Magdalene Primer: Ada Apa dengan Aice
Murahnya harga es krim Aice dibayar dengan hak-hak buruhnya yang diabaikan oleh perusahaan tersebut.
Sejak 21 Februari, 600 buruh pabrik es krim Aice di Cikarang, Jawa Barat, melakukan pemogokan setelah perundingan soal upah yang berlangsung sejak pertengahan 2019 gagal mencapai persetujuan.
Para buruh ini juga menyuarakan ketidakadilan yang mereka terima dari pihak perusahaan, PT Alpen Food Industry (PT AFI), seperti pengabaian kesehatan dan keselamatan pekerja, serta pemutusan hubungan kerja secara sepihak.
Juru bicara Serikat Buruh Demokratik Kerakyatan (F-SEDAR), Sarinah mengatakan, para buruh telah berupaya mengubah kebijakan di pabrik sejak 2018 namun pihak perusahaan selalu mengingkari janji.
“Aksi mogok ini merupakan puncak dari kesabaran kami selama ini,” ujar Sarinah kepada Magdalene, Rabu (4/3).
Siapa Aice?
Produsen es krim yang memiliki slogan “Have an Aice day” ini merupakan perusahaan waralaba dari Singapura, yang telah bergelut dalam industri es krim selama 20 tahun. Aice datang ke Indonesia pada 2015 dengan mengambil sebagian besar saham PT AFI, produser es krim lokal.
Harganya yang terjangkau, di kisaran Rp2.000 hingga Rp10.000, dengan berbagai varian rasa membuat Aice menjadi salah satu makanan paling “viral” pada 2016. Puncak dari kesuksesan Aice adalah saat ia terpilih sebagai sponsor resmi perhelatan Asian Games 2018 di Jakarta.
Namun gemerlapnya prestasi Aice sebagai produk yang terjangkau kocek masyarakat tidak berbanding lurus dengan perlakuan perusahaan terhadap para buruh, yang jumlahnya mencapai 1.300 orang. Pada akhir 2017, para buruh mogok karena upah yang rendah dan kondisi pekerjaan yang buruk.
Mengapa buruh mogok?
Sebelum 2017, PT AFI menggunakan izin perusahaan untuk makanan terbuat dari susu atau Klasifikasi Baku Usaha Lapangan Indonesia 1520 (KBLI 1520). Pada tahun 2017, PT AFI mengubah izin usahanya menjadi KBLI 10531 untuk pengolahan es krim. Hal ini berdampak pada pengurangan upah sebesar Rp280.000. Jika perusahaan masih berstatus KBLI 1520, maka buruh akan mendapatkan upah Rp4.429.815 berdasarkan Upah Minimum Sektor (UMSK) 2019. Namun, ketika Aice berubah menjadi KBLI 10531 maka upah berubah menjadi Rp4.146.126 karena mengacu pada Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
Sejak 2018, para buruh Aice mulai mengadvokasi tambahan upah, namun hanya mendapatkan kenaikan Rp5.000 tahun itu, dan di tahun 2019 upah mendapatkan kenaikan Rp10.000.
Baca juga: KDRT dan Buruh Perempuan: Rantai Kekerasan yang Sulit Diputus
“Kami tidak menuntut upah sebesar Rp11 juta maupun Rp8 juta yang selama ini dinyatakan oleh pihak perusahaan. Justru kami terus menerus menurunkan nilai tuntutan. Kami berharap agar mendapatkan tambahan upah Rp280 ribu hingga Rp300 ribu dari UMK,” ujar Sarinah.
Pada 2018, buruh Aice yang berstatus kontrak diangkat menjadi karyawan tetap, namun hal ini tetap tidak mengubah keadaan dan kesejahteraan buruh Aice. Beban kerja buruh pabrik Aice semakin ditambahkan. Penambahan beban kerja ini tidak dibarengi dengan kondisi kerja yang baik, malah ada laporan pelanggaran aturan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Kabarnya kondisi buruh perempuan lebih buruk?
Sebelum 2017, ada peraturan di pabrik Aice bahwa jika buruh perempuan hamil, ia akan diminta mengundurkan diri. Peraturan itu tidak lagi ada, namun tidak ada kelonggaran bagi pegawai yang hamil sehingga muncullah kasus keguguran dan kematian bayi.
Sejak 2019 hingga awal Maret 2020, ditemukan 15 insiden keguguran dan enam insiden bayi lahir meninggal.
