Memaksa Laki-laki Cegah Kematian Ibu dan Bayi Baru Lahir
Program-program kesehatan ibu selama terlalu berfokus pada peran perempuan dan kurang melibatkan kaum lelaki.
Kematian ibu dan bayi merupakan dua masalah besar kesehatan di Indonesia meskipun berbagai upaya telah dilakukan, termasuk meningkatkan anggaran, u ntuk menurunkan angka kematian yang sebenarnya bisa dicegah.
Cakupan persalinan yang ditolong oleh petugas kesehatan di Indonesia telah menjangkau lebih dari 80 persen penduduk (SDKI 2012). Namun Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia ini menunjukkan kenaikan angka kematian ibu dalam beberapa tahun terakhir.
Angka kematian ibu meningkat dari 228 per 100.000 kelahiran hidup pada 2007 menjadi 359 per 100.000 pada 2012 (SDKI 2012), dan 305 per 100.000 pada 2015 (sensus penduduk 2015). Hal ini menunjukkan bahwa capaian Millennium Development Goals (MDGs) untuk menurunkan kematian ibu pada 2015 masih jauh dari target, yang telah ditetapkan 102 per 100.000.
Di sisi lain, penurunan angka kematian bayi baru lahir menunjukkan stagnasi dalam sembilan tahun terakhir, yaitu 20 per 1.000 pada 2003 dan hanya menurun menjadi 19 per 1.000 pada 2012.
Fakta ini mendorong kami mengkaji lebih dalam mengenai faktor-faktor penyebab kematian ibu dan bayi baru lahir, serta upaya peningkatan kesehatan ibu dan bayi baru.
Dalam pertemuan Evidence Summit untuk mengurangi kematian ibu dan bayi baru lahir pada Maret lalu, tercetus banyak ide tentang strategi menurunkan kematian ibu dan bayi baru lahir di Indonesia, dalam konteks kesetaraan gender. Misalnya ada usulan agar pendidikan tentang kesetaraan gender dan hak reproduksi harus dilaksanakan sejak usia dini dalam keluarga, dan masuk dalam kurikulum pendidikan formal. Usulan lainnya memberdayakan perempuan melalui dukungan sosial, jaringan, pembelajaran, dan aksi partisipatif masyarakat serta meningkatkan keterlibatan suami.
Program yang terlalu feminin
Menilik program-program kesehatan ibu selama ini agaknya terkesan terlalu “feminin”, terlalu berfokus pada peran perempuan dan kurang melibatkan kaum lelaki. Sudah saatnya, program maternal and child healthlebih melibatkan suami atau laki-laki dalam setiap upaya promosi dan edukasi tentang kesehatan ibu dan bayinya.
Hal ini bahkan termasuk yang direkomendasikan kuat oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). Sejumlah studi mendukung keberhasilan promosi kesehatan ibu dan bayi dengan lebih melibatkan peran suami.
Studi lain juga menyebutkan pengetahuan, sikap, dan perilaku suami secara signifikan mempengaruhi kesehatan istri mereka. Kemampuan perempuan untuk dapat memutuskan hal yang berkaitan dengan hak reproduksi sangat dipengaruhi oleh sikap suami dan keluarga mereka.
Sayangnya, suami kurang memperhatikan atau tidak sadar akan kehamilan berisiko tinggi yang harus dihadapi istri mereka. Ini berakibat pada penundaan keputusan dalam situasi darurat bila istrinya mengalami komplikasi kehamilan. Pembatasan pada otoritas perempuan dalam pengambilan keputusan hak reproduksinya akan menghalangi kesempatan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan ibu yang sesuai. Hal ini akan berimplikasi pada tingginya risiko kematian ibu dan bayi.
Perempuan di beberapa daerah bertanggung jawab atas beban kerja yang berat bahkan ketika mereka hamil. Sering dijumpai di masyarakat, seorang ibu dalam periode pasca persalinan tidak mempunyai waktu cuti bersalin yang memadai dan sudah mulai bekerja. Bayi mereka dirawat oleh anggota keluarga lain atau bahkan oleh tetangga, yang belum tentu mempunyai perhatian yang sama. Belum lagi kecukupan air susu ibu (ASI) eksklusif dalam enam bulan.
Penelitian di beberapa negara berkembang di Asia dan Afrika tentang cuti bersalin tanpa memotong penghasilan ibu, melaporkan bahwa penurunan angka kematian bayi sebesar 13 persen terjadi pada setiap perpanjangan satu bulan dari masa cuti bersalin.
