

Baca juga: Kenapa ‘Performative Male’ yang ‘Red Flag’ Bisa Viral?

Satire yang Lahir karena Perempuan Jengah dengan Alpha Male

Kontes performative male di Taman Langsat, Sabtu (2/8) lalu adalah bagian kecil dari fenomena lagi viral di kalangan pada Gen Z. Menurut majalah Esquire, performative male pertama kali muncul di TikTok dan Instagram dan mulai terkenal di seluruh dunia berkat kontes viralnya di Seattle, Amerika Serikat awal Agustus lalu. 

Sama seperti di Taman Langsat, laki-laki yang unjuk kebolehan di kontes performative male di Seattle memiliki gaya berpakaian, cara berbicara, dan kesukaan yang serupa. Ini karena performative male tak lain adalah sebuah citra laki-laki baru. Berbeda dari alpha male yang lekat dengan dominasi dan superioritas yang cenderung seksis serta misoginis, performative male membangun citra sebagai soft boy progresif alias woke

Mereka digambarkan sebagai laki-laki muda yang matang secara emosional dan intelektual. Mereka juga “menghormati” perempuan dengan menyukai hal-hal yang identik dengan kesukaan perempuan. Gambaran ini kemudian mewujud dalam bentuk estetika dan performa gender lewat gaya berpakaian boyish atau netral gender dengan tote bag, buku-buku para feminis atau perempuan penulis, hingga “hobi” mendengarkan penyanyi queer dan perempuan seperti Clairo dan Laufey.

Walau terkesan tidak berbahaya, performative male tak ubahnya adalah sebuah versi rebranding alpha male yang lahir lewat fenomena redpill. Ekta Sinha, jurnalis fesyen dan budaya pop Elle India bilang keduanya sama-sama menunjukkan kepada para laki-laki cara jitu untuk bisa menaklukan perempuan.

“Tersembunyi keinginan yang sama seperti kontrol, pengakuan, dan status. Hanya saja, kini dibungkus dengan gantungan kunci yang lebih lucu. Performative male tidak hadir untuk menjadi lebih baik, tapi untuk dianggap lebih baik,” tulis Sinha. 

Munculnya performative male ini tentu tidak terjadi dalam vakum, ia dalam artikel The Washington Post dijelaskan lahir sebagai respons langsung dari fenomena red pill yang agresif. Banyak perempuan dalam relasi romantis dan intim terjebak dalam hubungan penuh gejolak dan kekerasan bersama dengan alpha male yang menyebut diri mereka laki-laki sejati.

Pengalaman kolektif mereka dengan laki-laki yang dipengaruhi oleh sosok seperti Andrew Tate dan Jordan Peterson ini membuat mereka lebih kritis terhadap dinamika gender dan relasi kuasa. Perlahan perempuan mulai memutus hubungan dengan laki-laki. Melihat hal ini, laki-laki memutar otak untuk bisa kembali menaklukan perempuan. Caranya tak lain adalah berpura-pura menjadi tipe laki-laki yang disukai perempuan.

Dalam wawancara bersama Fox, Lanna Rain, penyelenggara kontes Performative Male yang viral di Seattle menjelaskan mereka menjadikan kesetaraan gender jadi sekadar seperangkat simbol dan estetika belaka untuk meningkatkan daya tarik seksual. Ketika sudah mendapatkan apa yang diinginkan seperti perhatian, hubungan, atau seks, topeng pun mereka lepas. Dari cara mereka berpura-pura inilah, istilah performative male kemudian lahir sebagai sindiran sekaligus kritik terhadap laki-laki red-flag terselubung ini. 

