Dear Dosen se-Indonesia, Izinkan Mahasiswamu Turun ke Jalan
Jika tak memungkinkan, tetaplah pelihara kemarahan. Tak cuma untuk mengawal Pilkada tapi juga #PeringatanDarurat lainnya.
Ada pemandangan tak biasa dalam aksi massa di Jogja, (22/8) lalu. Sebagian demonstran membentangkan spanduk besar berkelir hitam, dengan tulisan “Bersama Rakyat, UGM Full Melawan”. Sebagai alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) di kampus yang sama, kami memang diajarkan bahwa demo jadi salah satu jalan menyampaikan aspirasi dan kritik pada pemerintah. Khususnya saat saluran politik konvensional lain cenderung mampat.
Namun yang tak saya duga, biasanya sejumlah mahasiswa mengendap-endap atau bolos kelas dosen demi ikut aksi. Kali ini pihak FISIPOL UGM justru secara resmi memberi izin kepada mahasiswa untuk turun ke jalan. Aksi itu bertujuan untuk mengecam pengesahan revisi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) yang abaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
“Ini tadi dema (dewan mahasiswa) kami izinkan untuk turun jalan,” kata Dekan FISIPOL UGM Wawan Mas’udi, dilansir dari CNN Indonesia.
Tak cuma FISIPOL, UGM juga merilis lima sikapnya terkait centang perenang politik belakangan. Dalam postingan di akun Instagram @ugm.yogyakarta disebutkan, dosen dan tenaga kependidikan UGM mengecam intervensi terhadap lembaga legislatif dan yudikatif untuk melanggengkan kekuasaan; menolak legitimasi praktik kekuasaan yang mendistorsi demokrasi dan kedaulatan rakyat; mendorong Pilkada yang bermartabat dan sesuai hukum; mendorong Komisi Pemilihan Umum untuk tetap menjaga marwahnya; dan terakhir mengajak seluruh rakyat tanpa kecuali terlibat dalam menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
Hasilnya, ribuan mahasiswa dan dosen UGM berpakaian hitam-hitam bergabung dengan massa aksi lain di Jogja. Tak cukup di situ, pada (26/8), mahasiswa dan dosen kembali menggelar aksi menyalakan lilin di bawah Pohon Bodhi, kompleks Balairung UGM, sebagai bentuk keprihatinan atas kondisi darurat demokrasi Indonesia. Mereka hadir dari fakultas berbeda-beda, dari FMIPA, Psikologi, hingga Hukum.
Di Jakarta, aksi di depan Gedung DPR/ MPR RI pada (22/8) juga ikut digerakkan oleh mahasiswa. Berdasarkan pantauan jurnalis Magdalene, ribuan mahasiswa yang mengenakan jas almamater, berorasi, membentangkan spanduk dan poster berisi kritik pada DPR dan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Aksi demo berlangsung dari pagi hingga malam hari. Bahkan keesokan harinya, (23/8), demonstran mahasiswa juga memadati kembali area Gedung Parlemen.
Di kota-kota lain pun tak jauh berbeda. Di Bandung, menurut pantauan Detik, mahasiswa bersama dengan Aksi Kamisan Bandung, dan Front Rakyat Melawan menggelar demo bertajuk “Rakyat Gugat Negara” di depan Gedung DPRD Jawa Barat, Jalan Diponegoro, Kota Bandung. Salah satu yang mereka suarakan adalah pembatalan revisi UU Pilkada.
Di Semarang, aksi massa dilakukan di depan kantor DPRD Jawa Tengah, Jalan Pahlawan. Di Makassar, demo digelar di Jalan AP Pettarani, Makassar, (22/8). Demikian pula di Jember, Surabaya, Pontianak, Samarinda, Tarakan, Banjarmasin, Aceh, Medan, Palembang, Ambon, Manokwari, Jayapura, dan masih banyak lagi. Semua aksi ini mayoritas dimotori oleh mahasiswa dari berbagai kampus.
Meski partisipasi mahasiswa relatif banyak, tapi masih saja dijumpai pihak kampus yang diduga melarang sivitas akademika turun ke jalan. Kompas memberitakan, mahasiswa yang ingin bergabung dalam Aliansi Lampung Menggugat (ALM) diintimidasi oleh pihak kampus. Mahasiswa yang enggan disebutkan namanya menerangkan, ada ancaman yang tersebar di grup Whatssap mahasiswa pada 19-20 Agustus 2024.
Isinya, jika mahasiswa di sebuah kampus Lampung nekat ikut demo menentang revisi UU Pilkada, maka bakal menerima Surat Peringatan (SP). “Untuk jadi perhatian… mahasiswa jurusan teknik elektro… TIDAK boleh ada yang ikut demo besok sore ya… kalau ternyata ada yang ikut… kepala jurusan akan mengeluarkan SP1 untuk kalian.”
Nyatanya ancaman senada juga dikeluarkan dari beberapa kampus negeri di Lampung. Ancamannya mulai dari Sp1 sampai tak diluluskan mata kuliah. Tapi toh, para mahasiswa ini nekat turun ke jalan dan tak mengindahkan seruan intimidatif tersebut. Buntut ancaman ini sendiri, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) tengah menelusuri lebih lanjut dan mengumpulkan informasi.
Baca Juga: Membaca Tren Pemakaian Humor dalam Poster Demonstrasi Mahasiswa
Pentingnya Mahasiswa Terlibat
Saat banyak mahasiswa yang turun ke jalan, saya menemukan sejumlah sinisme dari publik. Ada yang menyebut mahasiswa yang turun karena sekadar ikut-ikutan (FOMO). Ada pula yang mewaspadai gerakan mahasiswa ini sekadar aksi yang gampang ditunggangi, elitis, bahkan digembosi di kemudian hari. Namun, membaca komentar akademisi Intan Paramadhita terhadap artikel “Darurat Aktivisme Borjuis” di Project Multatuli—belakangan PM juga telah merilis tanggapan—saya menyadari meski tak ideal, partisipasi mahasiswa di jalan tetap kita butuhkan.
Intan mengutip konsep emergency activism dari aktivis perempuan dan akademisi Melani Budianta yang ditulisnya pada 2003. “Setiap kali turun ke jalan, aksi kita selalu berbentuk emergency activism, yakni aktivisme yang sifatnya merespons kondisi darurat (karena situasi darurat tak masuk akal memang, memang jadi alat negara untuk melemahkan kita,” ungkap Intan di Instagram.
Meski emergency activism tak cukup, tapi ia punya fungsinya sendiri, kata Intan menirukan pernyataan Melani. Di antaranya adalah sebagai pertemuan warga, tempat belajar bahwa kamu tak sendiri tapi bersama gerakan lain, baik buruh, perempuan, serikat pekerja, atau mahasiswa. Tempat marah dan berbagi kepedulian bersama.
Saya sepakat. Dalam penelitian Amalinda Savirani, Dosen FISIPOL UGM, partisipasi mahasiswa dalam aksi massa bahkan punya landasan yang lebih prinsipil lagi. Hasil surveinya pada 169 mahasiswa dalam Gejayan Memanggil yang diikuti lebih dari 5.000 mahasiswa pada 2019 menemukan, dorongan utama keterlibatan mahasiswa dalam aksi jalanan karena mereka yakin merupakan agen perubahan dan bagian dari kekuatan moral, bukan gerakan politik yang dirancang secara sistematis.
Jadi, meskipun di kampus ada mata kuliah yang mendorong suburnya aktivisme, seperti gerakan sosial, kajian perdamaian dan konflik, tapi motivasi itu lahir justru karena kesadaran politik mahasiswa. Para mahasiswa ini memposisikan dirinya sebagai warga negara yang mempunyai hak untuk menyampaikan pendapatnya melalui gerakan kolektif, kata Amalinda dalam risetnya.
Menariknya, motivasi ini telah terbukti berdampak untuk merongrong upaya pembegalan terhadap demokrasi dari Orde Lama hingga hari ini. Meski tak selalu ideal dan ada ketimpangan pemahaman di antara massa aksi, tapi partisipasi mahasiswa dalam demonstrasi patut kita apresiasi. Sebab, setidaknya mereka meruntuhkan anggapan bahwa mahasiswa sebagai bagian dari elit yang terbatas—cuma 6,52 persen dari total penduduk Indonesia—masih punya kesadaran politik yang baik. Mereka tak diam dan ikut bersuara dengan jalan masing-masing, baik berisik di media sosial atau turun ke jalan.
Terkait keikutsertaan mahasiswa dalam memprotes pemerintah, Kompas pernah menyusun catatan. Media ini menyebutkan contoh-contoh demo mahasiswa yang berubah eskalasinya jadi membesar, menular, bahkan tak sekadar mengubah atau melahirkan kebijakan tapi juga mampu menurunkan pemerintahan otoriter.
