Mengejar Karier: Antara Passion dan Realitas
Dalam hidup, kita selalu punya pilihan untuk menjadi orang yang pesimistis, realistis, atau optimistis. Namun terkadang menjadi dilematik saat apa yang kita hadapi tidak sesuai dengan harapan ataupun rencana yang dibuat.
Mereka yang mulai beranjak dewasa atau sedang mengalami Quarter Life Crisis sering dihadapkan pada pertanyaan “Apa rencana masa depanmu? Mau jadi apa?”. Bahkan sebenarnya sejak kecil, kita sudah sering ditanyakan atau justru diarahkan akan cita-cita masa depan (padahal sebagai anak kecil, apa iya kita sudah jelas akan apa yang kita inginkan dalam hidup? Most likely, belum).
Tidak jarang, saya mendapati seseorang memberikan nasihat ini kepada teman atau rekannya:
“Follow your heart.”
“Follow your passion.”
“Money will follow.”
Kenyataannya? Tidak semudah itu, Ferguso.
Passion yang bagaimana? Konteksnya apa? Ya, mungkin sebagian orang memiliki keistimewaan untuk bisa menjadi apa saja, mengejar apa pun yang diinginkan. Namun untuk Sebagian lainnya, mereka harus bersabar dan memiliki strategi yang “cantik” dalam memprioritaskan antara passion dan realitas.
Passion, keinginan yang didorong oleh hasrat dalam mencapai ambisi hidup. Semangat berapi-api. Gairah yang mendorong kita melewati masa-masa sulit. Yang menarik, Jon Jachimowicz, seorang profesor dari Harvard Business School, mengatakan agar kita mengurangi fokus pada apa yang membuat kita merasa bergairah (passionate), dan lebih banyak berfokus pada apa yang benar-benar kita pedulikan (purpose-driven).
Dalam sebuah penelitian terhadap beberapa ratus karyawan, Jachimowicz mencatat dan menemukan bahwa mereka yang percaya mengejar hasrat berarti mengikuti apa yang membawa satu kegembiraan cenderung tidak berhasil dalam mengejar hasrat mereka, dan lebih mungkin berhenti dari pekerjaan mereka dalam sembilan bulan.
“In another set of studies, I found that passion alone is only weakly related to employees’ performance at their work. But the combination of passion and perseverance–i.e., the extent to which employees stick with their goals even in the face of adversity–was related to higher performance,” tulisnya dalam Harvard Business Review.
Sama dengan Jachimowicz, saya juga menganut kepercayaan, lebih baik kita berfokus menjawab MENGAPA ketimbang APA dalam hidup, termasuk soal karier.
Berbicara tentang purpose sesederhana memahami: Apa tujuan kita hidup? Apa yang bisa kita berikan kepada dunia? Apa yang membuat hidup kita menjadi lebih bermakna? Membuat dunia lebih baik, entah besar maupun kecil dampaknya. Sering kali hal positif kecil yang kita lakukan, memberikan dampak positif besar kepada kehidupan orang lain. Semesta mendukung dengan caranya yang luar biasa. Kita memanen apa yang kita semai, bukan?
Setiap orang berbeda jalan kehidupan. Berbeda masalah yang dihadapi, berbeda situasi dan kondisi, berbeda lingkungan, berbeda tingkat ketahanannya, berbeda cara merespons segala stimulus yang dihadapinya. Selalu berbeda faktor internal dan eksternalnya. Jadi, mana yang diutamakan? Kejar passion atau jalani seiring realitas saja? Menurut saya, sih, keduanya. Optimistis dalam mengejar passion (saya tetap lebih memilih kata “purpose” dibanding “passion”) namun tetap harus realistis. Harus menyusun prioritas antara passion dan realitas.
Bagi kalian yang berada di tingkat akhir perguruan tinggi ataupun sedang meniti karier, coba refleksikan kembali paling tidak lima pertanyaan berikut, sebelum memutuskan apakah akan berfokus mengejar passion.
- Bagaimana kondisi keuangan keluarga? (pertimbangkan orang tua dan saudara kandung, utamanya aset lancar).
- Bagaimana kondisi keuangan diri sendiri? (misalnya, tabungan sejak dini yang diberikan orang tua, pengeluaran bulanan, dll.).
- Bagaimana kita membayangkan diri kita 10 tahun lagi, apa yang sedang kita lakukan, mengapa kita ingin melakukannya?
- Bagaimana strategi untuk mencapai ambisi tersebut? Apa sudah membuat target tahunan? (soal tercapai atau tidak, urusan belakangan).
- Apakah sudah memahami apa yang menjadi kekuatan atau keunggulan diri? Bisa tanya ke diri sendiri atau orang terdekat.
Pertanyaan berikutnya adalah, mengapa kita membuatnya sulit dalam mengejar passion? Yang jelas, passion itu akan berevolusi seiring dengan waktu dan keadaan. Saya menawarkan satu alternatif proposisi yang selama ini saya yakini dan jalani: Mengapa kita tidak mencoba menjadi passionate dalam semua hal yang kita lakukan? Karena tidak melulu apa yang kita inginkan atau rencanakan akan terjadi. Sesederhana, kita terkadang tidak memiliki semuanya. Saat kita menjalani apa pun dengan penuh gairah dan semangat, biasanya prosesnya menjadi lebih mudah dan ringan, hasilnya cenderung lebih optimal.
Sebagai seorang dosen, saya melihat ada satu tren yang menarik. Sejak tahun 2019, hampir 70 persen mahasiswa saya (jurusan Ilmu Komunikasi, Periklanan dan Pemasaran) ingin berbisnis, bukan berkarier di perkantoran atau korporasi. Jika saya ditanya, “Mbak, lebih baik mana, berkarier atau berbisnis?” Saya selalu menjawab: Tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk, itu tergantung pada individu masing-masing. Baik berkarier maupun berbisnis, keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan. Ada orang yang memang lebih jago berbisnis (kadang bahkan secara alamiah), ada yang memang lebih nyaman dan tangguh dengan “employee mentality”. Satu yang pasti, “jangan latah”, hanya ikut-ikutan tren atau lingkungan sekitar.
Selalu pahami dulu kondisi dan situasi; lakukan analisis SWOT diri, pahami apa yang menjadi purpose kita. Yakini bahwa itulah yang kita inginkan karena kita betul-betul paham mengapa kita menginginkannya. Menjadi up-to-date itu penting, namun jangan sampai kita menjadi kehilangan identitas diri.
Sebagai contoh faktual, saya akan memberi paparan singkat tentang komunitas kreasi saya, WEWAW (Women Empower Women At Work), sebuah platform berbasis komunitas dengan misi membantu wanita muda Indonesia bekerja; baik berkarier maupun berbisnis. Saya dan WEWAW percaya bahwa wanita Indonesia memiliki kesempatan besar dalam berkarya. Wanita memiliki kualitas dan kapasitas yang luar biasa, tanpa pembatasan gender semata. WEWAW ada karena kita, wanita Indonesia, bahu-membahu dengan satu misi kuat, menciptakan perubahan hidup yang bermakna. WEWAW didesain untuk memberikan pendampingan secara tepat melalui program mentorship selama 6 bulan (November 2020 – April 2021) secara eksklusif, intensif dan GRATIS.
Mentorship WEWAW adalah bukti bahwa wanita Indonesia tetap bisa produktif dan berkarya di tengah pandemi. Diharapkan dari 20 wanita muda terpilih, mereka akan menjadi pemberi pengaruh bagi wanita-wanita lain di lingkungannya; terjadi sebuah network effect dalam memajukan kualitas wanita Indonesia. WEWAW merupakan titik dimana saya bisa berfokus pada passion (dan purpose) saya.
Memiliki mimpi jelas boleh, namun jangan sampai kita hanya hidup sebagai seorang pemimpi. Memiliki ambisi juga boleh, namun harus realistis, sehingga kita tidak menjadi terobsesi.
Jika kalian wanita muda Indonesia berusia 18-25 tahun, memiliki misi dan ambisi inspiratif dalam hidup, mendukung pemberdayaan wanita dan berkomitmen mengikuti seluruh rangkaian program WEWAW.. Segera daftarkan dirimu untuk mengikuti seleksi mentorship WEWAW pada 1-15 Oktober 2020 melalui link ini. Untuk mengetahui lebih lengkap perihal program online ini, ikuti dan simak informasi melalui akun resmi Instagram WEWAW di @wewaw.id atau mengirimkan pertanyaan melalui e-mail ke [email protected]. Seluruh pendaftaran dan program mentoring ini gratis tanpa dipungut biaya.