Magdalene Primer: Memahami Gender dan Seksualitas
Masih ada kesalahpahaman soal gender dan seksualitas sampai hari ini.
Kalau kita mengucapkan kata “seks” di ruang publik, pasti puluhan sampai ratusan mata langsung mendelik dan berpikir kalau kita sedang mempromosikan hal-hal yang cabul. Lain soal kalau yang digunakan adalah kata “gender”. Orang-orang cenderung lebih mewajarkannya, bahkan sebagian menganggap bahwa gender ini adalah bahasa “halus” dari seks.
Pemahaman yang super salah kaprah ini adalah buah dari reproduksi pengetahuan yang buruk dan setengah-setengah mengenai seksualitas maupun gender manusia. Alhasil, banyak yang berpikir bahwa sah-sah saja menyakiti atau memisahkan orang-orang yang mengekspresikan seksualitas atau gendernya secara berbeda, karena yang selama ini diperkenalkan ada di dunia hanyalah dua jenis yang mutlak.
Padahal seks tidak bisa dimaknai sesempit perilaku seksual, dan gender tidak bisa disamakan dengan jenis kelamin atau bawaan biologis manusia. Baik seks maupun gender memiliki lapisan yang luar biasa kompleks dan sesungguhnya tidak bisa dikotak-kotakan dengan label mana yang benar dan mana yang salah.
Untuk memahami kajian gender dan seksualitas ini, dikenal lah istilah SOGIE-SC, singkatan dari sexual orientation, gender identity and expression, and sex characteristic, sebagai komponen-komponen dasar yang perlu dipahami untuk bisa memaknai gender dan seksualitas sebagai dua hal yang berbeda, tapi berkaitan.
Seksualitas
Secara garis besar, menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), seksualitas merupakan aspek hidup manusia yang mencakup seks, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisme, kenikmatan, keintiman dan reproduksi. Seksualitas dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, kebiasaan, peran dan relasi. Seksualitas ini dialami dan diekspresikan dalam pikiran, fantasi, hasrat, kepercayaan, sikap, nilai, perilaku, kebiasaan, peran dan relasi. Meskipun seksualitas bisa mencakup semua dimensi ini, tidak semuanya selalu dialami atau diekspresikan.
Baca juga: Asha bukan Oscar: Membongkar Miskonsepsi Soal Transgender
Seksualitas seseorang terbentuk karena pengaruh banyak hal, terutama interaksi faktor biologis, psikologis, sosial, ekonomi, politik, budaya, hukum, sejarah, agama, spiritual dan sebagainya.
Karakteristik seks
Karakteristik seks adalah karakter biologis yang melekat pada diri setiap manusia. Penekanannya ada pada berbedaan struktur kromosom, hormon, serta alat kelamin (genitalia) dan organ reproduksi. Secara garis besar, jenisnya ada perempuan, laki-laki dan interseks. Yang kerap menuai stigma dan perdebatan adalah interseks. Bahkan, di Indonesia interseks kerap dikaitkan dengan hal-hal berbau klenik.
Interseks adalah kondisi individu yang memiliki karakteristik seks yang berbeda dengan kategorisasi medis yang konvensional, yaitu tubuh betina (perempuan) dan tubuh jantan (laki-laki). Interseks berbeda dengan hermafrodit atau kondisi kelamin ganda. Sejak lahir pun manusia tidak otomatis menjadi identik laki-laki ataupun identik perempuan.
Misalnya, ada orang yang memiliki vagina, tapi tidak punya rahim. Ada juga orang yang hormonnya tidak identik dengan hormon perempuan ataupun hormon laki-laki. Ada pula yang alat kelaminnya secara eksplisit terlihat seperti mikropenis, yang terlihat terlalu kecil untuk dibilang penis, tapi terlalu membengkak untuk dibilang klitoris.
Kemudian ada transeksual, istilah untuk kondisi individu transgender yang memutuskan melakukan tindakan medis, seperti terapi sulih hormon dan operasi penegasan kelamin, untuk mendapatkan gambaran tubuh dan karakteristik seks yang dibutuhkannya.
Gender
Sementara itu, gender merujuk pada keragaman peran, fungsi, dan identitas yang merupakan hasil konstruksi sosial atau bentukan masyarakat. Pemaknaan fungsi gender itu sangat kontekstual, bisa berbeda di satu tempat dengan tempat lainnya, juga satu budaya dengan budaya lainnya. Pembahasan mengenai gender biasanya melekat dengan kualitas sifat maskulin dan feminin.
Seksualitas manusia adalah hal yang sungguh kompleks, dan penyematan istilah-istilah tertentu merupakan alat yang digunakan manusia untuk memersepsikan realitas yang kompleks.
Akademisi dan pegiat isu gender dan seksualitas, Ayu R. Yolandasari, baru-baru ini memaparkan salah satu hasil surveinya yang menunjukkan bagaimana pemaknaan masyarakat terhadap gender masih mengandung bias-bias tertentu. Sebagai hasil konstruksi sosial, kata Ayu, tak ada hal yang salah maupun yang benar dalam gender.
“Dari pertanyaan ‘apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar kata perempuan?’, sebagian besar menjawab ‘dilindungi’. Padahal perempuan bisa melindungi dan dilindungi. Lalu pertanyaan mengenai identitas ibu, itu melekatnya di perempuan, sementara identitas ayah di laki-laki. Padahal kalau seseorang menjadi orang tua tunggal, dia harus jadi ibu sekaligus ayah,” kata Ayu dalam webinar ‘SOGIE-SC: Ragam Seksualitas Manusia, Minggu (6/9).
Identitas gender
Identitas gender adalah apa dan bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya, sebagai perempuan, laki-laki, atau yang lainnya. Identitas gender bersifat subjektif dan didasari pada perasaan yang sangat personal, tergantung penghayatan masing-masing individu. Oleh karena itu, ragamnya sangat banyak. Bisa puluhan bahkan ratusan.
Identitas gender seseorang bisa sama atau berbeda dengan gender yang ditetapkan untuknya saat dia lahir. Ketika identitas gender seseorang sama dengan gender/seks yang ditetapkan kepadanya sejak lahir, maka ia disebut sebagai cisgender. Sementara ketika identitas gender seseorang berbeda dengan gender/seks yang ditetapkan kepadanya saat lahir, maka ia disebut dengan transgender.
Ekspresi gender
Cara seseorang menampilkan identitas gender dirinya melalui penampilan fisik dan/atau perilaku saat berinteraksi dengan orang lain disebut dengan ekspresi gender. Seseorang dapat menampilkan dirinya sebagai feminin, maskulin, androgin (memiliki karakter feminin dan maskulin yang seimbang dalam waktu bersamaan), atau lainnya.
“Enggak ada pakemnya perempuan harus begini, laki-laki harus begitu. Realitas yang ada, kita punya seks dan gender yang konstelasinya sangat cair dan blur. Setiap orang juga punya sisi feminin dan sisi maskulin,” ujar Ayu.
Baca juga: Pengalaman Membesarkan Anak Gay dalam Paradigma Heteroseksual
Dalam Modul Pendidikan Dasar SOGIESC yang dikeluarkan oleh Arus Pelangi pada 2017, tertulis bahwa situasi penerimaan lingkungan, termasuk ketersediaan ruang aman dan nyaman, mempengaruhi keputusan seseorang untuk menampilkan dirinya. Namun, semakin banyak juga individu yang menggunakan ekspresi gender sebagai bentuk perlawanan.
Orientasi seksual
Orientasi seksual adalah ketertarikan manusia terhadap manusia lain yang melibatkan rasa emosi dan romantis, dan/atau seksual. Orientasi seksual bersifat sangat personal. Sejauh ini masyarakat belum banyak mengenal keragaman orientasi seksual selain heteroseksual. Situasi lingkungan, termasuk di antaranya ketersediaan ruang aman dan nyaman mempengaruhi pilihan seseorang untuk menyatakannya orientasi seksualnya atau tidak.
Ketertarikan secara seksual erat kaitannya dengan perilaku seksual. Perilaku seksual merupakan segala aktivitas manusia, baik sendiri maupun melibatkan orang lain yang didorong oleh hasrat seksual, yang umumnya dilakukan untuk mencapai kepuasan seksual. Bila dilakukan dengan orang lain, harus melalui kesepakatan yang dibuat secara sadar, sukarela dan tanpa paksaan.
Namun, kita tidak bisa mengidentifikasikan orientasi seksual seseorang sebatas dari dengan siapa dia berhubungan seksual. Ketertarikan seksual atau bagaimana seseorang ingin mengekspresikan hasrat seksualnya, bisa berbeda dengan orientasi seksual orang tersebut.
Misalnya, ada orang-orang yang memiliki orientasi seksual dan menikah secara heteroseksual, tapi memiliki hasrat seksual terhadap orang dengan seks/gender yang sama dengan dirinya. Ada juga mereka yang memiliki orientasi seksual sebagai homoseksual, namun memilih untuk menikah dan berhubungan seksual secara heteroseksual.
