Setiap orang punya cara untuk pulang. Bagi Arbida Nila, pulang bukan hanya soal kembali ke rumah, tapi menciptakan ruang agar kecintaannya bisa tumbuh di tanah asal. Baginya, kebaya adalah ruang tersebut. Kesehariannya nyaris tak pernah lepas dari kebaya. Kecintaannya pada kebaya tumbuh sejak 2022, ketika bergabung dengan komunitas Perempuan Berkebaya Indonesia. Meski aktivitas komunitas itu berpusat di Jakarta, kerinduan terhadap kampung halaman di Kendal, Jawa Tengah, perlahan ikut tumbuh bersamanya.
“Aku juga pengen jadi part of orang yang melestarikan berkain dan berkebaya, tapi di tempatku sendiri,” ujarnya kepada Magdalene (22/7).
Motivasinya makin kuat setelah ia melihat gerakan serupa dari Bekasi Berkain dan Pemuda Berkain. Dari sana Arbida paham, tradisi ada bukan karena diwariskan, tapi dihidupkan mengikuti waktu. Kolaborasi menjadi ruh yang menjaga tradisi.
Di tahun yang sama, lahirlah Kendal Berkain dan Berkebaya. Sebuah komunitas yang ia rintis bersama dua rekannya, Agnes dan Riris. Tinggal di kota berbeda, ketiganya merintis komunitas ini secara daring. Pelan-pelan, kekuatan itu tumbuh lewat visi dan kepercayaan yang dijaga meski terpisah jarak.
Sejak awal, komunitas ini tak pernah mencoba eksklusif. Sebaliknya, kebaya mereka jadikan jembatan untuk terhubung dengan siapa saja. Berkat jaringan Agnes dan Riris, Kendal Berkain dan Berkebaya pun cepat menjalin kolaborasi dengan berbagai pihak, bahkan hingga komunitas anak punk di Kecamatan Weleri, Kendal.

Baca Juga: Jilbab Salah, Terbuka Salah: Perempuan yang ‘Dipenjara’ Karena Busana
Kebaya Jadi Medium Bersuka Cita
Meski berakar dari ruang digital, aktivitas Kendal Berkain dan Berkebaya tak terbatas di layar. Mereka konsisten menggelar kampanye berkain dan berkebaya secara online dan offline setiap bulannya.
Di kanal digital, mereka rutin membagikan konten edukatif seputar kain dan kebaya. Sementara di lapangan, terutama di Kendal, Agnes dan Riris menjadi motor penggerak berbagai kegiatan komunitas.
Di antara kegiatan mereka, freestyling berkain menjadi kegiatan yang paling digemari. Peserta diajari berbagai gaya mengenakan kain yang simpel, tapi modis, membuktikan kalau berkain bisa tetap mengikuti tren tanpa meninggalkan akar budaya.
Tak cuma soal gaya, mereka juga kerap berkolaborasi dengan para artisan lokal. Mulai dari workshop membuat gerabah, kokedama, jumputan, hingga eksperimen seru seperti berkain sambil running.
“Jadi, doing something fun, tapi tetap enggak lupa sama akar budayanya dengan cara pakai kain dan kebaya itu.”
Seperti yang dikatakan Trismaya dkk. dari Universitas Brawijaya dalam From Glamorous to Everyday Value: Kebaya as the Medium of Women’s Self Expression (2022), komunitas kebaya yang menekankan kesenangan dalam aktivitasnya cenderung membuat anggotanya aktif dan antusias. Ketika tradisi dikemas dengan cara menyenangkan, orang akan datang karena merasa terhubung. Inilah yang coba dihidupkan oleh Arbida dan kawan-kawannya.
Prinsip itu pun melekat ketika mereka mengisi talkshow hingga menjalin kerja sama dengan sekolah-sekolah di Kendal. Anak-anak yang ingin ikut karnaval atau belajar tentang batik tak perlu bingung. Sebab, mereka bisa meminjam kain atau kebaya langsung dari Kendal Berkain dan Berkebaya. Langkah ini sekaligus jadi pintu masuk untuk mengenal lebih dekat ragam budaya tekstil Nusantara.