Sebut saja demo Tritura (perombakan Kabinet Dwikora, penurunan harga, dan pembubaran Partai Komunis Indonesia) pada 10 Januari 1966. Demo 15 Januari 1974 (Malari) yang dikomandoi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia (UI), Hariman Siregar karena ketidakpuasan masyarakat terhadap korupsi, harga-harga yang naik, dan kebijakan investasi luar negeri. Lalu tentu saja, demo Reformasi pada 19 dan 20 Mei 1998 di mana mahasiswa dan publik berhasil menduduki Gedung DPR/ MPR RI hingga Presiden Soeharto turun.
Yang terbaru di era pasca-Reformasi, demo mahasiswa juga terjadi beberapa kali. Aksi #ReformasiDikorupsi pada 23 September 2019 misalnya. Mahasiswa ramai-ramai membawa tujuh tuntutan utama, meliputi: Desakan untuk mencabut dan kaji ulang RKUHP, RUU Pertambangan Minerba, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Ketenagakerjaan, dan RUU SDA; Terbitkan Perppu KPK; Sahkan RUU PKS dan PRT; Batalkan Pimpinan KPK bermasalah pilihan DPR; Tolak TNI-Polri menempati jabatan sipil; Stop militerisme di Papua dan daerah lain, bebaskan tahanan politik Papua segera, serta membuka akses jurnalis di tanah Papua; Hentikan kriminalisasi aktivis dan jurnalis; Hentikan pembakaran hutan di Indonesia yang dilakukan oleh korporasi dan pidanakan korporasi pembakaran hutan serta cabut izinnya; Tuntaskan pelanggaran HAM dan adili penjahat HAM termasuk yang duduk di lingkaran kekuasaan, pulihkan hak-hak korban segera.
Lalu di 7 Oktober 2020, ribuan massa mahasiswa, buruh, bahkan siswa SMK berdemo untuk memprotes pembahasan RUU Cipta Kerja. Menurut pantauan Kompas, demonstrasi dilaksanakan di sejumlah titik di Indonesia, antara lain Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Banten, Jawa Tengah, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi Tenggara.
Ibu/ Bapak Dosen, Please Educate Your Self!
Karena sebab-sebab inilah, sebagai jurnalis yang tipis-tipis juga mengajar mahasiswa di kampus, saya ingin mengajak kawan dosen untuk mengedukasi diri dan anak didiknya. Bahwa suara kalian berarti dan akan berdampak suatu hari. Kemenangan kecil kita atas #KawalPutusanMK salah satunya. Jika mahasiswa tak ikut turun, bisa jadi tekanan kepada pemerintah legislatif, eksekutif, dan yudikatif tak sekencang sekarang. Bisa jadi mereka akan santai saja menjebol konstitusi dengan mengesahkan revisi UU Pilkada. Bisa jadi pula Peraturan KPU yang baru, tak mengakomodasi dua putusan MK Nomor 60 dan 70 Tahun 2024.
Richo Andi Wibowo, Dosen Hukum UGM bersama Constitutional and Administrative Law Society (CALS) angkat suara terkait ini. Dalam video yang diunggah di Youtube, (26/8) ia mengimbau kawan-kawan dosen untuk memberi kelonggaran kepada mahasiswanya agar bisa terlibat turun ke jalan, alih-alih tak meluluskan atau mencatat ketidakhadirannya di kelas.
Ada empat alasan, kenapa seluruh kawan dosen perlu melakukannya. Pertama, kualitas demokrasi sudah jatuh terperosok amat dalam. Sehingga, kita tak boleh izinkan elit politik yang haus kekuasaan untuk sewenang-wenang. Kedua, seluruh masyarakat akan terdampak pada ulah elit yang mempermainkan hukum dan kekuasaan dalam setiap lini kehidupan. Ketiga, dalam Pasal 8 ayat (1) UU Pendidikan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 dijelaskan, sivitas akademika punya kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan. Sehingga, dosen punya kelonggaran untuk memberi kompensasi nilai kepada mahasiswa yang turun ke jalan.
Baca Juga: Muak dan Marah, Mereka Turun ke Jalan: Esai Foto
Keempat, ia mengajak dosen untuk membayangkan mahasiswa sedang memenuhi panggilan Ibu Pertiwi. “Anggaplah mahasiswa kita sedang KKN atau menginterpretasi ulang MBKM atau Merdeka Belajar Kampus Merdeka dengan jalan yang lebih progresif,” ucapnya.
Jika memang turun ke jalan tak memungkinkan dilakukan, setidaknya ikutlah marah dan ajak mahasiswamu marah. Gunakan media sosial sebagai toa pengeras untuk meluapkan amarah itu. Jika mau terlibat, setidaknya kamu telah menunjukkan bahwa kita tak sendirian dalam perjuangan panjang melawan kesewenang-wenangan.