Gender & Sexuality

Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?

Pertukaran peran suami-istri dalam rumah tangga masih membuat gamang banyak pasangan, menunjukkan betapa patriarki merugikan semua pihak.

Avatar
  • March 14, 2022
  • 5 min read
  • 2799 Views
Menikah: Menghidupkan atau Mematikan Diri Perempuan?

Bapak bekerja di luar rumah, mencari uang, menafkahi keluarga. Harga dirinya sebagai laki-laki ditentukan oleh seberapa hebat posisi dan jabatannya dalam masyarakat. Ibu diam di rumah, atau kalaupun bekerja, tetap telaten dalam mengurus keluarga. Seandainya dua peran ini memang dilakukan secara sukarela dan bebas berdasarkan pilihan si bapak atau si ibu, maka tidak ada persoalan. Yang menjadi persoalan adalah jika si bapak atau si ibu menginginkan peran lain selain dua peran di atas.

Saya pernah berada dalam posisi tidak menjalankan peran gender yang dianggap ideal ini, bahkan sampai hari ini pun demikian. Puncaknya adalah ketika saya dalam kondisi sudah berkeluarga dan memutuskan untuk melanjutkan studi pascasarjana ke Jepang. Karena saya berniat untuk bekerja sebagai akademisi, maka menuntut ilmu di jenjang pascasarjana adalah sebuah kewajaran. Sangat masuk akal jika saya melanjutkan kuliah ke Jepang, karena memang bidang yang kelak saya harapkan dapat menjadi kepakaran saya adalah Sastra Jepang.

 

 

Tahun 2008 saya mengikuti ujian beasiswa pemerintah Jepang yang dikenal dengan nama beasiswa Mombukagakusho. Saat itu putri saya berusia satu tahun. Setelah melalui tahapan demi tahapan seleksi, saya dinyatakan lolos. Bagi saya, ini adalah sebuah prestasi. Tapi dengan pencapaian tersebut, bukan apresiasi yang saya dapatkan, justru lebih banyak tentangan dan pertanyaan.

Kasian banget suami kamu harus urus anak sendirian.”

“Kamu yakin mau sekolah lagi, padahal udah punya keluarga?”

“Harusnya keluarga kan yang nomor satu, bukan keinginan pribadi.”

“Kalau keluarga kamu nyusul, nanti suami kamu ngapain di sana? Jadi bapak rumah tangga?”

Karena tidak mau berkonfrontasi, saya diam saja ketika orang-orang melontarkan kalimat-kalimat di atas. Sekalipun sebenarnya dalam hati saya merasa jengkel, di saat yang sama, saya mulai mempertanyakan keputusan saya. Apakah tidak apa-apa saya memutuskan untuk studi di luar negeri dalam kondisi punya anak dan suami? Apakah yang saya lakukan ini benar?

Dalam kegalauan, satu tahun kemudian, pada tahun 2009, saya berangkat studi ke Jepang, meninggalkan anak dan suami saya. Mereka akan menyusul setelah saya mengurus kelengkapan berkas mengundang keluarga ke Jepang. Saya tidak cukup kuat untuk menganggap angin lalu omongan orang-orang di sekitar saya. Perkataan-perkataan mereka membuat saya merasa gagal menjadi ibu dan istri yang baik.

Anak dan suami saya menyusul sekitar dua bulan setelah saya berangkat. Selama enam tahun yang saya habiskan untuk studi pascasarjana, kami menjalani peran gender yang tidak sesuai dengan konstruksi dominan masyarakat patriarki. Saya yang menafkahi keluarga (kami hidup dari uang beasiswa setiap bulan), saya yang berkegiatan di luar rumah, yaitu kuliah, dan suami diam di rumah mengurus anak sambil kerja paruh waktu.

Jujur, baik saya maupun suami, sama-sama merasa gamang dengan pertukaran peran ini. Kami dibesarkan di dalam budaya masyarakat patriarkal yang sangat kuat. Kami tidak punya role model yang menerapkan fleksibilitas pada peran gender dari generasi di atas kami. Secara tidak sadar, nilai-nilai patriarki terinternalisasi di dalam diri kami, sehingga begitu saya dan suami saya bertukar peran, kami merasakan ketidaknyamanan seperti rasa bersalah, rendah diri, dan konflik batin.

