Memimpikan Dunia Kerja di Indonesia yang Bebas Pelecehan Seksual
Inisiatif Never Okay Project merangkul berbagai pemangku kepentingan untuk berpartisipasi dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi semua pekerja.
Masih segar di ingatan kita perjuangan Baiq Nuril Maknun yang dikriminalisasi karena pelecehan seksual yang dilakukan atasannya. Selain itu, ada RA, korban kekerasan seksual yang dilakukan mantan atasannya di kantor BPJS Ketenagakerjaan, dengan proses hukum yang sudah berjalan delapan bulan.
Bila kita memasukkan kata-kata kunci “Pelecehan Seksual Magang” di mesin pencari Google, sederet kasus serupa muncul. Dari siswi yang menjadi korban pelecehan saat magang di Dinas Pariwisata Jakarta, karyawan minimarket di Malang yang sudah dilecehkan secara seksual di hari pertama dia magang, hingga wartawan magang sebuah media massa terkemuka di Jawa Timur yang dilecehkan oleh redaktur senior.
Berbagai kejadian tersebut menunjukkan bagaimana dunia kerja di Indonesia masih kental diwarnai pelecehan seksual, dan hal ini dapat memengaruhi produktivitas karyawan. Padahal Presiden Joko Widodo telah menjadikan isu pembangunan nasional sebagai arah pembangunan nasional.
Ada tiga tantangan utama pembangunan nasional yang berfokus pada pembangunan manusia, yaitu daya saing sumber daya manusia dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara; masih banyaknya, atau lebih dari separuh, pekerja Indonesia yang bekerja di sektor informal dengan produktivitas rendah; dan rendahnya akses kelompok rentan (seperti perempuan, orang-orang dengan disabilitas, penduduk di daerah tertinggal untuk mendapatkan kesempatan kerja yang berkualitas).
Isu pelecehan seksual di tempat kerja sangat terkait dengan permasalahan yang disebutkan di atas serta solusi untuk meningkatkan pembangunan manusia dan akses terhadap kerja yang layak. Pertama, pelecehan seksual di tempat kerja merusak lingkungan atau iklim kerja yang seharusnya inklusif. Pelecehan seksual di tempat kerja terdiri dari dua komponen, yaitu quid pro quo atau meminta layanan seksual kepada korban dengan imbalan promosi atau mempertahankan pekerjaan korban; dan u lingkungan kerja yang bernuansa permusuhan.
Kasus pelecehan seksual di tempat kerja juga sangat terkait dengan praktik diskriminasi. Riset membuktikan bahwa korban pelecehan seksual mayoritas merupakan perempuan, muda, tidak memiliki pasangan, memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan memiliki posisi rendah dalam organisasi. Sementara pelakunya merupakan laki-laki yang memiliki kuasa atau posisi lebih tinggi daripada korban.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) pun mengakui diskriminasi dan kekerasan terhadap orang dari berbagai orientasi seksual dan gender merupakan masalah yang serius di seluruh dunia. Banyak individu maupun kelompok LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transeksual, queer) menghadapi diskriminasi dalam dunia kerja karena prasangka dan cara mereka berperilaku yang dikaitkan dengan orientasi seksual atau gendernya.
Dengan demikian, jika inklusi adalah proses untuk membuat semua individu dan kelompok dapat mengambil peran dalam masyarakat dan menikmati hak-hak mereka secara utuh, maka pelecehan seksual justru melukai upaya menciptakan iklim usaha dan ketenagakerjaan yang inklusif.
Langkah Kecil NOP untuk Dunia Kerja Inklusif
Never Okay Project (NOP) adalah inisiatif sosial berbasis teknologi pertama di Indonesia untuk melawan pelecehan seksual di tempat kerja, memiliki misi merangkul berbagai pemangku kepentingan dalam berpartisipasi menciptakan keamanan dan kenyamanan bagi semua pekerja.
Dimulai dari menjadi wadah menampung cerita tentang pelecehan seksual di dunia kerja melalui neverokayproject.org, kini NOP
mulai mengembangkan program untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan seputar isu pelecehan seksual di tempat kerja. Rangkaian lokakarya, diskusi, maupun seminar menjadi agenda kerja utama NOP untuk menjangkau lebih banyak orang.
Sosialisasi ini tidak hanya dilakukan di perusahaan, tapi juga menyasar para mahasiswa yang akan menghadapi masa magang. Seperti halnya kebanyakan perusahaan yang tidak memiliki aturan jelas dalam menyelesaikan kasus pelecehan seksual, institusi pendidikan kerap gagap menghadapi mahasiswa magang yang dilecehkan. Hingga saat ini, sudah ada 1.294 penerima manfaat atas sosialisasi yang dilakukan NOP.
Untuk menggali lebih lanjut tentang prevalensi kasus pelecehan seksual di tempat kerja, pada bulan November-Desember 2018, NOP melakukan riset daring yang diikuti oleh 1.240 responden dari 34 provinsi Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa 94 persen responden pernah mengalami pelecehan seksual di tempat kerja.
NOP pun secara rutin menggelar penelitian bertema senada kepada mitra-mitra perusahaan maupun organisasi. Pada dasarnya setiap organisasi maupun perusahaan memiliki kultur yang berbeda-beda. Sehingga mengetahui prevalensi pelecehan seksual dalam suatu institusi merupakan langkah awal mengidentifikasi solusi yang tepat sasaran untuk menciptakan panduan yang sesuai kultur kerja yang bersangkutan.
Tepat 21 Juni 2019 lalu, ILO menerbitkan Konvensi Nomor 190 Tahun 2019 (KILO 190) tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Konvensi ini memuat berbagai ketentuan antara lain mengakui hak setiap orang, tanpa pandang bulu, atas dunia kerja yang bebas dari kekerasan dan pelecehan, termasuk yang berbasis gender. KILO 190 juga mencakup keselamatan dan keamanan para calon pekerja yang selama ini belum terakomodasi dengan cukup baik.
KILO 190 menjadi buah manis hasil perjuangan panjang serikat pekerja dan organisasi masyarakat, termasuk NOP, dalam menuntut hak atas rasa aman dan nyaman di tempat kerja. NOP mendesak pemerintah agar meratifikasi KILO 190 dan rekomendasinya sekaligus mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) karena keduanya saling melengkapi. NOP juga menuntut pemerintah mengeluarkan hukum atau aturan mengikat bagi pelaku dunia usaha dan organisasi pemberi kerja untuk menciptakan sistem pencegahan, respons dan tindak lanjut pelecehan seksual di tempat kerja, disertai dengan sanksi.
Meskipun pemerintah belum meratifikasi KILO 190, NOP mengajak mitra pelaku usaha dan organisasi di Indonesia untuk mulai melakukan pencegahan pelecehan seksual. Institusi dapat menunjukkan komitmen dengan memberikan pelatihan, mengeluarkan kebijakan tertulis, menyebarkan informasi mengenai kebijakan tersebut, dan memperbaiki budaya kerja. Di sisi lain, mitra pelaku usaha dan organisasi juga harus menindaklanjuti pelecehan seksual dengan memberikan dukungan rehabilitasi bagi korban dan saksi mata, disertai dengan evaluasi kebijakan yang ada.
Beberapa alternatif solusi lainnya adalah bekerja sama dengan para kelompok langgas pendiri start-up atau bisnis atau organisasi sosial. Pada 22 Juli 2019, NOP mendapat kehormatan menjadi salah satu presenter di sesi Ideas and Innovations Marketplace dalam acara Indonesia Development Forum (IDF). IDF adalah konferensi nasional yang mempertemukan para pemangku kepentingan, baik dari kalangan pemerintah pusat dan daerah, filantropi dan pelaku bisnis, akademisi, organisasi sipil, mitra pembangunan, serta masyarakat, melalui diskusi interaktif terkait isu pembangunan yang relevan bagi konteks Indonesia. Tahun ini, IDF mengusung tema Mission Possible: Seizing the Opportunities of Future Work to Drive Inclusive Growth.
Acara IDF menampilkan banyak sekali inisiatif unik yang kebanyakan dicetuskan oleh kelompok muda. Mereka dapat menjadi agen yang menciptakan lingkungan kerja layak, dimulai dari bisnis atau organisasi yang mereka bentuk. Menggaet kelompok muda wirausaha adalah solusi yang dapat dieksplorasi untuk menghentikan pelecehan seksual di tempat kerja. Kedua, memasukkan materi pencegahan pelecehan seksual dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan teknis dan vokasi, termasuk dalam program-program pemagangan, Balai Latihan Kerja, Sekolah Menengah Kejuruan. Karena pelecehan seksual terkait dengan keahlian kerja di masa depan, sudah seharusnya generasi siap kerja dapat siap menghadapi, mencegah, dan melawan pelecehan seksual di sekitarnya.