December 5, 2025
Issues Opini Politics & Society

Bendera One Piece di Banten: Ditakuti Polisi, Didukung Supir Truk hingga Anak Muda

Komentar intimidatif Kapolda Banten bukan hanya soal bendera, tapi sinyal ancaman terhadap kebebasan berekspresi warga.

  • August 14, 2025
  • 5 min read
  • 706 Views
Bendera One Piece di Banten: Ditakuti Polisi, Didukung Supir Truk hingga Anak Muda

Pagi itu, di jalan tol arah Merak, Banten, truk-truk melaju dengan bendera One Piece berkibar di bagian belakang. Sopirnya tersenyum ke arah kamera, klakson dibunyikan panjang, dan di kolom komentar, warganet saling mengirim emoji tengkorak dan topi jerami. Di saat bersamaan, anak-anak muda rombongan demonstran di Pandeglang, juga menggunakan kaos hitam One Piece. Bagi mereka, ini bukan sekadar ikut-ikutan tren anime, melainkan cara sederhana untuk bilang, “Kami muak.” 

Saya tahu rasanya. Melihat bendera itu berkibar membuat dada sedikit lega, seperti ada yang berani mewakili rasa frustrasi yang selama ini terpendam. Soal pengangguran yang enggak turun-turun, harga yang makin mencekik, sampai pejabat yang sibuk pencitraan tapi abai sama rakyat. Masalahnya, alih-alih bertanya kenapa bendera itu dikibarkan, aparat justru memilih mengejarnya, menuduhnya sebagai ancaman, bahkan mengancam memidanakan pengibarnya. 

Di Banten—dan beberapa daerah lain di Indonesia—jelang peringatan kemerdekaan ke-80, kibaran bendera bajak laut ala anime One Piece memang sedang ramai. Bagi penggemar, bendera ini adalah simbol petualangan dan perlawanan terhadap ketidakadilan, persis seperti kisah Luffy dan kru Topi Jerami. Namun, di mata sebagian warga yang frustrasi dengan kondisi politik, ekonomi, dan sosial, bendera ini punya makna yang lebih politis: Sebuah ekspresi muak terhadap pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming. 

Baca Juga: Bendera ‘One Piece’ Berkibar: Simbol Protes Anak Muda di Era Pop Culture 

Sayangnya, pemerintah dan aparat memilih membaca tanda ini dengan mode suuzon. Kepolisian, TNI, bahkan Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Budi Gunawan terang-terangan mengancam akan mempidanakan siapa pun yang mengibarkan bendera One Piece. Ketua DPR Sufmi Dasco memang bilang tidak mempermasalahkan benderanya, tetapi tetap menuding sebagian pengibar sebagai pihak yang berpotensi memecah belah bangsa. 

“Kalau kami menyampaikan bahwa benderanya itu enggak ada yang masalah, benderanya kan banyak yang menyenangi, tetapi yang kami sampaikan kemarin adalah bendera itu digunakan oleh sebagian pihak untuk melakukan hal-hal yang menurut kita itu bisa memecah belah bangsa kita,” ujarnya dikutip dari Detik

Di saat bersamaan, realitas di lapangan bicara sebaliknya. Respons aparat, TNI, pemerintah, dan DPR yang begitu defensif menunjukkan betapa kuat ketakutan mereka terhadap simbol ini. 

bendera one piece di banten
Foto: Magdalene

Baca Juga: Pelarangan Bendera One Piece: Negara Paranoid, Demokrasi Sempit 

Dari Simbol Pop Culture ke “Ancaman” Politik 

Pada (2/8) lalu, Brigjen Hengki—saat itu Wakapolda Banten—mengeluarkan ancaman akan menindak pengibar bendera tersebut. Hanya tiga hari berselang, ia dilantik menjadi Kapolda Banten dengan pangkat Inspektur Jenderal. 

“Kalau ada terbukti melakukan pelanggaran dan dia tidak merah putih tentu kita akan tindak tegas, jadi harapannya semua bendera merah putih dikibarkan,” ujarnya dikutip dari IDN Times

Bagi saya, sikap berlebihan seperti ini adalah pola lama: Pejabat Indonesia cenderung meredam suara publik dengan pendekatan represif, bukan dialog. Apalagi di Banten, benturan antara masyarakat sipil dan aparat bukan hal baru. Hengki sendiri punya rekam jejak panjang di bidang reserse dan jabatan strategis di kepolisian—mulai dari Kapolres Bekasi Kota, Dirresnarkoba Polda Metro Jaya, hingga Kabidkum Polda Metro Jaya. Jejak ini mungkin menjelaskan mengapa ia memandang simbol One Piece sebagai ancaman ketertiban, bukan ekspresi kekecewaan warga. 

