“Diah” sering dibuat pening dengan tingkah laku anaknya. “Bayangin, waktu aku pulang kerja malam, dia (anak) pernah tiba-tiba minta main ke taman komplek. Kalau aku lagi waras, aku biasanya nurutin. Tapi kalau lagi capek banget kayak pas awal-awal dia 3 tahun, aku biasanya diem dulu di kamar mandi buat nenangin diri dan menangis daripada jadi marah-marah ke anak,” kata Diah.
Anak Diah kini berusia 4 tahun, disekolahkan pendidikan anak usia dini (PAUD). Di rumah, Diah memang dibantu seorang pengasuh yang bekerja pagi sampai sore. Pengeluaran lebih sengaja ia sisihkan untuk urusan merawat anak karena pekerjaan yang makan waktu. Namun, jika pulang kerja malam hari, Diah tetap harus selalu punya energi lebih untuk sang anak.
“Beginilah ya jadi ibu. Nyari uang juga sebetulnya buat anak. Jadi kalau sampai rumah dalam keadaan capek, tapi si kecil masih minta main, aku biasanya nangis dulu aja lah. Mandi. Setelah sedikit seger, baru aku ladenin,” tambahnya.
Diah bukan satu-satunya ibu yang kewalahan. Nita (bukan nama sebenarnya) bahkan pernah sesekali teriak kencang saking lelahnya mengurus anak. Puncaknya di tahun pertama kelahiran si kecil. Perubahan rutinitas dan sulitnya memahami perilaku newborn jadi alasan utama Nita sampai jatuh kelelahan.
“Kadang aku juga suka teriak, dan marah kalau udah capek. Apalagi anakku full asi dan DBF (Direct Breastfeeding), jadi bener-bener nempel sama ibunya. Aku enggak punya waktu untuk diriku,” jelas Nita.
Sama dengan Nita, Talita (bukan nama sebenarnya) juga kerap merasa luapan emosi yang tidak beraturan ketika mengurus anak di tahun-tahun awal kelahirannya. Hal ini ditengarai perbedaan pola asuh antara yang ia pahami dan juga mertuanya. Dari sini, Talita sampai tidak pernah merasa cukup sebagai ibu. Yang terparah, ia pernah membentak si kecil, meskipun pada akhirnya, ia sangat menyesal.
“Aku kan waktu awal-awal masih sama mertua ya, di situ tuh sering enggak sependapat. Aku kayak banyak kurangnya. Aku maunya gini, mertua maunya yang lain soal ngurus anak. Waktu emosi dan kebetulan anakku enggak mau makan, gerakan tutup mulut (GTM) itu, aku bentak anaknya. Udah enggak ketahan. Tapi aku nyesel sehabisnya,” kata Talita.
Kewalahan, lelah, dan amarah yang muncul pada tiga perempuan ini sebetulnya wajar. Hanya saja, ketika intensitasnya semakin meningkat, gejala ini bisa merujuk pada parental burnout, atau kelelahan dalam pengasuhan. Khadijah Aulia, Psikolog Our Me Time dan Bicarakan Indonesia bilang, meskipun membutuhkan diagnosa lebih lanjut, situasi ketiga perempuan di atas dapat menjadi titik awal depresi dalam pengasuhan apabila tidak tertangani dengan baik.
“Parental burnout itu sebenarnya enggak sesederhana gejala stres ya. Parental burnout itu akumulasi kronis kalau bisa dibilang ya, stres dari pengasuhan itu sendiri,” kata Aulia. Namun, jika terjadi terlalu lama, parental burnout bisa mengarah menjadi depresi.
Pada riset bertajuk “Parental Burnout: What Is It, and Why Does It Matter?” (2019), Moïra Mikolajczak, Profesor di Université catholique de Louvain, menyebutkan bahwa parental burnout adalah kondisi yang ditandai dengan rasa lelah yang luar biasa terkait dengan peran sebagai orang tua. Hal ini dapat menimbulkan jarak emosional dengan anak, sampai rasa ketidakefektifan sebagai orang tua.
