Politics & Society

Mengapa Indonesia Perlu UU Penghapusan Kekerasan Seksual

DPR telah setuju untuk membahas RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tahun ini. Berikut adalah hal-hal yang perlu diketahui mengenai RUU tersebut.

Avatar
  • May 25, 2016
  • 4 min read
  • 518 Views
Mengapa Indonesia Perlu UU Penghapusan Kekerasan Seksual

Dalam beberapa tahun terakhir, aktivis-aktivis perempuan telah mendorong Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperbaiki aturan mengenai kekerasan seksual, dan Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) telah membuat Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, tapi sepertinya hal itu tidak pernah menjadi prioritas untuk disahkan.

Hanya setelah kematian tragis “Y”, yang secara keji diperkosa dan dibunuh oleh 14 orang bulan lalu, para wakil rakyat mulai memberi perhatian pada mendesaknya UU tersebut. Akhirnya DPR sepakat untuk menyertakan RUU itu dalam Program Legislasi Nasional tahun ini, yang berarti akan dibahas tahun ini juga.

 

 

Perkembangan terakhir ini adalah berkat upaya publik. Lentera Indonesia, sebuah kelompok dukungan untuk para penyintas kekerasan seksual, dan Magdalene telah membuat petisi untuk mendorong disahkannya RUU tersebut, dan petisi ini telah menarik lebih dari 64.000 tandatangan. Seiring munculnya kasus-kasus kekerasan seksual lain di media dalam tiga minggu terakhir, banyak orang juga menyuarakan hal yang sama.

Namun seberapa penting bagi Indonesia untuk memiliki regulasi khusus mengenai kekerasan seksual? Komnas Perempuan telah membuat pamflet yang menunjukkan betapa mendesaknya aturan tersebut, dan kami meringkasnya untuk kamu di sini.

Baca juga: RUU PKS Tidak Menyalahi Ajaran Islam


Seberapa parah situasi kekerasan seksual di Indonesia?

 

Sangat parah. Data Komnas Perempuan tahun 2015 menunjukkan bahwa setiap hari, sedikitnya 35 perempuan dan anak perempuan mengalami kekerasan seksual. Hal itu berarti bahwa setiap dua jam, tiga perempuan menjadi korban kekerasan seksual. Ingat bahwa angka ini hanyalah puncak dari gunung es.

Pelakunya bisa siapa saja, tapi mayoritas adalah mereka yang dekat dengan korban–saudara sedarah, suami atau kerabat. Kekerasan seksual juga menyerang korban semua umur, bahkan anak-anak dan balita, seperti diperlihatkan dalam kasus-kasus baru-baru ini yang dilaporkan media.

Dampak kekerasan seksual jauh melebihi dampak fisik dan psikologis, termasuk juga seksual (rusaknya organ seksual, tidak berfungsinya organ seksual), relasi sosial (pengucilan, stigmatisasi, berkurangnya kesejahteraan sosial), pendidikan (dilarang mengikuti ujian, dikeluarkan dari sekolah, diminta mengundurkan diri), dan ekonomi (kehilangan akses terhadap pekerjaan akibat stigma dan kerusakan psikis).

Mengapa Indonesia perlu UU Penghapusan Kekerasan Seksual?

Perangkat hukum yang ada terbatas dan tidak memadai:

  • Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengkategorikan pemerkosaan sebagai penetrasi penis ke vagina, dan pemaksaan fisik. Tapi pola pemerkosaan dan jenis kekerasan seksual sangat beragam. Komnas Perempuan mendefinisikan 15 jenis kekerasan seksual, yaitu: pemerkosaan; pelecehan seksual; eksploitasi seksual; penyiksaan seksual; perbudakan seksual; intimidasi, ancaman dan percobaan pemerkosaan; prostitusi paksa; pemaksaan kehamilan; pemaksaan aborsi; pemaksaan perkawinan; perdagangan perempuan untuk tujuan seksual; kontrol seksual; penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual; praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan; dan pemaksaan sterilisasi/kontrasepsi;

 

  • KUHP tidak mengenal pelecehan seksual. Kasus pelecehan seksual hanya dapat diproses dengan pasal pencabulan, jika pelecehan seksual dilakukan secara fisik;

 

  • Eksploitasi seksual diatur dengan keliru dalam Undang-Undang Pornografi, yang sangat menekankan aspek moralitas. Hal ini berpotensi menjadikan perempuan kembali menjadi korban karena mengaburkan tindakan eksploitasi sesual yang dialami korban;

 

  • KUHP dan UU Kesehatan menekankan pada larangan aborsi tanpa melihat konteks, akibatnya dalam tindak aborsi perempuan menjadi pihak yang dipidanakan;

 

  • Ada perangkat hukum lainnya yang juga mengatur kekerasan seksual, seperti UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Perlindungan Anak, UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan UUU Pengadilan Hak Asasi Manusia. Namun, UU ini hanya dapat digunakan dalam ruang lingkup terbatas, yaitu dalam rumah tangga, hanya untuk anak-anak, dalam konteks migrasi, atau pelanggaran berat HAM;

 

  • Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak melihat korban sebagai subyek dalam peradilan pidana, dan tidak mengatur mekanisme pemulihan bagi korban;

 

  • Proses amandemen KUHP dan KUHAP berjalan sangat lambat dan sepertinya kehilangan arah. Pembahasan yang berlangsung cenderung fokus pada isu-isu moralitas bukannya keadilan untuk korban.

Baca juga: 5 Hal yang Harus Kamu Ketahui tentang RUU PKS

 

Apakah UU Penghapusan Kekerasan Seksual ini akan tumpang tindih dengan aturan lainnya?

Tidak. Sebaliknya, UU ini akan mengisi dan melengkapi kekosongan hukum terkait kekerasan seksual, sehingga penegakan hukum akan berorientasi pada hak korban atas kebenaran, keadilan dan pemulihan.

Apa saja yang akan diatur dalam UU Penghapusan Kekerasan Seksual?

Undang-undang tersebut akan memuat ketentuan definisi dan bentuk-bentuk kekerasan seksual, pencegahan, perlindungan dan hak-hak saksi dan korban, pemulihan korban, acara peradilan pidana kekerasan seksual, pemidanaan kekerasan seksual, restitusi sebagai bagian dari pemidanaan, rehabilitasi pelaku sebagai bagian dari pemidanaan, kewajiban negara, dan peran serta masyarakat dalam mencegah dan menanggulangi kekerasan seksual.

Kekhususan dari UU Penghapusan Kekerasan Seksual meliputi keharusan pemulihan korban, keharusan adanya restitusi, keharusan rehabilitasi pelaku sebagai bagian dari pemidanaan, dan keharusan adanya acara peradilan pidana kekerasan seksual. Jika disahkan, UU ini akan melindungi setiap orang, terutama perempuan, anak-anak, dan kelompok rentan lainnya.


Avatar
About Author

Hera Diani

Hera Diani, like many Indonesians, has two names and she relishes the fact that Indonesian women do not have to take the surname of their fathers and husbands. Pop culture is her guru, but she is critical of the terrible aspects of it, such as the contents with messages of misoginy and rape culture, and The Kardashians.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *