Masuk Surga
Bagaimana kalau "surga" itu sebenarnya adalah sebuah konsep untuk berbahagia di kehidupan yang ada, bukan sekadar destinasi setelah kehidupan?
Sebenarnya sampai sekarang saya masih bingung kenapa banyak orang-orang yang ingin sekali masuk surga.
Ada apa sih di surga memangnya?
Kalau berdasarkan cerita-cerita konvensional tentang surga, dikatakan itu adalah tempat di mana orang-orang baik (menurut standar agama masing-masing) akan berkumpul. Di mana hanya ada kebahagiaan abadi, tidak ada lagi rasa sakit ataupun penderitaan. Semuanya hidup berbahagia. Abadi.
Deskripsi surga itu, yang membuat begitu banyak orang berlomba-lomba untuk mendapatkannya dan yang menjadi jualan nomor satu agama-agama konvensional, justru terdengar sangat menakutkan buat saya. Hidup abadi. Berbahagia terus untuk selama-lamanya. Selama-lamanya dari yang paling lama. Tidakkah itu terdengar sangat menakutkan? Terus ada, sama, tidak berubah, dan untuk selama-lamanya.
Ok, kalau dibandingkan dengan neraka yang penghuninya akan dipotong lidah atau direbus atau digantung terbalik, dipanggang di api neraka selama-lamanya, deskripsi kehidupan di surga itu terdengar sangat menyenangkan dan baik. Akan tetapi, kalau saya bisa memilih, saya lebih menyukai kehidupan saya di dunia ini.
Sempat ada salah satu deskripsi tentang surga yang saya dengar, yaitu bahwa nanti semua jalanan di surga akan terbuat dari emas. Alih-alih merasa takjub dan semakin berhasrat masuk surga, saya malah berpikir, bukannya itu berarti emas menjadi tidak ada artinya di surga sana? Kita sekarang ini menganggap emas sebagai barang yang luar biasa kan karena keistimewaannya, harganya yang mahal dan pengorbanan yang diperlukan untuk seseorang untuk memiliki emas. Kalau di surga nanti emas bisa diinjak-injak layaknya aspal, ya apa artinya?
Apa artinya menjadi bahagia kalau kita tidak punya pembanding dengan penderitaan? Maksudnya, menjadi bahagia itu berharga karena kita tahu apa rasanya merasa sedih, kan? Orang menginginkan menjadi bahagia karena mereka tahu rasanya tersakiti. Kalau bahagia itu menjadi suatu kenormalan, apa istimewanya kan?
Makanya saya sering mengernyitkan kening setiap mendengar orang mengatakan, “hidup di dunia hanya sementara, yang penting nanti hidup di akhirat.”
Tapi pak, “kehidupan sementara” ini lah yang kita punya sekarang. Se-sementara-sementaranya kehidupan di dunia ini, tetaplah masih cukup panjang untuk berbuat banyak hal. Baik dan buruk. Lagi pula, rata-rata hidup manusia sekarang adalah 70 tahun. Tujuh puluh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Saya nunggu iklan YouTube 20 detik saja sudah tidak sabar.
Terlalu sayang bila kehidupan di dunia ini dikecilkan artinya hanya karena keberadaan surga itu.
Lagipula, untuk saya pribadi, jika bisa memilih, saya lebih memilih untuk berbahagia di dunia ini. Kehidupan saya sekarang ini memang jauh dari sempurna (lagipula, hidup yang sempurna itu yang seperti apa juga?) tapi saya bisa bilang bahwa saya bahagia dengan hidup saya.
Walaupun kerja capek dari Bintaro ke Jakarta dari Senin sampai Jumat (kadang-kadang akhir pekan masih masuk juga), walaupun pusing memikirkan bagaimana dapat uang untuk bisa renovasi dapur, walaupun lelaki yang saya sayang meninggalkan saya buat perempuan lain (#eeaa), tapi kesulitan-kesulitan seperti itu yang membuat saya bisa menikmati kebahagiaan saat kebahagiaan itu datang.
Jadi saat saya punya uang untuk liburan setelah penat bekerja, saat saya dapat arisan dengan jumlah yang cukup untuk renovasi dapur, saat saya dipertemukan dengan lelaki yang bisa melihat betapa istimewanya saya, kebahagiaan itu akan terasa sangat berharga, karena saya tahu kebahagiaan itu tidak semudah itu untuk diperoleh.
Ya, saya tidak punya kapasitas untuk mengatakan mereka yang hidupnya dipakai untuk mengejar surga itu salah. Ada juga orang-orang yang berfokus pada surga dan itu justru menjadikan mereka memiliki hidup yang baik. Tidak banyak, tapi ada.
Hanya saja saya selalu merasa bahwa surga itu sebenarnya adalah sebuah konsep. Sebuah konsep untuk menjadi bahagia di kehidupan yang telah diberikan oleh Sang Maha. Tentang bagaimana manusia seharusnya bisa menemukan dan menciptakan surga mereka masing-masing tanpa harus menciptakan neraka bagi manusia lainnya. Atau mungkin lebih baik lagi, membantu orang lain untuk keluar dari neraka mereka dan membangun surga milik mereka.
Mungkin surga itu hanyalah sekadar berbuat baik kepada orang lain dan diri sendiri. Mungkin.
Inge Agustin adalah seorang karyawan swasta di sebuah kantor hukum di Jakarta. Dianggap aneh karena mengidolakan Eminem dan Big Bang. Bisa di-mention–mention di @inge_august.