Menariknya, larangan ini mendapat dukungan dari Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (API). Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (API) Suroso, bahkan mempersilakan pemerintah dan aparat untuk menindak tegas pengemudi truk yang mengibarkan bendera ini. Sebuah kontras mengingat hari ini justru semakin banyak sopir truk yang bangga mengibarkan bendera One Piece di jalan tol, dan mendapat dukungan publik di media sosial. 

Fenomena ini jelas lebih dari sekadar tren pop culture. Penelitian Anis Kurlilah dkk. (2025) tentang Persepsi dan Dampak Generasi Muda Terhadap Cinta Tanah Air di Era Tren #Kaburajadulu menemukan, generasi muda tak lagi memandang nasionalisme sebagai sekadar simbol atau luapan emosi. Mereka memaknainya sebagai komitmen untuk memperjuangkan perubahan. 

Menurut riset tersebut, bentuk ekspresi seperti bendera One Piece adalah kritik terhadap buruknya tata kelola negara, mulai dari kegagalan ekonomi, kemunduran demokrasi, hingga kesenjangan sosial. Data Badan Pusat Statistik pun memperkuat gambaran ini: Tingkat pengangguran terbuka di Banten mencapai 7,97 persen—tertinggi secara nasional, jauh di atas rata-rata 4,91 persen. 

Dengan kondisi ini, wajar jika bendera One Piece berkibar di hampir semua kabupaten dan kota di Banten. Apalagi klaim pemerintah bahwa ekonomi Indonesia tumbuh 5,12 persen terdengar janggal ketika di lapangan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) massal, satu juta sarjana menganggur, dan perusahaan gulung tikar. Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya menambah frustrasi warga. 

Baca Juga: Suka One Piece? Coba Tonton 5 Anime yang Kritik Sosialnya Enggak Kalah Pedas

Tradisi Membungkam yang Terus Berulang 

Sayangnya, Polda Banten tampaknya enggan melihat bendera ini sebagai cermin keresahan sosial. Ini bukan pertama kalinya mereka mengabaikan akar masalah. Beberapa tahun lalu, enam warga Cibetus, Padarincang, dipenjara karena memprotes dampak lingkungan peternakan ayam PT Sinar Ternak Sejahtera. Pada 2020, aparat juga menangkap 14 mahasiswa dan pedagang dalam aksi menolak UU Cipta Kerja, hanya karena mereka memiliki buku Menuju Merdeka 100 Persen karya Tan Malaka

Di kampus UIN Banten, polisi pernah mendatangi mahasiswa yang sedang memutar lagu Bayar, Bayar, Bayar karya Sukatani Band di kantin. Tindakan-tindakan ini memberi kesan Polda Banten alergi terhadap suara kritis, sekecil apa pun bentuknya. 

Itulah yang membuat saya khawatir: Di bawah Irjen Hengki, pola ini bisa berlanjut, bahkan meluas. Jika bendera One Piece saja dianggap ancaman, maka bentuk ekspresi publik lain—dari poster, mural, hingga lagu—mungkin akan ikut menjadi sasaran. 

Padahal, ada banyak isu substansial yang lebih layak menjadi fokus. Kasus korupsi Situ Ranca Gede misalnya, hingga kini belum menyentuh aktor intelektualnya. Atau banjir tahunan di Lebak yang dipicu aktivitas tambang di Gunung Salak. Masalah-masalah ini jelas berdampak langsung pada warga, namun sering kali tak mendapat perhatian sebesar “ancaman” kain bergambar tengkorak itu. 

Bukan berarti rakyat tak cinta merah-putih. Justru karena cinta itulah mereka marah ketika simbol itu dikhianati oleh pejabat yang korup atau abai. One Piece bercerita tentang perlawanan terhadap pemerintahan yang lalim—dan dalam banyak hal, kisah itu terasa terlalu akrab bagi warga Indonesia. 

Jika aparat dan pejabat merasa terancam oleh bendera ini, mungkin masalahnya bukan pada benderanya, melainkan pada kenyataan pahit yang diwakilinya. 

About Author

Ahmad Khudori

Ahmad Khudori adalah seorang anak muda penyuka kelucuan orang lain, biar terpapar lucu.