‘Madame X’: ‘Hidden Gem’ yang Tak Diproduksi Lagi(?)
Ada banyak film bagus yang mungkin kita lewatkan, karena akses menonton harus diakui masih belum milik semua orang.
Tak semua film juga punya kesempatan yang sama untuk dinikmati lebih banyak penonton. Tak sedikit juga yang biasa-biasa saja di tahun rilisnya, tapi malah memanen kultus di masa depan. Satu di antaranya, ialah Madame X.
Madame X (2010) keluar di era yang menarik. Di tahun itu, produksi film Indonesia genre horor-komedi-seksi mulai surut peminat. Film-film kisah percintaan dengan ornamen Islam makin banyak, terutama setelah Ayat-ayat Cinta (2008) menjadi gerbang yang membawa penonton muslim ke daftar target pasar para distributor dan produser.
Tahun itu, film-film progresif yang marak tumbuh sejak Reformasi 1998 memang masih ramai diproduksi.
Di Festival Film Indonesia (FFI), ajang apresiasi sineas paling populer di negeri ini—sekaligus yang didanai pemerintah—masih didominasi film-film berwacana pinggiran dan bertema progresif. Nominasi film terbaiknya adalah: 3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (cinta beda agama); Minggu Pagi di Victoria Park (buruh migran); Alangkah Lucunya Negeri Ini (pengangguran dan kriminalitas); 7 Hati, 7 Cinta, 7 Wanita (isu perempuan); I Know What You Did on Facebook (karakter LGBT).
Namun, di tahun itu ada konflik ketika FFI memecat sejumlah nama dari daftar dewan juri, yang belakangan mengumumkan Sang Pencerah (dir. Hanung Bramantyo) menjadi film terbaik versi mereka. Padahal film yang dimaksud bahkan tak masuk nominasi versi dewan juri resmi.
Dalam Politik Vs Seni: FFI 2010, penulis dan akademisi Lisabona Rahman menyebut konflik itu terjadi karena perbedaan pandangan politik. Sang Pencerah dianggap mewakilkan wacana arus utama, sementara deretan nominasi film terbaik FFI tahun itu dianggap mewakilkan pesan pluralisme yang ingin ditonjolkan dewan juri resmi.
Di masa-masa itulah, Madame X karya sutradara Lucky Kuswandi hadir.
Ia memang tak masuk deretan film pilihan FFI, tapi gagasan yang ditanam Lucky dalam film panjang pertamanya itu bukan cuma progresif. Boleh dibilang, melampaui zamannya.
Konflik perbedaan pandangan politik yang mewarnai FFI tahun itu bahkan jadi plot utama Madame X, film superhero yang dikemas dalam balutan komedi-satire. Premisnya sederhana, Adam (Aming), seorang banci salon, harus mengalahkan Kanjeng Badai (Marcell Siahaan), calon presiden yang homofobik dan fasis.
Baca juga:Isu LGBT dalam Komik Miiko, Catatan Seorang Queer yang Tumbuh dengan Ceritanya
Yang tidak biasa, adalah pemilihan karakter utamanya. Selain The Adventures of Iron Pussy (2003) karya Apichatpong Weerasethakul dan Michael Shaowanasai—yang menginspirasi Madame X, kira-kira di mana kita pernah menonton karakter transgenvder jadi karakter utama sekaligus pahlawan super? Marvel Cinematic Universe (MCU) yang umurnya lebih dari 20 tahun saja, dan sudah merilis hampir 30 judul film superhero, belum seberani Lucky Kuswandi.
Di Indonesia, karakter transgender jadi peran utama memang bukan hal baru. Ada Benyamin Sueb yang pernah memerankan Betty dalam Betty Bencong Slebor (1978). Tapi, pilihan itu jarang terjadi. Kalaupun ada, karakter-karakter queer di perfilman Indonesia sering kali hadir sebagai sosok aneh dan bahan lelucon. Ini tak lepas dari stigma dan diskriminasi struktural yang diarahkan pada kelompok mereka.
Eksplorasi tema dan topik progresif dalam film-film Indonesia yang tidak mungkin lolos sensor ketat rezim Soeharto baru muncul setelah Orde Baru tumbang, dan kebebasan berekspresi lahir bersama reformasi 1998. Isu gender dan seksualitas adalah salah satunya.
