Dulu saya berpikir kalau kata “maaf” adalah jembatan antara luka dan penyembuhan. Namun di negeri ini, kata itu sering hilang saat paling dibutuhkan, digantikan oleh “belasungkawa” sebagai pilihan aman yang tidak menuntut konsekuensi apa pun.
Pada 28 Agustus 2025, Affan Kurniawan, seorang pencari nafkah di sekitar DPR, tewas dilindas kendaraan taktis Brimob. Tragedi ini menambah daftar panjang korban yang jatuh di bawah bayang-bayang aparatur negara yang seharusnya melindungi rakyat. Setelah kericuhan reda, Presiden Prabowo menyampaikan duka dan memerintahkan investigasi; Kapolri meminta maaf langsung kepada keluarga korban; anggota DPR yang digugat menyalurkan santunan. Tetapi rakyat bertanya: cukupkah itu? Atau semua ini sekadar panggung basa-basi—duka dibacakan, maaf dilontarkan, santunan dibagikan, sementara akar masalah tetap dibiarkan.
Respons publik tetap keras, karena rakyat sudah kenyang dengan frasa klise seperti “akan diproses” atau “penyelidikan transparan” yang nyaris tak pernah berbuah hasil. Tidak ada reformasi prosedur keamanan untuk mencegah tragedi serupa, kompensasi kepada keluarga korban sering tidak jelas, dan janji-janji hanya menambah skeptisisme terhadap negara.
Baca Juga: Demonstrasi, Kecemasan Orang Tua, dan Pelajaran untuk Melepaskan
Maaf tanpa tindakan = Hampa
Kita pernah melihat pola serupa di Tragedi Kanjuruhan 2022. Ratusan nyawa melayang akibat gas air mata di stadion. Pemerintah menyampaikan permintaan maaf dan janji evaluasi, tetapi investigasi independen tak pernah dijalankan sepenuhnya. Banyak aparat tetap bertugas, sementara korban menanggung trauma sendirian.
Tidak hanya pada tragedi besar, blunder komunikasi pejabat pun berulang kali berakhir dengan “klarifikasi” atau permintaan maaf setengah hati. Komentar yang meremehkan korban kekerasan seksual, atau pernyataan yang menyepelekan penderitaan rakyat kecil, selalu diselesaikan dengan kata “maaf” tanpa kebijakan korektif. Bahkan kompensasi materi sering dijadikan solusi instan, seolah santunan bisa menutup luka dan menggantikan hak atas keadilan.
Kita punya penyelenggara negara yang lihai merangkai kata, tapi gagap bertanggung jawab. Pemimpin fasih mengucap duka, tapi lalai memberi bukti. Pejabat piawai berperan jadi orang baik, tapi lupa bahwa rakyat bukan penonton sinetron yang bisa ditipu selamanya.
Seperti dicatat majalah Quillette, banyak politisi meminta maaf tanpa skin in the game—tanpa risiko hukum, moral, maupun finansial yang nyata. Hasilnya, maaf berubah menjadi gestur kosong. Riset Foran (2025) menegaskan bahwa permintaan maaf politik hanya berdampak jika diikuti kebijakan nyata. Zoodsma dkk. menambahkan, yang dibutuhkan adalah restorative apology—permintaan maaf yang disertai pemulihan bagi korban lewat kompensasi layak, transparansi, dan reformasi struktural. Rakyat butuh kejujuran, bukan karangan bunga belasungkawa dan aksi pahlawan kesiangan elit politik.
Baca Juga: Saat Aksi Disambut Represi: Rangkuman Kekerasan Aparat di MayDay Jakarta
Kultur politik anti-kritik
Masalahnya, kultur politik kita masih menganggap mengakui kesalahan sebagai tanda kelemahan. Dalam logika maskulinitas hegemonik seperti digambarkan sosiolog Australia, Raewyn Connell, kepemimpinan dibangun di atas sikap keras, superior, dan anti-kritik. Kerendahan hati, apalagi permintaan maaf yang tulus, dianggap merusak wibawa. Akibatnya, dari aparat lapangan hingga presiden, “tampil kuat” selalu diprioritaskan daripada jujur mengakui kegagalan sistem.
Kultur ini melahirkan “maaf formalitas” tanpa perbaikan struktural. Rakyat pun makin skeptis, menanggapi permintaan maaf pejabat dengan senyum sinis, bukan kepercayaan. Padahal legitimasi moral adalah modal penting demokrasi, dan itu yang kini makin tergerus.
Ironisnya, ketika rakyat akhirnya bersuara lantang, para pejabat malah bersikap seolah tuntutan yang diajukan setara absurd-nya dengan permintaan tiket konser Taylor Swift gratis. Padahal permintaan publik sangat jelas, seperti ditegaskan KOMPAKS dalam pernyataan resmi mereka: cabut fasilitas dan tunjangan DPR, hentikan kekerasan aparat, dan lakukan reformasi Polri sekarang juga.
Dari desakan yang begitu terang-benderang, tinggal satu pertanyaan yang tersisa: apakah pemerintah benar-benar berani mengambil risiko untuk membenahi negeri ini? Atau justru sibuk merapikan karpet merah oligarki, sambil menari bahagia di atas uang rakyat?
Kalau negara tak pernah sungguh-sungguh menindak setiap pelanggaran yang merenggut nyawa, maka “maaf” hanyalah jeda kosong sebelum luka baru kembali dibuka. Dan kalau pemerintah terus memilih aman untuk diri sendiri, jangan heran bila rakyat perlahan memilih tidak percaya.
















