Lifestyle

Sibuk Jadi Dewasa, Tak Ada Salahnya Lakukan Hobi Masa Kecilmu

Semakin dewasa aku lupa untuk menghibur diri. Ini pengalamanku menjenguk hobi di masa kecil yang menyenangkan.

Avatar
  • August 5, 2024
  • 5 min read
  • 488 Views
Sibuk Jadi Dewasa, Tak Ada Salahnya Lakukan Hobi Masa Kecilmu

Seperti halnya orang dewasa lain, hari-hariku dipenuhi dengan pekerjaan kantor dan urusan domestik. Beruntung, hobi membaca menyelamatkanku dari rutinitas yang kadang terasa melelahkan. Apalagi saat aku sedang stres atau bersedih. Sayangnya, belakangan aku mengalami reading slump: Kehilangan motivasi, sehingga buku yang dilahap semakin sedikit.

Kondisi ini bikin aku kebingungan. Aku berusaha mencari pelarian baru agar tetap waras. Dari sini aku merenung, ternyata kini aku kehilangan kebahagiaan sederhana yang dulu aku rawat saat masa kecil. Mau enggak mau, aku jadi bergantung pada satu hal agar tetap berfungsi dalam urusan pekerjaan.  

 

 

Baca Juga: Rasa Bersalah saat Bikin Target Bacaan: Membaca Bukan Perlombaan 

Hobi Masa Kecil yang Mati Suri 

Semasa kanak-kanak, tanganku tidak pernah berhenti bergerak. Berbagai macam prakarya dan seni rupa aku ciptakan dengan medium beragam. Aku pernah membuat rumah mini lengkap dengan kursi dan meja yang kususun rapi menggunakan stik es krim warna-warni. Aku pernah melukis di kanvas dengan perpaduan cat akrilik dan biji kacang hijau yang dilem satu persatu demi menghasilkan efek tiga dimensi. 

Toples dan gelas polos Mama juga tak luput dari kreasiku. Dengan menggunakan cat khusus kaca, aku menggambar berbagai pola hewan dan bunga untuk memperindah tampilannya. Toples-toples yang selesai aku hias dengan bangga Mama taruh di ruang tamu. Sementara, gelasnya Mama simpan di rak kaca untuk sekali-kali digunakan (sayang sekali sekarang catnya sudah terkelupas). 

Tak cuma itu, saat masih di bangku SD dan SMP, aku juga menghabiskan waktu luang membuat klipping dan journaling. Dari majalah-majalah yang sudah selesai aku baca, aku menggunting bagian-bagian menarik dan menempelnya di buku tulis berbagai ukuran. Lalu, sebagai ganti stiker yang dulu harganya masih mahal, aku menggunakan majalah bekas untuk journaling. Potongan majalah ini bisanya aku lengkapi dengan tulisan tangan berisi curhatan dan stabilo berbagai warna. 

Di luar karya tersebut, sepulang sekolah dan akhir pekan, aku menyibukkan diri untuk menggambar dan melukis. Tanpa repot memikirkan hasilnya jelek atau enggak, aku asyik menggambar selama berjam-jam. Peralatan perang dari crayon hingga cat air selalu siap digunakan.

Semua kesibukan itu sebenarnya jadi caraku menghibur dan terkoneksi dengan diri sendiri. Pada momen ini, aku membangun dunia sendiri di mana hanya rasa nyaman, damai, dan senang yang kurasakan. Sayang, hobi-hobi ini perlahan harus ditinggalkan karena kesibukan. 

Baca Juga: Tidak Apa-apa Menjadi Biasa Saja di Dunia Luar Biasa 

Kita Lupa Bahagia 

Juni lalu, aku mengikuti sesi journaling yang diselenggarakan Purple Code Collective. Siapa sangka, sesi yang berjalan tak lebih dari dua jam itu, mampu membangitkan sesuatu yang lama mati. Menulis tangan, menempel stiker, menggunting potongan komik bekas, lalu menempelnya bersamaan dengan perangko bekas di atas kertas. Rasanya begitu menenangkan dan menyenangkan. Aku merasa sedang terapi psikologis.

