Media dan Pemerintah Lawan Hoaks Lewat Jurnalisme Data
Sebuah laman baru memberikan akses terhadap data pemerintahan dan sarana pembelajaran jurnalisme data bagi wartawan.
Hoaks atau berita bohong saat ini telah menjadi masalah besar. Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menunjukkan ada lebih dari 800.000 situs yang terindikasi menyebarkan berita dan informasi palsu. Sementara itu, Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) mengungkapkan, ada peningkatan distribusi hoaks secara drastis, dari rata-rata 10 hoaks per bulan pada 2015 menjadi 94 hoaks per bulan atau sekitar tiga hoaks per hari.
Adanya krisis disinformasi seperti ini mendorong Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia untuk mengatasi masalah hoaks ini dengan menginisiasi Jurnalismedata.id, sebuah laman berisikan semua data pemerintahan dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) penyedia data terbuka. Laman ini adalah hasil kerja sama dengan Satu Data Indonesia, portal resmi data terbuka Indonesia yang berisi data lintas kementerian, lembaga pemerintahan, pemerintahan daerah, dan semua instansi lain yang terkait yang menghasilkan data tentang Indonesia.
“Pemerintah itu sebenarnya sudah terbuka dengan data-datanya. Mereka sudah transparan tapi datanya masih tersebar. Karena itu, tidak semua orang menyadari bahwa mereka bisa mengakses data ini,” ujar Revolusi Riza, Sekretaris Jenderal AJI pada acara peluncuran Jurnalismedata.id di Jakarta (4/1).
Pengumpulan data-data pemerintahan dalam satu wadah ini diharapkan dapat mempermudah publik dalam membantu melawan keberadaan disinformasi atau berita palsu, ujar Revolusi.
Yanuar Nugroho, Deputi II Kepala Staf Kepresidenan mengatakan, laman ini juga bertujuan membantu publik untuk ikut mengawasi pemerintahan lewat jurnalisme yang berbasis data.
“Sebetulnya, pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi penyebaran hoaks yang merajalela di internet dan media sosial. Namun, upaya pemerintah dalam mengimplementasikan keterbukaan di pemerintahan tidak cukup,” ujarnya.
Terkait kekhawatiran publik mengenai privasi mereka terkait keterbukaan data pemerintah lewat jurnalismedata.id, Yanuar mengatakan pemerintah telah menetapkan batasan-batasan.
“Jika kita membahas keterbukaan data, perlindungan data juga pasti dibahas. Nama, alamat dan data personal lainnya tidak mungkin dibuka untuk publik,” ujarnya.
Selain membantu akses publik terhadap data pemerintahan, para penggagas
Jurnalismedata.id ingin melawan hoaks dengan cara meningkatkan kualitas jurnalisme di Indonesia. Laman ini memberikan sarana pembelajaran gratis bagi jurnalis yang ingin mendalami model jurnalisme data lewat kursus daring gratis, aneka perangkat (tools) terkait, serta seminar daring atau webinar.
“Data driven journalism berbeda dengan metode jurnalisme yang konvensional. Informasi yang digunakan tidak lagi dari wawancara, mengambil dari artikel yang pernah diliput sebelumnya atau melihat sendiri kejadiannya,” ujar Wahyu Dhyatmika, Pemimpin Redaksi Tempo.co sekaligus Sekretaris Jenderal Asosiasi Media Siber Indonesia.
“Jurnalisme data menuntut wartawan untuk memahami bagaimana mengolah data menjadi narasi atau cerita. Metode jurnalisme seperti ini akan membantu kualitas liputan dan akurasinya untuk lebih baik lagi,” tambahnya.
Salah satu tantangan utama yang harus dihadapi jurnalisme data adalah bagaimana membuat publik lebih tertarik untuk membaca beritanya daripada hoaks yang lebih mudah dicerna. Dalam hal ini, Aghnia Adzkia, jurnalis data Beritagar.id mengatakan bahwa jurnalisme data bukan berarti harus membosankan.
“Padahal soft news juga bisa ditulis berdasarkan data, loh. Saya pernah kok membuat sebuah artikel tentang karakter-karakter pasangan dalam film Indonesia, yakni Dilan dan Milea, Rangga dan Cinta, dan Galih dan Ratna. Saya bandingkan siapa yang paling sering merayu di dalam film-film tersebut,” ujar Aghnia dalam diskusi di acara peluncuran.
“Artikel berdasarkan data tidak selalu harus angka yang keras dan terlalu serius, artikel ‘receh’ pun bisa berdasarkan data.”
Wahyu menambahkan, model jurnalisme data memunculkan tantangan baru bagi perusahaan media dalam merekrut sumber daya manusia.
“Media sangat bisa berkontribusi, terutama di dalam standar recruitment. Prioritaskan jurnalis yang tidak hanya kritis di lapangan, tetapi yang juga paham cara mengolah data dan menganalisis,” ujarnya.
“Kita juga harus membiasakan publik untuk menerima informasi yang bersifat lebih kompleks dari yang biasa mereka cerna setiap hari. Seperti yang dikatakan Aghnia, itulah salah satu alasan mengapa hoaks lebih gampang diterima dan menyebar di media sosial,” lanjutnya.
Baca juga salah kaprah politikus Indonesia dalam memahami Milenial.