“Mereka bilang pekerja hamil itu tidak dikenakan target, lalu ditempatkan di divisi yang ringan. Padahal kenyataannya sama saja. Misalnya, mereka di tempatkan di packing, tetap saja ketika produksi dipercepat, mereka harus menyesuaikan,” ujar Sarinah.
Saat mengoperasikan mesin packing, buruh perempuan harus berdiri selama delapan jam. Setiap 40 menit, mereka juga harus mengganti gulungan plastik kemasan es krim dengan mengangkatnya dan memasangkan gulungan seberat lebih dari 12 kilogram itu ke mesin packing.
Alih-alih memperhatikan kondisi buruh perempuan yang tengah sakit atau hamil, perusahaan justru bersikap acuh tak acuh pada mereka, bahkan sampai mengeluarkan surat peringatan dan pemecatan terhadap beberapa buruh dengan alasan alpa. Padahal ketidakhadiran mereka di tempat kerja juga akibat faktor fisik yang tidak kondusif, menurut Sarinah.
Pada awal 2018, sistem pengambilan cuti kerja untuk para buruh dipersulit. Sebelumnya, para buruh hanya meminta tanda tangan kepala timnya saja, namun sekarang mereka perlu menjalani prosedur yang ketat dan menemui divisi sumber daya manusia (HRD) juga.
“Sistem pengambilan cuti yang dipersulit ini membuat mereka akhirnya memutuskan untuk meng-alpa-kan diri saja. apalagi ketika menghadap atasan-atasan mereka dimarah-marahi terlebih dahulu,” kata Sarinah.
Baca juga: Pekerja Perempuan di Padang Tak Tahu Hak Cuti Saat Haid
Ia menambahkan bahwa yang paling aneh, ketika pekerja tersebut mengalami keguguran, walaupun sudah ada penyuluhan bersama Rumah Sakit Omni, perusahaan hanya memberikan cuti selama dua minggu, bukannya tiga bulan seperti yang dianjurkan rumah sakit.
“Mereka juga perlu membuat surat pernyataan bahwa kalau terjadi apa-apa, dia tidak boleh menuntut apa-apa ke perusahaan,” kata Sarinah.
Pada 26 Februari lalu, buruh Aice melakukan audiensi ke Kementerian Ketenagakerjaan untuk melaporkan pelanggaran norma kerja, yang dilakukan oleh pihak perusahaan. Namun di sana mereka berhadapan dengan pihak manajemen yang membuat para buruh perempuan tertekan.
“Ketika kami ingin mendampingi teman perempuan kami yang sebelum ini mengalami keguguran, itu enggak diperbolehkan oleh orang dari Bina Kesehatan dan Keselamatan Kerjanya. Lalu di dalam sesi tanya jawab, di dalam ruangan tersebut juga ada manajemen, ini membuat teman perempuan kita tertekan untuk berbicara,” kata Sarinah.
Apakah tidak ada kesepakatan?
Pengacara PT AFI, Simon Audry Halomoan Siagian mengatakan, pihak tim medis perusahaan telah melakukan cek medis berkala, dan memberikan saran medis bagi rekan pekerja yang hamil untuk tidak melakukan pekerjaan berat, apalagi shift malam.
“Kemudian, perusahaan menghadirkan tenaga bidan yang diselenggarakan sejak minggu pertama, bulan November 2019, setelah dilakukannya sosialisasi kesehatan reproduksi dan kehamilan serta pemaksimalan fungsi ruang laktasi,” ujar Simon dalam pernyataan yang disampaikan melalui tim public relations PT AFI.
Namun selama perundingan tersebut, tidak ada kesepakatan yang ditemui oleh kedua belah pihak. Pada tanggal 19 Desember, Serikat Gerakan Buruh Bumi Indonesia (SGBBI) memberikan surat permohonan mogok kerja kepada Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) Kota Bekasi.
Setelah memberikan surat tersebut, pihak Disnaker melakukan pemanggilan terhadap kedua pihak untuk melakukan mediasi. Akan tetapi ketika masa mediasi, Sarinah mengatakan banyak kejanggalan dalam prosesnya.
“Biasanya mediasi itu dilakukan sebanyak tiga kali, itu sudah tertulis dalam peraturan Menaker. Namun ini malah baru satu dipanggil, pihak Disnaker sudah mengeluarkan surat anjuran,” kata Sarinah.
Illustrasi oleh Karina Tungari