Merasa ketagihan, aku mulai berkomitmen kembali melakukan journaling dengan membeli berbagai stiker lucu, pemotong kertas, dan kertas warna-warni bergambar. Saat kembali journaling, aku teringat dengan hobi menggambar dan melukis. Didorong rasa kangen pada hobi kanak-kanak, aku mulai menggambar lagi. Sesuai dugaan, rasanya nyaman dan menyenangkan.

Dari sini, kusadari, ternyata ada banyak hal yang dikorbankan untuk menjadi dewasa. Tuntutan untuk mencari nafkah, menjadi produktif, ternyata telah mengasingkanku dari diri sendiri, termasuk menghilangkan hobi yang kusukai. Aku telah menjalani kehidupan yang disebutkan ahli teori politik Amerika, Wendy Brown sebagai hidup yang menormalisasi nilai-nilai kapitalisme ekstrem.

Dalam Podcast NPR Throughline, Brown bilang, manusia dewasa memposisikan diri sebagai human capital dengan cara yang sepenuhnya ekonomis. Imbasnya, manusia dewasa sibuk mengejar kehidupan percintaan, pendidikan, dan uang.

“Yang semua kita lakukan harus dikelola dalam istilah ekonomi dan dipikirkan dalam ukuran-ukuran ekonomi,” kata Brown. 

Nilai-nilai ini sukses membunuh sukacita kita dalam menggeluti hobi atau aktivitas untuk menghibur diri. Sekarang semua yang kita kerjakan harus bermanfaat dan bernilai ekonomi. Sebab, jika tidak, itu akan dinilai buang-buang waktu saja.

Refleksi Brown membuat saya tertegun. Hobi membaca buku yang masih awet ini ternyata adalah pembelaanku terhadap hal yang dianggap produktif atau bermanfaat. Dengan membaca buku aku bisa terus mengasah human capital yang aku punya. Aku mendapatkan pengetahuan dan informasi baru yang bisa digunakan untuk bekerja.

Sebaliknya, hobi-hobi masa kecilku, seperti menggambar, melukis, maupun journaling tak menciptakan “keuntungan ekonomi” apa-apa karena sepenuhnya untuk menghibur diri. Kematian hobi masa kanak-kanak ini tentu berakibat fatal bagi kesehatan mental. Aku jadi lebih mudah stres dan mengalami burnout. Sialnya, kalau sedang dalam reading slump, level stresku akan lebih parah.

Apa yang aku alami bukanlah anomali. Studi menunjukkan, tanpa hobi orang cenderung merasa lelah dan lebih mudah stres. Kurangnya hobi juga dapat memengaruhi kesehatan kita. Sebaliknya, studi Matthew Zawadzki, psikolog kesehatan di University of California (2015) menemukan, hobi dapat meredakan stres dan bermanfaat buat kesehatan fisik dan psikologis. Selain itu juga bisa meningkatkan fokus, kebahagiaan, dan umur yang lebih panjang. 

Manfaat melakukan hobi dapat dirasakan hingga berjam-jam, bahkan berhari-hari kemudian. Studi Zawadzki juga menemukan, orang-orang yang memiliki hobi akan terus bahagia dan lebih sedikit merasa depresi.

Pada akhirnya, kini aku mendapat pelajaran berharga. Hobi memang seharusnya jadi sesuatu yang menyenangkan dan menarik. Hobi membuat kita menikmati kesenangan sebagai seorang amatir tanpa takut dituntut sempurna atau produktif. 

Versi kecil diri kita tentu akan memahami ini. Itulah kenapa saat kecil, kita merasa lebih hidup dan bahagia. Kita tahu bagaimana caranya menghibur diri sendiri tanpa dipusingkan oleh hal-hal lain agar bisa dianggap berharga. 

Karena itulah, aku ingin terus menjenguk hobi masa kecilku. Aku ingin jadi dewasa tanpa harus terasing dari kebahagiaan. Ini adalah revolusi kecilku dan aku ingin mengajakmu serta. Yuk, kita kembali merawat hobi kanak-kanak itu.



#waveforequality


Avatar
About Author

Jasmine Floretta V.D

Jasmine Floretta V.D. adalah pencinta kucing garis keras yang gemar membaca atau binge-watching Netflix di waktu senggangnya. Ia adalah lulusan Sastra Jepang dan Kajian Gender UI yang memiliki ketertarikan mendalam pada kajian budaya dan peran ibu atau motherhood.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *