Sebuah Refleksi Tentang Lucinta Luna dan Komunitas Trans
Tidak adil menghakimi Lucinta Luna jika komunitas transgender tidak mendapatkan kesempatan yang sama dengan mereka yang cisgender.
Ketika saya diminta Magdalene untuk menulis opini tentang Lucinta Luna, saya merasa tersanjung sekaligus ragu. Ada keengganan menulis sosok kontroversial seperti dia di tengah budaya political correctness yang menyiratkan seolah-olah transgender jadi tidak bisa atau tidak boleh dikritik. Sosok Lucinta mengingatkan saya pada Rachel Dolezal, warga AS yang mengaku kulit hitam selama bertahun-tahun dan menimbulkan kehebohan beberapa tahun lalu.
Namun, akhirnya saya menerima tawaran untuk menulis karena beberapa hal. Pertama, saya menulis ini bukan dalam kapasitas ingin menghakimi atau mengajak masyarakat agar tidak suka dan membenci satu sosok yang diberitakan oleh media secara masif, namun memberi dampak negatif bagi komunitas trans dalam skala besar. Saya bukanlah siapa-siapa untuk menghakimi. Yang bisa saya lakukan hanya melakukan analisis sosial dalam perspektif feminis.
Kedua, saya tidak mau membuka jati diri seseorang (outing) seseorang jika orang tersebut tidak atau belum coming out (melela) di publik. Setahu saya, Lucinta Luna tidak pernah mengakui bahwa dirinya adalah seorang trans perempuan atau transpuan, sehingga saya sebenarnya ragu untuk membahas dari perspektif seorang trans. Namun dalam tulisan ini, yang bisa saya lakukan adalah menjelaskan argumen yang mengandaikan dia memang seorang trans.
Jadi, seandainya memang Lucinta Luna adalah seorang trans, perilakunya sungguh amat disayangkan. Di saat Indonesia sedang menghadapi kondisi darurat representasi positif, dia hadir dan dengan mudah dipersepsikan sebagai perwujudan stereotip negatif yang banyak beredar di masyarakat. Stereotip tersebut meliputi citra transgender yang bersifat menggoda dan memenuhi harapan objektifikasi perempuan, emosional dalam menghadapi tekanan, ketidakmatangan berpikir dengan sikap tidak terbuka dengan kritik, serta dibarengi dengan sikap “masa bodoh”.
Hal ini disayangkan karena kekosongan representasi positif trans sekarang diisi dengan pemberitaan negatif tentang Lucinta yang memborbardir masyarakat. Tentu ada juga aspek lain, betapa media memberitakan dia dengan nada negatif. Tetapi harus kita sadari juga, pemberitaan negatif itu menguntungkan Lucinta. Dia terlihat menikmati perhatian masyarakat. Meski demikian, saya rasa tidak bijak jika saya mengatakan dia seharusnya berperilaku tertentu demi mengangkat nama baik komunitas trans. Tidak adil rasanya jika seorang individu diberi beban sedemikian berat untuk mengangkat nama baik komunitas trans. Namun, sungguh amat mengecewakan ketika peliputan dia oleh media yang biasanya berlebih-lebihan menjadi bahan generalisasi teman-teman trans lain yang memiliki sikap dan perilaku berbeda dengannya. Masih banyak teman-teman trans yang memiliki hal lain yang sebenarnya juga menarik untuk diberitakan namun tidak mendapatkan perhatian media.
Ketiga, soal video artis laki-laki ibukota yang diduga telah berhubungan dengan Lucinta, muncul ke permukaan. Setelah peristiwa tersebut, artis itu memberikan klarifikasi, diikuti gestur “muntah” ketika ditanya tentang Lucinta. Terlepas dari pelaku penyebaran tersebut, orang lupa bahwa konsekuensi penyebaran tersebut adalah penguatan rasa “jijik” terhadap tubuh teman-teman transpuan.
Secara tradisional, tubuh transpuan selalu dianggap sebagai tubuh yang seharusnya tidak menarik dan tidak menimbulkan rangsangan biologis, yang dipersepsikan secara natural hanya boleh dirasakan oleh teman-teman cisgender. Tubuh trans seakan-akan tidak menimbulkan rangsangan seksual dan ketertarikan yang mungkin timbul dari tubuh teman-teman trans harus dianggap “menjijikkan”. Kita tahu betapa banyak komentar negatif tentang tubuh transpuan. Hal ini menunjukkan kemunafikan masyarakat kita, meski industri hiburan banyak mengobjektifikasi tubuh transpuan sampai saat ini. Dalam artikel ini, saya memilih terminologi trans dan cis yang memang menekankan pada identifikasi identitas, di mana trans mengidentifikasikan diri berbeda dengan identitas gender yang ditetapkan ketika lahir, dan cis sebaliknya.
