Melek Isu Iklim, Buibu Baca Buku Book Club Luncurkan Climate Literacy for Mothers
Literasi krisis iklim adalah ikhtiar untuk mengubah kerentanan menjadi keberdayaan di kalangan ibu-ibu.
Krisis iklim sudah di depan mata, bahkan rentetan dampaknya sudah mulai terasa hari ini. Mulai dari cuaca ekstrem, suhu Bumi yang kian panas, dan bencana alam seperti banjir, tanah longsor, dan lainnya.
Masalahnya, masih banyak orang Indonesia yang masih tak percaya krisis iklim nyata. Survei di 25 negara dengan 26 ribu responden menempatkan Indonesia di urutan tertinggi negara yang tidak percaya ada krisis iklim. YouGov, perusahaan analitik data di Inggris, menemukan sebanyak 21 persen responden Indonesia mengaku ‘perubahan iklim tidak terjadi’ atau ‘perubahan iklim memang terjadi tetapi bukan manusia yang bertanggung jawab’.
Padahal dalam setiap krisis iklim yang terjadi, ada isu kerentanan perempuan yang menjadi korban. Berangkat dari sinilah, perkumpulan Ibu Cerdas Berdaya atau yang lebih dikenal sebagai Buibu Baca Buku Book Club (BBB Book Club) bekerja sama dengan Climate Works Foundation meluncurkan Program Literasi Iklim untuk Ibu atau Climate Literacy for Women. Peluncurannya digelar pada (13/1) di Twin House Blok M, Jakarta.
Putri Karina Puar, Executive Director dari BBB Book Club menyatakan, program dibuat dengan menghubungkan isu iklim, literasi, dan keterlibatan perempuan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan perasaan berdaya dari para ibu. Hal ini diperlukan untuk mengkomunikasikan dan berpartisipasi aktif dalam aksi iklim, baik dalam tingkat pribadi maupun kolektif.
“Dalam Global Risks Report 2023 yang disusun World Economic Forum, risiko teratas yang diidentifikasi adalah terkait krisis iklim. Maka dari itu kami ingin lebih banyak ibu-ibu engage dengan percakapan ini tidak hanya mengaitkannya dalam level individu seperti menyadari harga cabai naik terus, tapi tidak menyadari bahwa ini ada hubungannya dengan krisis iklim,” kata Putri.
Acara peluncuran ini akan dilanjutkan dengan serangkaian program literasi iklim seperti pengembangan modul literasi iklim untuk ibu, pengembangan buku anak bertema krisis iklim, diskusi buku, kompetisi ulasan buku, seminar, lokakarya, pelatihan, hingga edukasi-edukasi iklim melalui konten media sosial. BBB Book Club juga terus mempromosikan program ini kepada para kolaborator dan calon kolaborator untuk dapat membuka ruang-ruang kolaborasi yang lebih luas lagi untuk dampak yang lebih besar.
Baca Juga: Pilpres 2024: Siapa Calon Paling Komit pada Energi Bersih?
Pentingnya Peran Ibu dalam Isu Krisis Iklim
Sebagai bagian dari rangkaian acara, BBB Book Club tak lupa menghadirkan talkshow terkait ibu dan krisis iklim yang bertajuk “Ibu-Ibu Bicara Iklim: Merepotkan atau Memberdayakan?”. Dibuka dengan Fadilla Dwianti, Gender Equality & Social Inclusion Specialist, ia menyampaikan, kita harus menyadari perempuan adalah kelompok yang paling rentan terdampak. Berbagai jenis kekerasan berbasis gender bisa menimpa perempuan, mulai dari pernikahan anak, perdagangan manusia, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), kekerasan seksual hingga marginalisasi ekonomi.
Kerentanan ini hadir kata Dilla tak ayal karena peran gender tradisional yang lekat dengan kerja domestik dan perawatan. Di banyak bagian dunia, perempuan bertanggung jawab untuk mengumpulkan air, makanan, dan bahan bakar, serta terlibat dalam pertanian subsisten, pengasuhan anak, dan pembersihan.
Kegiatan-kegiatan ini sangat bergantung pada sumber daya alam. Khususnya di negara-negara berkembang, konsekuensi dari perubahan iklim pada akhirnya dapat meningkatkan beban perempuan dan anak perempuan. Ini menyebabkan mereka melakukan perjalanan lebih jauh untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari, menyisakan lebih sedikit waktu untuk pekerjaan berbayar dan berpotensi menimbulkan risiko yang lebih besar bagi keselamatan pribadi mereka.
“Sebenarnya itu perempuan berkepentingan terhadap alam dan juga punya kerentanan sendiri karena perempuan itu lekat dengan kerja-kerja domestik, dengan kerja-kerja perawatan gitu. Di Afrika misalnya jarak mereka mengambil air bersih jadi semakin jauh. Mereka harus berjalan kaki selama 60 menit dari 20 menit, yang dalam perjalanannya mereka rentan mengalami kekerasan seksual,” ujar Dilla.
Dilla menambahkan, krisis iklim yang mengakibatkan frekuensi bencana alam semakin sering juga berdampak pada keselamatan nyawa para ibu sendiri. Dalam kasus banjir, perempuan yang merawat anak atau lansia lebih cenderung telat mengevakuasi diri. Mereka bertahan di rumah mereka, menyelamatkan barang-barang berharga serta anggota keluarga terlebih dahulu.
Pernyataan Dilla didukung oleh studi ASEAN yang berjudul Women in Natural Disasters: Indicative Findings in Unraveling Gender in Institutional Responses. Dalam studi yang diterbitkan pada 2019 dijelaskan, perempuan punya pengalaman berbeda dalam kasus bencana alam di Provinsi Trang, Thailand. Dibandingkan laki-laki yang lebih memikirkan diri sendiri, perempuan cenderung mempertaruhkan nyawa mereka untuk menyelamatkan orang lain saat terjadi bencana.
Kalimat ini berulang kali diklaim selama wawancara dengan berbagai informan baik laki-laki maupun perempuan dari komunitas dan kelompok masyarakat masyarakat sipil di provinsi Trang. Klaim ini kemudian membuktikan tiga hal penting, salah satunya adalah bagaimana selama bencana, perempuan mengalami beban tambahan atas peran gender tradisionalnya yaitu sebagai ibu, anak perempuan, dan istri.
Dengan kerentanan ini, perempuan terutama para ibu, kata Dilla, sebenarnya punya kepentingan dan karenanya literasi terhadap isu ini pun jadi semakin mendesak. Najeela Shihab, pendidik dan pendiri Keluarga Kita dan Semua Murid Semua Guru perlu dipahami bahwa literasi yang dimaksud harusnya dipandang bukan sebagai tujuan melainkan alat.
Kemampuan literasi penting untuk menyelesaikan masalah yang tidak hanya melibatkan kemampuan berpikir kritis tetapi juga kemampuan sosial. Itu melibatkan relasi kita dengan orang lain, juga dengan entitas non-manusia, yaitu alam dan seisinya.
“Dengan kemampuan ini, kita tuh punya pemahaman bahwa isu krisis iklim bermain dalam sistem yang saling terkait. Kita selama ini melihatnya dalam sisi paling mikro, bahkan ada pemikiran ini sudah wajar. The fact it is us yang menyebabkan krisis iklim tidak disadari. Padahal dampaknya pada saya dan keluarga misalnya bisa sampai merembet ke ketersediaan pangan harian keluarga dan pilihan naik transportasi (darat maupun laut) apa,” jelas Elaa.
Baca Juga: Berita Krisis Iklim Perlu Hindari Unsur Kiamat
Jadi Agen Perubahan dari Level Terkecil
Saat ibu sudah memiliki literasi krisis iklim, mereka pun bisa menjadi agen perubahan setidaknya di level terkecil dahulu, yakni keluarganya sendiri. Ibu penting menurunkan literasi ini kepada anak, pasalnya menurut Elaa perdebatan soal krisis iklim di tahap sekolah masih jamak ia temukan.
“Fakta bahwa ini (krisis iklim) masih diperdebatkan, masih dipertanyakan real atau enggak jadi masalah. Ada miseducation di sistem pendidikan kita. Ngomongin krisis iklim jadi krusial dan pemahaman ini tidak datang otomatis tapi dibangun. Jadi ngajarin climate crisis real harus datang dari orang tua juga,” tambahnya.
Literasi soal krisis iklim pun penting buat para ibu untuk meregulasi emosinya. Dalam pengalaman Elaa, banyak anak-anak yang sudah terpapar soal krisis iklim menjadi sangat panik dan merasa tak punya harapan. Reaksi ini cukup beresiko karena bisa berpengaruh keenganan anak-anak untuk terlibat dalam penyelesaian masalah krisis iklim. Tetapi dengan literasi yang cukup, ibu justru bisa menjadikan kekhawatiran ini sebagai bagian penting dari percakapan terkait pencarian solusi bersama.