Di tahun 2018 sendiri, lebih dari 900 orang tua melaporkan bahwa mereka mengalami parental burnout. Hal ini jadi temuan Isabelle Roskam dan Moïra Mikolajczak, pada penelitiannya yang bertajuk “Gender Differences in the Nature, Antecedents and Consequences of Parental Burnout” (2020). Dari kesaksian para subjek, para peneliti setidaknya menemukan empat dimensi kelelahan orang tua, yakni kelelahan dalam peran sebagai orang tua, perasaan kontras dengan sosok orang tua sebelumnya, perasaan muak dengan peran sebagai orang tua, sampai adanya jarak emosional dengan anak-anak.
Baca juga: ‘Strict Parenting’: Pola Asuh yang Mendisiplinkan, tapi Bikin Anak Sesak
Dari Tuntutan Lingkungan sampai Beban Domestik
Parental burnout tentu tidak terjadi begitu saja. Saat individu merasa lelah menjadi orang tua, hal ini bisa disebabkan oleh beberapa hal, seperti menerima banyak tanggung jawab kerja domestik, misalnya. Hal ini terjadi pada Talita. Selain memang sering mengalami perbedaan pendapat dengan mertua perihal pola asuh, tanggung jawab urusan rumah yang 100 persen ada di pundaknya juga jadi penyebab lain mengapa ia kerap merasa kelelahan.
“Ngurus rumah itu beban juga sih. Karena kan udah capek urus newborn¸ aku juga harus beberes rumah. Belum lagi ada omongan dari mertua kalau rumah harus diurus. Jadi kadang aku sengaja beres-beres saat si kecil tidur. Tapi namanya bayi kan bangunnya enggak teratur. Kadang baru mau beres-beres, dia udah bangun. Saking sibuknya, aku sampai pernah lupa gosok gigi. Se-hectic itu,” kata Talita.
Dalam temuan riset “The Association between Time Spent in Domestic Work and Mental Health among Women and Men” (2023), frekuensi kerja domestik yang tinggi terbukti punya korelasi dengan jeleknya kondisi kesehatan mental seseorang, terutama di kalangan perempuan. Hal ini juga disampaikan oleh Hélène Gatland, seorang Psikolog melalui ABC (Australian Broadcasting Corporation). Dari keterangannya, parental burnout yang banyak terjadi pada perempuan memang disebabkan oleh kesenjangan beban tanggung jawab rumah, yang diperkirakan bahkan mencapai 70 persen.
Terkait temuan ini, Aulia mengatakan bahwa memang, ada internalisasi terkait peran yang bersifat toksik pada perempuan. Sering kali, perempuan terjebak pada rasa bersalah apabila tidak sepenuhnya terjun mengurus rumah. Dan ini, semakin diperparah dengan tuntutan sosial terhadap perempuan untuk menjadi ibu yang sempurna.
“Masa dikasihin ke helper atau ayahnya? Masa dikasihin ke ayahnya pas lagi rewel banget? Masa dikasihin ke helper pas lagi rewel banget?’ Padahal kitanya udah lapar banget gitu,” Aulia mencontohkan situasi.
“Jadi kadang ibu-ibu tuh merasa bersalah bahkan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Belum lagi, secara sosial emang banyak banget tuntutan ke ibu, sehingga kita sebagai perempuan udah kayak terdoktrin begitu,” tambah Aulia.
Baca Juga: Pola Asuh Otoritatif yang Hangat namun Tegas Bermanfaat Bagi Anak
Pentingnya Kerja Sama Antar-pasangan
Ketika dalam kondisi stres yang berat, Nita merasa sangat terbantu dengan kehadiran suaminya yang selalu berupaya berbagi peran. Untuk menyudahi masa sulit tersebut, Nita terbantu dengan kesediaan suaminya yang terus mau berdiskusi dan terlibat dalam urusan anak. Ini jadi salah satu jalan keluar dari kondisi stresnya.
“Penting sekali untuk berdiskusi dan melibatkan suami dalam hal parenting. Di situasi sulit itu, suamiku Alhamdulillah bisa ganti popok anak, mandiin anak, nidurin, nyuapin, dan lainnya. Untuk pekerjaan rumah pun, suami ambil peran,” ungkapnya.
Sama dengan Nita, Talita juga terbantu dengan peran pasangannya yang terus berupaya menjadi mediator antara ia dan ibu mertuanya. Menurut Talita, hal ini penting, terlebih ada perbedaan usia yang jauh dalam memandang cara mengasuh anak. Kerja sama adalah kunci agar bisa keluar dari kondisi stres menjadi orang tua.
“Aku bersyukur sih si Mas tuh banyak bantu untuk nengahin. Langkah konkretnya, suamiku mengupayakan untuk tinggal misah dengan mertua, akhirnya. Mulai dari situ aku jadi lebih punya kebebasan buat nerapin pola asuh ke anak. Dia juga selalu ambil alih urus si kecil kalau udah malam. Jadi aku bisa istirahat,” jelas Talita.
Untuk mengatasi stres dalam pengasuhan, Aulia sendiri sepakat, bahwa kompromi dan kemauan untuk saling memahami antar pasangan, jadi aspek penting yang memang perlu dilakukan. Terlebih, pada beberapa orang tua yang sudah memasuki kondisi stres parah. Dari pengalaman Aulia, pasangan justru sering jadi faktor penghambat dalam penanganan kondisi ini. Untuk itu, kerja sama, keterbukaan, sampai kemauan untuk saling memahami, jadi hal yang mesti ada dalam berumah tangga.
Baca Juga: Pelajaran Soal ‘Parenting’ dari Ibuku yang Anti-Mainstream
’Me Time’ dan Afirmasi Diri adalah Kunci
Meskipun sempat jadi fase yang sulit, baik Diah, Nita, dan Talita, punya cara-cara tersendiri untuk mengatasi stres pengasuhan. Sebagai pekerja yang harus WFO (work from office) setiap hari, Diah sendiri memilih olahraga seperti pound fit setelah kantor sebagai sarana penyaluran stresnya. Satu jam jadi waktu yang cukup untuk mengembalikan kewarasannya.
“Aku sih biasanya pound fit. Nyempet-nyempetin aja sepulang kerja. Meskipun habis itu masih harus main dengan anak. Tapi seenggaknya aku udah jauh lebih happy. Cukuplah itu aku nangis-nangis di kamar mandi. Aku happy, anak juga happy,” kata Diah.
Serupa dengan Diah, Nita pun sering mengambil istirahat dengan sengaja di tengah aktivitasnya sebagai ibu baru. Biasanya, Nita akan meminta waktu 1 sampai 2 jam tanpa diganggu, untuk sekadar menonton serial drama terbaru. Beberapa kali, ia juga menyempatkan pijat, atau berkunjung ke kedai kopi terdekat dari rumah.
“Saat udah merasa di titik lelah, dan stres karena aktivitas menjadi ibu baru, aku langsung minta waktu me-time ke suami tanpa diganggu bayi. Walau cuma sekadar nonton film 2 jam, pijit, atau ngopi santai deket rumah,” jelasnya.
Hal ini juga jadi jalan keluar untuk Talita. Ia yang pecinta kopi, sesekali sengaja mengosongkan satu hari untuk ke luar rumah dan mencicipi kopi di kedai yang ia suka. Ini jitu sebagai variasi kegiatan buat Talita, yang memang selalu ada di rumah sejak kelahiran sang anak.
“Karena sekarang udah semakin besar juga anaknya, aku punya satu hari di mana si kecil stay di daycare. Nah pas momen itu, aku biasanya bengong aja gitu loh di coffee shop. Itu udah lebih dari cukup buatku. Makanya, sekarang juga udah jauh lebih baik secara kondisi mental,” katanya.
Sebagai langkah preventif, penting bagi orang tua untuk memahami apa yang dibutuhkan agar kondisi mental tetap terjaga. Pemahaman ini meliputi jeda yang sering kali diabaikan. Tentu sifatnya tidak akan sama tiap orang tua. Waktu istirahat adalah hal yang perlu ada bagi setiap individu ketika mengasuh anak.
“Kita sebagai orang tua perlu memahami kapan butuh jeda gitu. Jeda ini harus dibuat ya. Enggak boleh nunggu. Enggak boleh ‘nantilah kalau anaknya udah gede’. Itu tadi, bisa dilakukan misalnya sesederhana nyempetin olahraga 30 menit sehari aja. Di rumah doang gitu. Itu tuh udah sangat-sangat membantu. Karena balik lagi parental burnout mempengaruhi fisik kan. Jadi, olahraga itu salah satu bagian penting juga untuk menyeimbangkan metabolisme tubuh,” pungkas Aulia.
Artikel ini diproduksi oleh Magdalene.co sebagai bagian dari kampanye #WaveForEquality, yang didukung oleh Investing in Women, inisiatif program Pemerintah Australia.
Series artikel lain bisa dibaca di sini.