Menanam Bibit Narcissus: Kampus di Indonesia dan Penelitian Seksualitas
Atas nama moralitas serta norma agama dan sosial, kampus-kampus membatasi studi-studi kritis khususnya mengenai seksualitas, sehingga gagal dalam kewajibannya mendidik mahasiswa untuk menjadi kritis dan berpikiran terbuka.
Konon, hiduplah seorang pemuda tampan bernama Narcissus, yang menurut mitologi Yunani adalah keturunan dari dewa dan peri. Dia sangat bangga akan penampilannya, bahkan sampai jatuh cinta pada bayangannya sendiri yang tercermin di permukaan sebuah sungai. Dia kemudian menghabiskan sisa hidupnya di tepi sungai, menaruh harapan kosong untuk suatu saat mendapatkan orang berwajah menawan itu yang tak lain adalah dirinya sendiri.
Sekilas kisah Narcissus seperti tidak berhubungan dengan peristiwa yang terjadi pada SGRC UI (Support Group and Resource Centre on Sexuality Studies Universitas Indonesia) dua tahun lalu. Kelompok riset ini, yang didirikan secara independen oleh mahasiswa, alumni, dan dosen UI, dituding menyebarkan homoseksualitas di kampus. Pihak universitas mengangkat isu tentang penggunaan nama dan logo UI serta menginstruksikan SGRC UI untuk berhenti menggunakannya.
Peristiwa yang terjadi pada SGRC UI ini bukanlah yang pertama di Indonesia. Tahun sebelumnya, Universitas Brawijaya membatalkan acara Brawijaya International Youth Forum karena akan mendiskusikan masalah-masalah mengenai lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT). Diskusi ini dianggap melawan norma-norma agama dan sosial. Sementara itu, rektor Universitas Lampung mengancam akan mengeluarkan mahasiswa dan memecat dosen yang terlibat dalam aktivitas apa pun yang berkaitan dengan isu-isu LGBT. Media sosial turut menyebarkan berita seputar “LGBT masuk kampus”.
Kontroversi, larangan, dan tuduhan negatif terhadap diskusi mengenai LGBT mencerminkan keengganan institusi-institusi akademis di Indonesia dalam mendiskusikan seksualitas dengan pikiran terbuka dan dengan metode ilmiah. Bisa jadi institusi akademis ini masih menyalahartikan makna dan konsep seksualitas.
Gilles Deleuz dan Felix Guattari, filsuf-filsuf Prancis, mengungkapkan bahwa “seksualitas ada di mana-mana” dalam karyanya Anti-Oedipus pada 1972.
Seksualitas bukan hanya perihal biologis. Ini adalah kenyataan yang sering diabaikan oleh kebanyakan orang. Seksualitas juga berkaitan dengan isu sosial yang membentuk cara berpikir dan bertindak dalam bermasyarakat. Tubuh dan hasratnya adalah pemberian alam. Namun, tubuh dan hasrat selalu diatur, dikontrol, dan dihakimi saat tidak sesuai dengan norma dan ideologi yang berlaku. Karena dimensi sosial itu, seksualitas adalah ilmu yang harus dipelajari dan diusut dengan kritis.
Di Indonesia, seksualitas tidak lepas dari ideologi dan politik. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa tulisan oleh sejarawan Marieke Bloembergen tentang seksualitas dan kekuasaan pada era Belanda. Pada Desember 1938 hingga Mei 1939, polisi kolonial Belanda melakukan perburuan massal untuk menangkap laki-laki homoseksual yang diduga melakukan hubungan seksual dengan anak laki-laki di bawah umur. Operasi dadakan ini dikenal dengan “zedenschoonmaak” atau pembersihan moral.
Menurut Bloembergen, sebelumnya homoseksualitas tidak pernah menjadi masalah di sini, meskipun dalam agama Kristen yang dianut oleh pemerintah kolonial, hubungan homoseksual dianggap sebuah dosa. Beberapa pegawai yang homoseksual pun dipecat sebagai bagian dari perburuan ini, sebab mereka dianggap “tidak layak”. Pasukan polisi moral pun diciptakan untuk membasmi tindakan asusila yang disebabkan oleh homoseksualitas.
Sekitar periode ini, kekuasaan kolonial di seluruh dunia mulai kehilangan kekuasaan terhadap jajahannya akibat menghadapi ancaman perang di Asia dan Eropa. Inilah alasan sesungguhnya di balik kampanye moral dadakan tadi: sebuah pemerintahan kolonial yang terancam kehilangan kuasa atas jajahannya.
Kekuasaan selalu membutuhkan korban yang bisa dikambinghitamkan. Di tengah kekuasaannya yang sedang menurun, pemerintah menjadikan homoseksual bulan-bulanan untuk menegaskan kekuatannya pada masyarakat, untuk membuktikan bahwa pemerintah masih bisa mempertahankan ketertiban, keamanan, dan “keberadaban” kendati sedang menghadapi ancaman.
Pada masa Orde Baru, seksualitas kembali digunakan sebagai senjata politis. Rezim Soeharto menggunakan seksualitas perempuan untuk menumpas Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia), dengan cara menggambarkan mereka sebagai perempuan tak bermoral yang menampilkan tarian bugil bersifat seksual sambil menyiksa jenderal-jenderal militer yang diculik saat serangan gagal 30 September 1965. Kisah ini diajarkan kepada anak-anak yang tumbuh di era rezim militer itu, sehingga tersirat dengan kuat bahwa perempuan yang aktif secara seksual berarti tidak bermoral.
Dalam era ini, penelitian atau karya ilmiah yang bersifat mengkritik ideologi nasional dianggap subversif dan dilarang terbit. Aparat negara menyensor penelitian kritis yang dilaksanakan oleh institusi-institusi akademis, padahal seharusnya institusi semacam itu mendidik pelajarnya untuk bersikap kritis dan berpikiran terbuka.
Ironisnya, bibit-bibit represi model Orde Baru masih ditanamkan di masa kini, bukan oleh pemerintah, melainkan oleh kampus-kampus itu sendiri. Atas nama norma dan moralitas, kampus-kampus melakukan sensor diri saat menangani penelitian yang bersifat kritis.
Kisah Narcissus menjadi relevan karena merefleksikan bahwa pemikiran kritis para mahasiswa dengan sengaja ditumpulkan oleh pihak akademia. Apabila seksualitas tidak bisa dipisahkan dari politik dan ideologi, maka apa yang kini kita pahami dan apa yang dianggap benar juga tidak bisa dipisahkan dari keduanya. Seperti Narcissus yang tergoda oleh bayangannya sendiri, saat kita kehilangan kemampuan untuk berpikir kritis, kita akan dengan mudah memercayai informasi yang kita dapatkan, tanpa memikirkan bagaimana ideologi dan kekuasaan telah berperan dalam membentuk apa yang dianggap benar.
SGRC UI berusaha mengeksplorasi seksualitas melalui sudut pandang yang kritis. LGBT hanya sebagian dari banyak masalah lain terkait seksualitas, termasuk kesehatan reproduksi, pemberdayaan perempuan, politik seksual, dan hak-hak buruh.
Reaksi spontan kampus-kampus tersebut pada diskusi apa pun yang berkaitan dengan seksualitas menunjukkan bahwa sistem pendidikan ini bergulat tanpa hasil dengan perkembangan global dan kondisi akademis saat ini. Sayangnya, cara penanganan yang dilakukan sangat canggung dan militeristik, yaitu dengan melarang semuanya sama sekali.
Kualitas sistem pendidikan kita sering dipertanyakan, namun mungkin kini waktunya bertanya pada diri kita sendiri: “Apakah lingkungan akademis kita dengan sengaja membentuk pelajar-pelajar agar menjadi seperti Narcissus yang kehilangan kemampuannya berpikir kritis?”
Adakah yang bisa menjawabnya?
Hendri Yulius adalah penulis “Coming Out” dan pengajar kajian gender dan seksualitas.
Artikel ini diterjemahkan oleh Kartika Darina dari versi aslinya dalam bahasa Inggris.