Sineas generasi Kuldesak (Mira Lesmana, Nan T. Achnas, Riri Riza, Rizal Mantovani) membuka jalan. Di omnibus yang sering disebut sebagai gerbang bangunnya industri film Indonesia yang sempat mati suri itu, ada sejumlah karakter yang muncul dengan ragam ekspresi gender.
Tapi, di tengah ramainya film-film progresif yang tumbuh selama satu dekade berikutnya, Madame X jadi istimewa.
Baca juga: Film di Asia Tenggara Belum Inklusif, Minim Representasi Lesbian dan Transpuan
Adam jadi salah satu, dari sedikit sekali, karakter queer sekaligus transpuan yang ditulis hati-hati. Ia memang lucu, pekerja salon, melakukan prostitusi, dan miskin, sebagaimana seringnya karakter transpuan ditampilkan di film-film Indonesia. Karakteristik begitu biasanya dituliskan para penulis naskah dengan alasan merekam atau menyadur realitas yang mereka pantau, ketika tak mau dituding asal-asalan atau sembrono. Tapi, lewat Adam, Lucky Kuswandi berani mengimajinasikan seorang pahlawan super yang berdaya meski ditindas, berani meski dilanda trauma besar, dan yang paling mengagumkan: menjunjung nilai-nilai kolektif dalam melawan sistem opresif yang menindasnya.
Sebelum menonjolkan lagi konsep chosen family di Ali & Ratu-ratu Queens (2021), Lucky sudah lebih dulu memakainya dalam Madame X. Ia juga menyelipkan plot perbudakan perempuan ala The Handmaid’s Tale untuk mempertontonkan bagaimana perjuangan membebaskan eksploitasi agensi perempuan dan queer di bawah payung feminisme tanpa eksposisi yang menggurui.
Hal itu yang bikin karakter Adam bahkan jauh lebih progresif melawan patriarki dan sistem biner, bila dibandingkan film-film bertema serupa yang belakangan dirayakan, seperti Kucumbu Tubuh Indahku (2019) atau Yuni (2021).
Tak cuma mantap dalam menyampaikan pesan dan kritik sosial, aspek teknis film ini yang dibikin campy sebetulnya juga sangat menarik.
Dialog yang terkesan berantakan, kamera yang tidak stabil, dan special effect sekenanya mungkin adalah poin-poin yang dianggap kurang oleh penonton dan kritikus film saat itu hadir. Maklum, di umur perfilman Indonesia yang masih muda sekali, film baik masih dikotak-kotakan pada aspek-aspek tertentu, terutama di aspek teknis pembuatan. Situasi industri yang masih sangat Jakarta-sentris dan kritik yang tidak beragam pada masa itu juga bikin Madame X seperti hidden gem yang terlewatkan.
Baca juga: Karakter LGBTQ di Film Indonesia: Mengingat Mereka yang Queer dan ‘Legendary’
Padahal gaya camp ini adalah cara paling tepat mengawinkan kritik sosial yang ingin dibawa film, dengan tetap menghormati sudut pandang karakter utamanya yang dipinjam dari kelompok minoritas. Alih-alih menempatkan Adam sebagai karakter transpuan yang tertindas dan menderita, Lucky Kuswandi lebih memilih merayakannya—mengajak kita para penonton untuk mengimajinasikan sebuah dunia yang aman dan tidak jahat pada mereka yang rentan.
Sekarang, lebih dari satu dekade setelah Madame X rilis, tapi kritik sosialnya tak pernah terasa lebih jitu. Diskriminasi pada kelompok queer di Indonesia masih tinggi. Kekerasan itu mencapai puncak persekusinya pada 2016 ketika negara menganggap LGBT sebagai bahaya laten dan bagian dari proxy war. Film-film bertema serupa juga semakin sedikit diproduksi. Kalaupun ada, ia hanya bisa dibikin para sineas dengan tingkat kemapanan tertentu, yang akan tetap mendapat protes dan pembatasan tayang.
Lebih dari satu dekade setelah ia rilis, Madame X disyukuri karena pernah dibikin. Di situasi lebih baik, ia akan dikenang sebagai harta karun nasional.
Tulisan ini sebelumnya tayang dalam Zinetflix 2023 dengan judul: Memaknai Lagi “Madame X”: Melesat Melampaui Zamannya