Setelah dua tahun, Komunitas Salihara kembali menyelenggarakan Literature and Ideas Festival (LIFES), perhelatan sastra dan ide-ide. Bertajuk “Mon Amour! (Cintaku dalam Bahasa Prancis)”, tahun ini acara berfokus pada budaya Prancis dan Frankofoni (sebutan untuk negara-negara penutur Bahasa Prancis).
Selama perhelatannya mulai dari 5 Agustus hingga 12 Agustus 2023, LIFES akan menggali dan merayakan khazanah kekayaan intelektual dari pemikir dan penulis asal Prancis dan negara Frankofon. Mereka berkumpul untuk mengisi diskusi, menonton film, lokakarya, menonton pertunjukan teater, musik, seminar, peluncuran buku, dan menikmati kuliner.
Direktur LIFES dan Kurator Sastra Komunitas Salihara Arts Center Ayu Utami bilang, pemilihan topik ini karena Perancis merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia.
Baca Juga: SamaBhav Travelling Film Festival, Bersama Dorong Kesetaraan Gender
“Prancis selalu merupakan kiblat pemikiran para intelektual Indonesia, selain juga menjadi kiblat fesyen, dan lain-lain. Kesusastraan Prancis itu selalu dirujuk oleh pendiri bangsa ini. Lihat saja bagaimana mereka (para pendiri bangsa) mengutip ide-ide para pemikir Prancis kontemporer seperti Jacques Derrida, Foucault, Albert Camus, Felix Guattari,” tutur Ayu dalam konferensi pers, (25/7).
Di sisi lain, imbuh Ayu, eksistensialisme memiliki pengaruh besar dalam kesusastraan dan kesenian Indonesia. Hal ini bisa dilihat dalam tulisan Sutan Takdir Alisjahbana atau Sitor Situmorang.
Selama tujuh hari perhelatannya, LIFES sendiri akan menampilkan keragaman budaya negara Frankofon yang menginspirasi para intelektual dan sastrawan Indonesia. Spesial untuk 2023, LIFES juga menghadirkan pameran yang disebut Le Liaisons Amoureuses (Jalinan Asmara). Ini adalah pameran buku sastra, komedi, dan penelitian terjemahan yang menampilkan kontribusi karya-karya berbahasa Prancis dan para penerjemahnya untuk dilihat oleh pembaca Indonesia.
Tak kalah penting, LIFES dengan berani membawa topik erotisme perempuan pada para pengunjungnya. Erotisme kerap dianggap sebagai pornografi, sehingga dalam perjalanannya selalu dianggap tabu dan jadi sumber masalah masyarakat. Ini membuat diskusi tentang erotisme tak pernah berkembang di Indonesia karena tak lebih dikaitkan dengan moralitas.
Baca Juga: Pesta Perempuan: Mari Jaga Semangat Kita #MendobrakBias
“Isu seksual perempuan itu masih merupakan problem di Indonesia. Saya ingat waktu saya menulis Saman 25 tahun lalu, itu sudah jadi semacam gebrakan. Sudah ada euforia seksualitas dalam penerbitan-penerbitan disusul dengan eforia menjadi pornografi di tabloid-tabloid masa reformasi. Tetapi kemudian ada titik balik di mana negara ini menjadi konservatif. Novel-novel religi muncul dan tekanan-tekanan pada tubuh perempuan banyak terjadi dari 2005 hingga 2015. Maka dari itu, isu seksualitas perempuan tetap perlu disuarakan,” jelas Ayu pada Magdalene.
Dalam mengangkat erotisme, LIFES bukan ingin mendeklarasikan bahwa seksualitas perempuan pasti benar, bagus, atau baik. Sebaliknya, Ayu percaya dalam festival seni dan sastra, topik yang masih dianggap tabu bisa dihargai sebagai suatu ungkapan kebebasan.
Senada, aktor kenamaan Indonesia Asmara Abigail mengatakan, seksualitas adalah bagian dari manusia. Penting bagi festival seperti LIFES menyediakan ruang aman bagi orang-orang yang berani mendobrak dan memiliki pemikiran berbeda untuk berekspresi. Karena itu, lewat Lewat teater bertajuk Erotika Feminin, LIFES ingin mengajak para penonton untuk langsung terlibat dalam dialektika rasa terkait isu yang dikatakan oleh Atu sebagai “suara-suara gelap”.
Baca juga: #KerenTanpaNyampah, The Body Shop® Komitmen Selamatkan Jutaan Botol Bekas
Menghadirkan Asmara Abigail, Elghandiva Astrilia, Ine Febriyanti, dan Sri Qadariatin, Erotika Feminin yang diselenggarakan pada 8 Agustus mendatang bakal membawakan monolog dari tulisan penulis erotika feminin karya Anaïs Nin, Anne Cécile Desclos, Marguerite Duras, dan pemenang Nobel Annie Ernaux. Tema-tema tentang permainan kekuasaan dan sadomasokisme menjadi bagiannya.
“Kita sekarang sudah di t2023 tapi kita mengalami masih isu yang sama, masih berusaha mendobrak situasi yang sama, masih terus mencoba memerdekakan pikiran dan badan diri sendiri, dan juga tetap ngerasa bersalah apakah ini boleh apa enggak. Tapi setidaknya dengan pementasan ini, sebagai dan penonton kita akan hadir untuk memerdekakan pikiran dan badan,” tutur Asmara.