Baca juga: Redyadivka Ariarafa: Bicara Soal Perempuan Tanpa Jadi “Ngab-ngab Paling Woke”

Ketika Satire Jadi Tren Kosong Belaka

Di era tren silih berganti dengan cepat, performative male yang awalnya jadi bentuk sindiran dan kritik perlahan kehilangan makna. Satire yang awalnya dimaksudkan untuk melucuti topeng, justru menjadi topeng baru yang diinginkan. Mekanisme platform media sosial yang haus akan konten ringan dan mudah dikonsumsi, serta kecenderungan untuk mengadopsi estetika tanpa konteks, dengan cepat menggerus kedalamannya. Yang tersisa kini hanya kulit luarnya.

Diamplifikasi melalui TikTok, internet mengubah pemaknaan mendalam soal performative male. Ia mengubahnya jadi semacam tren seperti acara “Look-alike Contest” yang sempat viral akhir 2024 lalu. Estetika visual performative male kini malah digandrungi. Banyak influencer laki-laki berusaha memberikan tips cara berpakaian dan bersikap. Pengguna media sosial bisa mudah mencarinya lewat berbagai challenge TikTok dan video YouTube, ketik saja kata kunci “How to Dress Like Performative Male”, dan kamu bakal menemukan ratusan video serupa. 

Pergeseran esensi ini disadari oleh Randy, 25, yang pernah diajak temannya untuk ikut kontes performative male. Sebagai nonbiner, temannya beranggapan Randy adalah sosok yang cocok memparodikan laki-laki cis heteroseksual red-flag ini. Namun, ajakan temannya itu ia tolak mentah-mentah. Bagi Randy, adopsi massal estetika tersebut telah mengosongkan esensi aslinya.

“Dulu kan jelas satirnya, bukan kedok doang. Sekarang? Kayak jadi kontes cosplay atau lomba gaya doang. Buat apa aku ikutan?” ucapnya dengan nada kesal yang cukup ketara.

Hilangnya esensi dari performative male lebih jauh juga berpotensi pada stigmatisasi pada laki-laki yang berpenampilan serupa, tetapi benar-benar peduli soal isu kesetaraan. Hal ini setidaknya yang diungkapkan Allaam, 25.

Sebagai seseorang yang memiliki penampilan sesuai dengan estetika visual performative male dan memang peduli dengan isu gender dan feminisme, ia mendapat setidaknya delapan pesan dari teman-teman yang menyuruhnya ikut kontes. Mereka bahkan meledeknya. Jika Allaam ikut kontes, ia dipastikan bakal menang. Membaca pesan-pesan itu, Allaam jadi berefleksi. Ada rasa khawatir dan juga takut bahwa kepeduliannya selama ini hanya dilihat sebagai topeng belaka.

“Aku lebih ke mikir sebenernya mereka nganggep aku ngelakuin apa selama ini? Are they aware dengan keaktifanku atau karena tiba-tiba ada tren ini dan mereka pikir aku fit all the categories jadi mereka punya term baru aja buat menyebutnya?” jelasnya.

Kekhawatiran Allam tentunya valid. Ketika diskursus yang melatarbelakangi hadirnya performative male telah berubah menjadi hitam-putih, maka label “performative” berisiko jadi alat untuk meragukan ketulusan siapa pun yang terlihat sesuai stereotip. Laki-laki yang terlihat “progresif” secara estetika langsung dicurigai palsu dan hal ini bakal menutup menghilangkan ruang untuk nuansa dan dialog yang lebih dalam soal kesetaraan itu sendiri.

Baca juga: Ketika Cinta Mencintai Rangga Secara Feminis

Penolakan Randy untuk ikut kontes dan pengalaman Allaam adalah alarm penting. Ketika istilah “performative” berada di atas benak banyak orang melebihi substansi isu gender yang diperjuangkan, maka kita telah sepenuhnya terjebak dalam tren kosong.

Tren ini berisiko menciptakan performativitas baru yang lebih luas dan menciptakan stigma balik yang kontra-produktif. Maka untuk mengembalikan lagi esensinya, kritik balik dibutuhkan. Ini dilakukan agar isu kesetaraan gender tidak benar-benar tereduksi menjadi sekadar gambar pada sebuah tote bag.

Ilustrasi oleh Karina Tungari

About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.