Keempat, banyak respons Lucinta yang sebenarnya juga cukup mengecewakan. Saat teman-teman trans di Indonesia dituntut untuk memiliki citra yang positif, Lucinta malah menguatkan stigma mengenai trans (seandainya memang dia benar-benar trans yang sudah melakukan prosedur afirmasi gender, yaitu operasi rekonstruksi genital). Masyarakat memiliki anggapan bahwa individu tersebut akan menunjukkan tanda-tanda atau gejala kegagalan fungsi mental (atau menjadi gila, kata orang). Suatu stigma yang tidak pernah berdasar namun membebani teman-teman trans yang sudah melakukan prosedur afirmasi gender. Hal ini terjadi karena adanya persepsi bahwa penis adalah kekuatan, sehingga ketika tubuh yang memiliki penis direkonstruksi, tubuh tersebut menjadi tidak berharga atau bermasalah.
Tentu tidak bijak menjatuhkan semua beban sosial ke pundak Lucinta. Namun terlepas dari usaha konsisten dia untuk tidak mengaku sebagai trans, masyarakat cenderung lebih percaya bahwa dia adalah seorang trans yang sudah melakukan prosedur afirmasi gender dan menganggap dia menghadapi dampak gangguan mental karenanya. Hal ini sangat bertentangan dengan perjuangan teman-teman aktivis trans yang sedang melawan psiko-patologisasi identitas teman-teman trans.
Kelima, saya paham bahwa ketika seseorang banyak menghadapi pengalaman yang keras dalam hidupnya, ia kemungkinan “bebal” terhadap kritik sosial. Namun, perlu kita sadari bahwa ketika seseorang menyadari bahwa sikap dan perilaku masa bodohnya malah memberikan manfaat dan membantu dia tidak hanya bertahan tapi juga bertumbuh, maka strategi “masa bodoh” terhadap kritik ini akan selalu dipakai untuk menghadapi semua kritikan yang datang.
Dalam hal ini, saya tidak ingin menggambarkan Lucinta sebagai sosok yang jahat, karena rasanya tidak adil jika kita menghakimi beliau. Namun, yang ingin saya sampaikan adalah banyak sekali perempuan trans yang berbeda dengan Lucinta, sehingga generalisasi bahwa semua trans memiliki sikap dan perilaku yang sama dengan dia harus dihindari karena dampaknya sangat negatif. Banyak yang akhirnya tidak lagi bisa mendapatkan kesempatan bekerja karena sudah kalah dengan stigma bahwa trans itu halu (delusional) dan tidak mampu berfungsi secara sosial layaknya orang “normal”. Faktanya, saya bertemu teman-teman trans yang luar biasa prestasinya tanpa sensasi, dengan latar profesi yang beragam. Namun, teman-teman trans berprestasi tersebut memiliki kekhawatiran jika mereka diliput, apakah mereka bisa terus memiliki rasa aman serta tidak berpengaruh terhadap karier mereka.
Mengapa demikian? Karena sepertinya masyarakat lebih tertarik dengan sosok Lucinta yang kontroversial dan sensasional. Untuk itu, kita tidak bisa menyalahkan perilaku Lucinta karena sosok seperti dialah yang dinikmati oleh masyarakat. Ketika kita menuntut teman-teman trans untuk memiliki citra yang positif namun tidak memberikan rasa aman, yang lebih muncul ke permukaan adalah sosok yang mendapatkan sumber pendapatan dan penghidupan dari penguatan stereotip negatif dan hidup dalam prinsip “masa bodoh”.
Jadi seharusnya bagaimana? Yang paling bijak adalah tidak menjelek-jelekkan sosok Lucinta dan memberi kesempatan kepada teman-teman trans untuk menunjukkan diri dan meraih prestasi seperti yang terus menerus dituntut oleh masyarakat. Hanya akan adil jika Lucinta dan teman-teman trans lain “dihakimi” jika mereka memiliki kesempatan untuk berperilaku dan bersikap sesuai dengan keinginan masyarakat seperti yang dimiliki oleh mereka yang cisgender. Masih banyak cerita tentang penolakan di tempat kerja atau permintaan untuk tidak mengekspresikan identitas gender yang tidak sesuai keinginan masyarakat.
Tidak bijak jika kita berharap seseorang berperilaku positif, tetapi kesempatan untuk berperilaku positif tersebut tidak kunjung diberikan. Banyak teman-teman trans yang ingin memiliki profesi di luar pekerjaan yang stereotipikal untuk mereka, namun tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan potensinya. Akibatnya, mereka hanya bisa melakukan pekerjaan yang selama ini dianggap “layak” untuk mereka. Jika kita berani secara revolusioner membela hak teman-teman trans untuk hidup layak dan mengakses pekerjaan yang “terhormat”, maka teman-teman trans bisa memiliki ruang untuk berperilaku sesuai dengan apa yang dituntut masyarakat.
Seandainya, teman-teman trans diberikan kesempatan yang sama, kemungkinan untuk memiliki sosok lain yang bisa mengimbangi sosok Lucinta pun akan berani untuk muncul di publik. Namun karena kesempatan untuk bersekolah dan bekerja dengan ekspresi transgender tidak ada, dan apresiasi, kesejahteraan, serta keamanan hidup yang layak juga absen, maka yang kita dapat hanya sosok perwujudan stereotip yang negatif dan teman-teman trans terus berada dalam lingkaran setan.
Ilustrasi oleh Sarah Arifin