Mengurangi ketidaksetaraan gender dapat dilakukan melalui inisiatif pendidikan dan pekerjaan, termasuk memperpanjang cuti bersalin sampai enam bulan. Sangat penting memberi kesempatan ibu untuk pulih, memberi waktu yang cukup untuk menyusui eksklusif, dan merawat bayinya. Hal tersebut tidak bisa hanya dibebankan kepada ibu sendiri, pada masa-masa ini keterlibatan suami justru sangat diperlukan. Bahkan di beberapa negara maju, ada kebijakan memberi kesempatan ayah untuk cuti tanpa memotong haknya sebagai pekerja.
Beberapa literatur yang mengkaji secara sistematis tentang peran suami dalam meningkatkan kesehatan ibu merekomendasikan bahwa keterlibatan para suami secara bermakna menurunkan depresi pasca persalinan dan meningkatkan utilisasi pelayanan kesehatan ibu. Keterlibatan laki-laki ini juga terbukti lebih bermanfaat pada masa kehamilan dan pasca persalinan dibandingkan keterlibatan mereka saat persalinan.
Dampak patriarki
Ketidaksetaraan gender dalam kesehatan terjadi ketika ada pembatasan otonomi perempuan dalam pengambilan keputusan, yang mempengaruhi akses mereka terhadap layanan kesehatan. Keputusan tentang hak reproduksinya sendiri, seperti menggunakan kontrasepsi atau menentukan untuk menunda punya anak lagi, masih didominasi para suami, sekali pun istri yang bakal menderita segala risiko komplikasi.
Sistem patriarki membuat perempuan tidak berdaya untuk memutuskan apa yang terbaik untuk kesehatan mereka, bahkan mungkin bakal merugikan kesehatan mereka. Perempuan didorong untuk menerima tanggung jawab utama untuk ikut keluarga berencana (KB) sebagai “kewajiban” dan bukan sebagai hak fundamental mereka.
Ada keyakinan budaya yang bias gender yang berdampak pada kesehatan ibu hamil, seperti mitos tentang larangan mengonsumsi makanan tertentu (padahal mengandung protein tinggi). Dalam keluarga, seorang ibu hamil lebih mengutamakan kecukupan makanan untuk kepala keluarga dan anak-anaknya, dibandingkan untuk dirinya sendiri. Ibu kadang rela makan seadanya saja, padahal kecukupan gizi ibu hamil sangat diperlukan untuk dirinya dan bayi dalam rahimnya.
Lain lagi kesulitan yang dihadapi kehamilan remaja yang tanpa suami (unwanted pregnancy). Karena malu, atau takut dikucilkan keluarga, mereka berusaha menyembunyikan kehamilannya dan tidak memeriksakan kehamilannya, sehingga tidak ada informasi tentang risiko kehamilan yang dihadapi.
Singkatnya, para perempuan yang tidak menikah ini tercerabut dari sistem pelayanan kesehatan dan tidak terdata, karena mereka tidak mendatangi pemeriksaan antenatal, dan bahkan mungkin persalinannya tidak di fasilitas kesehatan atau memilih menggugurkan kandungannya dengan bantuan dukun. Dalam banyak literatur dilaporkan tingginya kematian ibu dengan tindakan aborsi yang tidak aman.
Masyarakat dan pemerintah harus memperjuangkan regulasi yang lebih sensitif gender, memperluas akses pendidikan bagi perempuan, dan memberdayakan perempuan dalam strata sosial masyarakat. Budaya dan tradisi dalam masyarakat yang jelas merugikan kesehatan perempuan dan anak (misalnya pernikahan usia dini), tidak akan dapat diselesaikan tanpa intervensi regulasi yang sensitif gender. Hal ini penting, karena menyangkut persoalan kesehatan ibu.
Persoalan kesehatan ibu, bukan sekadar bagaimana ibu dan bayi dapat lahir selamat. Lebih dari itu, bagaimana kita mempersiapkan “pemimpin”, karena setiap bayi yang lahir akan menjadi pemimpin, minimal untuk keluarganya, bahkan kelak untuk negaranya. Bagaimana mereka dipersiapkan sejak dalam rahim, akan menentukan bagaimana negara ini kelak. Sudah saatnya “memaksa” suami dan laki-laki untuk lebih banyak terlibat menurunkan angka kematian ibu dan bayi yang baru lahir.
Maisuri T. Chalid adalah dokter dan dosen di Departemen Obstetri Ginekologi, Universitas Hasanuddin.
Artikel ini pertama kali diterbitkan oleh The Conversation, sumber berita dan analisis yang independen dari akademisi dan komunitas peneliti yang disalurkan langsung pada masyarakat.