Kasus-kasus seperti ini memang banyak terjadi. Khususnya mereka yang mengidentifikasikan dirinya same sex, tapi berupaya menutupi orientasi seksualnya dengan cara berelasi atau bahkan melakukan aktivitas seksual dengan orang dari jenis kelamin berbeda.
Identitas gender dan orientasi seksual adalah dua hal yang berbeda, dan keduanya sangat subjektif tergantung pada penghayatan pribadi.
Seiring waktu, lahir pula istilah-istilah lain dalam pembahasan mengenai orientasi seksual manusia. Panseksual, misalnya, yaitu ketertarikan emosi, romantis, dan/atau seksual manusia terhadap manusia lain tanpa memandang gender atau seksnya. Kemudian ada aseksual, atau tidak adanya ketertarikan seksual seseorang pada manusia lainnya.
Mengenai hal ini, Ayu berpendapat bahwa seksualitas manusia adalah hal yang sungguh kompleks, dan penyematan istilah-istilah tertentu merupakan alat yang digunakan manusia untuk memersepsikan realitas yang kompleks.
“Realitas itu jauh lebih kompleks ketimbang kemampuan bahasa untuk menggambarkannya, karena realitas penghayatan manusia akan seksualitasnya itu jauh lebih kompleks daripada kemampuan bahasanya. Misalnya, enggak bisa dikatakan semua orang yang aseksual itu enggak tertarik sama apa-apa. Ada yang tetap butuh relasi emosional dengan orang lain,” ujar Ayu.
Apa orientasi seksual bisa berubah?
Ada sebagian kelompok di dunia psikologi yang masih bersikeras bahwa orientasi seksual ini bersifat biologis dan hormonal, sehingga tidak bisa berubah ataupun diubah. Tapi secara global, perdebatan ini sebenarnya sudah selesai dengan kesimpulan bahwa seksualitas terbentuk atas banyak faktor interaksi, baik itu biologis, psikologis, lingkungan sosial, dan sebagainya. Sehingga tidak bisa dikatakan bahwa orientasi seksual hanya dibentuk oleh faktor genetik ataupun pilihan seseorang.
Di masyarakat hari ini, ada banyak sekali stigma yang meliputi orang-orang dengan orientasi seksual selain heteroseksual. Salah satu yang paling banyak melekat adalah stigma bahwa orang-orang gay (laki-laki homoseksual) pasti pernah mengalami kekerasan di masa kecilnya, terutama kekerasan seksual. Namun tidak ada penyebab spesifik yang menyebabkan seseorang menjadi homoseksual, termasuk dinamika keluarga dan kekerasan seksual. Hal itu juga berlaku bagi orang-orang yang heteroseksual. Dia bisa menjadi seorang heteroseksual karena interaksi dengan berbagai faktor di hidupnya. Hanya saja, orang-orang heteroseksual memang tidak pernah coming out sebagai heteroseksual, kecuali ketika dia dituduh homoseksual.
Baca juga: Laki-laki Gay Jadi Bunglon Sosial Lewat Pernikahan Heteroseksual
“Yang jelas, perilaku seksual seseorang tidak bisa dijadikan indikasi orientasi seksual atau penghayatan gendernya berubah. Ada yang menikah (secara heteroseksual) karena terpaksa, dipaksa, eksperimen, transaksional, dan lain-lain,” ujar Ayu.
Bagaimana dengan orientasi seksual mereka yang transgender? Jawabannya, itu sangat beragam, karena identitas gender dan orientasi seksual adalah dua hal yang berbeda, dan keduanya sangat subjektif tergantung pada penghayatan pribadi.
Di Indonesia, ada beberapa upaya yang sering dilakukan banyak pihak dengan keyakinan itu bisa mengubah orientasi seksual seseorang. Ada banyak orang-orang homoseksual yang dipaksa untuk melihat foto telanjang, dinikahkan secara paksa, bahkan tindak kriminal corrective rape, atau pemerkosaan terencana yang dimaksudkan untuk “mengembalikan” orientasi seksual seseorang menjadi heteroseksual. Dalam beberapa kasus, upaya-upaya ini bahkan difasilitasi oleh keluarga sendiri.
Pertanyaannya, apakah orientasi seksual orang itu akhirnya berubah? Tidak. Apakah perilaku seksualnya berubah? Sebagian ya, sebagian tidak. Ada orang-orang tertentu yang jadi tidak mau berhubungan seksual karena trauma. Yang jelas, bahkan intervensi psikologis pun tidak terbukti berhasil mengubah orientasi seksual seseorang.