“It is is bad but there’s hope jadi percakapan penting yang bisa dilakukan bersama anak. Ini bisa terjadi karena literasi yang cukup, sehingga yang ada bukan hanya ketakutan saja tapi juga ada kemampuan untuk mencari solusi, problem solving” kata Elaa.
Lalu bagaimana dengan anak-anak yang belum awas soal isu ini? Elaa bilang, buat anak-anak yang belum terpapar isu krisis iklim dan ingin membuat mereka peduli, para ibu bisa memulainya dengan membangun kedekatan anak dengan alam. Saat anak dekat dengan alam maka sense of wonder akan mulai terbangun. Pada tahap ini anak-anak jadi lebih ingin lebih banyak tau tentang alam dan seisinya yang kemudian bisa mendorong mereka pada kepedulian.
Sedangkan buat Dilla, literasi soal krisis iklim bisa disampaikan kepada anak lewat cara walk the talk. Anak adalah peniru ulung. Setiap saat, mata anak selalu mengamati, telinganya menyimak, dan pikirannya mencerna apa pun yang orang dewasa lakukan. Karena itu, kesadaran soal literasi para ibu soal krisis iklim tak boleh hanya berakhir penyerapan ilmu saja, tetapi juga dilakukan pada kehidupan sehari-hari.
“Saya sudah memilah sampah rumah tangga. Anak saya melihat apa yang saya lakukan dan itu terinternalisasi di dia. Jadi pas dia makan dan tersisa bungkusnya, dia nanya ke saya ‘Ma, ini ditaruh di mana? Di taruh ke bank sampah ya?’” jelasnya.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Setelah dari level keluarga, para ibu juga bisa mulai berkomunitas. Kata Dilla, komunitas melibatkan mayoritas dan membangun konsensus untuk bertindak, sehingga kita akan dapat mencapai aksi iklim yang berdampak. Komunitas lebih lanjut juga sangat dibutuhkan buat para ibu yang punya permasalahan yang sama, khawatir pada masa depan anak-anak misalnya. Dengan berkomunitas, perempuan bisa saling berbagi dan mencari solusi bersama. Sebaliknya, jika tidak ada wadah kolektif, perempuan akan susah keluar dari situasi kerentatan.
Lebih dari itu, dibandingkan dengan individu, komunitas bisa mendorong partisipasi bermakna lewat keterlibatan dalam perumusan kebijakan publik. Kebijakan yang hingga saat ini sayangnya masih belum inklusif kata Dilla. Sebagai contoh sukses dari berkomunitas adalah Mothers Out Front dari Amerika Serikat. Mothers Out Front adalah sebuah gerakan lebih dari 24.000 ibu di Amerika Serikat yang mengubah rasa takut dan putus asa mereka menghadapi krisis iklim menjadi rencana aksi tanggap atasi krisis iklim.
Mothers Out Front menggabungkan tekad kuat para ibu yang memperjuangkan masa depan anak-anak mereka dengan disiplin kerangka kerja pengorganisasian gerakan sosial. Mothers Out Front memberdayakan para ibu dari berbagai latar belakang untuk melangkah ke dalam peran kepemimpinan dengan menyediakan struktur, pelatihan, dan alat yang mereka butuhkan untuk bersatu dalam tim berbasis komunitas, membangun kekuatan, dan memenangkan kampanye.
Banyak ibu yang terlibat belum pernah terlibat secara politik atau sipil sebelumnya, tapi lewat keterlibatan mereka di Mothers Out Front, untuk pertama kalinya mereka menemukan suara dan kekuatan mereka. Bersama-sama, mereka bekerja pada berbagai kampanye strategis yang berbeda di tingkat lokal dan negara bagian. Ini mulai dari memberlakukan kebijakan energi bersih, menghentikan pembangunan infrastruktur bahan bakar fosil baru, menangani masalah kesehatan dan keselamatan yang terkait dengan bahan bakar fosil, hingga mengubah narasi publik tentang bahan bakar fosil dan transisi energi.
Pada akhirnya, literasi krisis iklim bagi ibu, telah menjadi isu mendesak dan krusial untuk didorong. Ini bukan hanya karena perempuan jadi kelompok yang paling rentan terdampak, tetapi perempuan sendiri punya kapasitas dan peran sosial yang sejak dulu menempatkan mereka sebagai defense of life.