Baca Juga: Tubuhku Bukan Milikku: Moralitas dan Kontrol Perempuan di Indonesia
Cinta Punya Banyak Rupa, Begitu Pula Kebaya
Di tengah gempuran tren fast fashion, Arbida memilih jalan yang berbeda. Ia enggan didikte oleh industri fashion Barat, terlebih jika itu turut menyumbang tumpukan limbah fashion yang merusak bumi. Bagi Arbida, kebaya adalah jawabannya. Selain cantik, kebaya adalah perlawanan terhadap limbah fashion dan tren yang cepat usang.
“Once you wear kebaya, kamu mix and match dengan apa pun, itu akan sangat cantik, enggak akan fail. Tapi ketika kamu pakai tren-tren modern, kamu gagal mix and match, you fail.”
Lebih dari itu, menurutnya, kebaya mengandung jejak-jejak perempuan progresif masa lalu, seperti Kartini, Dewi Sartika, Roehana Koeddoes, hingga Martha Christina Tiahahu. Kebaya melekat dalam perjuangan mereka menyelamatkan harkat perempuan.
Arbida percaya, mengenakan kebaya berarti mewarisi semangat itu. Setiap perempuan yang memakai kebaya hari ini, semestinya juga menanamkan niat untuk menjadi perempuan yang cerdas dan sadar akan sejarah panjang yang membentuknya.
Kebaya, bagi Arbida, bukan hanya tentang busana. Ia adalah sikap politis untuk tetap tinggal dalam warisan yang terus hidup. Ketika ia mengenakan kebaya ke kantor atau sekadar nongkrong bareng teman, ada pesan bahwa kebaya selalu relevan.
Namun tentu saja, jalan pelestarian tak selalu mulus. Arbida mengakui masih banyak tantangan, utamanya soal opini publik terkait kebaya.
“Memang banyak banget loh yang menganggap pakai kebaya itu aneh, apalagi di public transport. Karena orang zaman sekarang enggak terbiasa melihat kebaya dipakai sehari-hari.”
Bagi Arbida dan kawan-kawan, anggapan itu bukan sesuatu yang salah, tapi jadi tantangan. Mereka paham, tiap orang punya selera dan cara sendiri dalam berpakaian. Masalahnya, kalau kebaya hanya dikenakan di momen-momen khusus, bagaimana mungkin ia bisa diwariskan sebagai bagian dari keseharian?
Tantangan lainnya adalah stigma lama bahwa kebaya ribet dan bikin gerah. Padahal, menurut Arbida, anggapan itu bisa berubah asal mau mencoba. “Kalau udah biasa pakai, kita bisa tahu jenis kain mana yang paling nyaman di tubuh. Tinggal disesuaikan aja.”
Kebaya, katanya, justru sangat beragam. Tak hanya kutubaru seperti yang ia kenakan hari itu, tapi juga ada kebaya encim, janggan, noni, kartini—dengan potongan dan gaya yang bisa disesuaikan dengan tubuh dan kebutuhan pemakainya. Artinya, ada ruang untuk eksplorasi.

Baca Juga: Sejarah Kebaya: Dari Domestifikasi Sampai Reclaim Simbol Perlawanan oleh Anak Muda
Menghidupkan Mimpi Lewat Kebaya
Tentu, tak ada perjuangan budaya tanpa harapan. Arbida dan kawan-kawan menyimpan mimpi besar untuk Kendal Berkain dan Berkebaya, juga untuk gerakan berkebaya di Indonesia secara utuh. Mereka membayangkan suatu hari nanti, kebaya tak lagi dipandang sebagai pakaian khas ibu-ibu atau embah-embah, tapi ageman sehari-hari yang juga akrab di tubuh anak muda.
“Mirisnya, di zaman modern ini, enggak banyak yang benar-benar mengenal budaya kita sendiri,” ujarnya.
Ini berlaku juga pada sejarah panjang kebaya, dari masa lahirnya hingga jadi simbol perlawanan dan elegansi. Padahal, di balik selembar kebaya, ada peluang besar yang bisa hidup, seperti UMKM lokal yang menggantungkan hidupnya pada geliat tren berkebaya.
Namun mereka sadar, mimpi itu tak bisa dicapai sendirian. Dibutuhkan kolaborasi antar-komunitas dari Sabang sampai Merauke, di mana komunitas yang besar mau merangkul yang masih bertumbuh. Dalam ekosistem itu, pemerintah punya peran penting. Tak hanya hadir di momen-momen simbolik, tapi benar-benar turun tangan, guna menciptakan ruang agar kebaya bisa lestari.
Namun seperti yang Arbida tirukan, pelestarian bukan hanya soal gerakan besar. Ia juga lahir dari hal kecil, seperti pilihan sadar seseorang untuk mengenakan kebaya setiap harinya.
“Terima kasih untuk teman-teman yang sudah berkebaya setiap hari,” ucap Arbida.
Ia mengingatkan kita, di balik kebaya, ada benang-benang sejarah, cinta, dan perlawanan yang tak boleh putus.
