Namun lambat laun, tumbuh internalisasi nilai-nilai baru di dalam diri kami. Saya sendiri mulai mendefinisikan ulang apa itu artinya menjadi ibu dan istri. Apakah saya mau diri saya direduksi hanya ke dalam satu peran ideal istri dan ibu yang diglorifikasi sedemikian rupa? Apakah saya bertanggungjawab pada hidup saya jika saya membiarkan diri saya hidup sesuai apa kata orang lain dan bukan berdasarkan apa kata saya sendiri?

Saya sampai pada sebuah pemahaman bahwa harus diri saya sendiri yang dengan sengaja mengambil keputusan untuk membebaskan diri dari nilai-nilai patriarki yang merugikan hidup saya. Jika norma patriarki itu membuat saya menjadi tidak berkembang, maka layak bagi saya untuk mempertanyakannya. Jangan sampai saya menjadi lelah batin karena norma patriarki yang mengikat ini.

Lalu, apakah norma patriarki atau norma di mana laki-laki yang lebih punya otoritas itu sepenuhnya hanya merugikan perempuan dan menguntungkan laki-laki? Apakah hanya laki-laki yang memiliki sifat patriarkal? Tidak. Perenungan saya selama di Jepang membawa saya pada satu pemahaman: patriarki merugikan siapa saja yang tidak memenuhi standar ideal yang ditentukan oleh norma-norma tersebut dan siapa pun dapat menjadi sangat patriarkal, tidak tergantung pada jenis kelaminnya.

Suami saya yang menjadi bapak rumah tangga penuh waktu selama enam tahun adalah contoh nyata bahwa patriarki juga merugikan laki-laki. Pada masa-masa di mana ia tidak memenuhi ekspektasi laki-laki ideal, yaitu laki-laki yang mandiri, memiliki pekerjaan tetap, dan mapan dalam karier, maka patriarki menikam tanpa ampun dan membuat suami saya meragukan dirinya sendiri.

Soal perempuan-perempuan yang sangat patriarkal, dapat dilihat contoh nyatanya pada orang-orang yang mempertanyakan keputusan saya untuk studi di luar negeri pada saat saya sudah berkeluarga. Pernyataan-pernyataan yang kurang menyenangkan yang saya utarakan di atas, kebanyakan datang dari perempuan. Mereka menganggap saya “aneh”, egois, banyak mau. Seolah-olah jika sudah berkeluarga, kita tidak boleh lagi punya harapan untuk diri kita pribadi. Menganggap adalah wajar jika perempuan mengorbankan keinginan pribadinya demi ketenteraman hidup berkeluarga.

Tetapi, apakah benar ini yang disebut ketenteraman sejati, jika kita mengusahakannya dengan cara mematikan diri kita sendiri? Seharusnya sampai kapan pun itu, sebagai manusia kita harus terus berkembang ke arah yang lebih baik. Ya, jika memang seorang perempuan memutuskan untuk menjadi ibu rumah tangga dan tidak bekerja, dan hal itu membuat dirinya semakin berkembang, maka lanjutkanlah dengan penuh sukacita. Tetapi setiap orang memiliki ide yang berbeda tentang pengembangan diri, harapan, dan kebahagiaan.

Empat tahun telah berlalu sejak saya dinyatakan selesai studi. Hari wisuda saya di akhir Maret 2015 saya maknai sebagai sebuah kemenangan melawan norma patriarki. Saya telah membebaskan diri saya untuk hidup mengikuti kata hati saya, bukan mengikuti apa kata masyarakat. Saya tentu mengasihi anak dan suami saya, tetapi mengasihi bukan berarti saya harus mematikan diri saya dan meleburkan diri pada diri suami dan anak saya. Karena jika saya meleburkan diri, maka jati diri saya akan hilang, dan anak dan suami saya akan kehilangan diri saya yang sesungguhnya.  

“Kasihan anak suami kamu, karena kamu pergi duluan untuk studi di Jepang.”

Kini saya dapat menjawab dengan yakin, “Kasihan anak dan suami saya, jika saya tidak pergi kuliah ke Jepang. Karena itu berarti saya merepresi diri saya, meleburkan diri saya pada mereka, dan mereka tidak akan pernah mendapati  kehadiran diri saya yang sesungguhnya.”

Ilustrasi oleh Adhitya Pattisahusiwa



#waveforequality


Avatar
About Author

Rouli Esther Pasaribu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *