Gender & Sexuality

Monopoli Maskulinitas: Ketika Aku Dipanggil ‘Mas’

Laki-laki tidak memiliki monopoli atas maskulinitas; perempuan tidak memiliki monopoli atas feminitas.

Avatar
  • September 12, 2018
  • 5 min read
  • 1250 Views
Monopoli Maskulinitas: Ketika Aku Dipanggil ‘Mas’

Rambut saya pendek. Kalau tidak ada acara khusus, saya sering kali mengenakan celana jin yang dilipat di mata kaki, sepatu Converse warna merah cherry, dan kaos yang modelnya kurang lebih selalu sama—hanya beda warna. Saya tahu pakaian saya sangat membosankan, tapi apa daya, saya perempuan yang malas.

Pakaian saya sering kali membuat orang memanggil saya “mas”. Apalagi suara saya juga cukup rendah (sampai-sampai ketika ingin berduet A Whole New World waktu karaoke saya selalu kebagian menyanyi bagiannya Aladdin). Bahkan suatu waktu seorang petugas pemasaran menawarkan saya asuransi kesehatan yang mencakup perawatan kanker prostat! Jadi kalau ada orang baru yang tidak bisa melihat wajah saya dengan jelas, mereka akan terus berpikiran saya laki-laki sampai saya mengatakan kalau saya lebih suka dipanggil “mbak.”

 

 

“Kenapa orang-orang selalu manggil gue ‘mas’?” tanya saya pada seorang teman.

Teman saya langsung membalas tanpa ada jeda, “Kalau enggak mau dikira cowok, kenapa baju lu kayak cowok semua.”

Celana jin yang dilipat di mata kaki, sepatu Converse merah cherry, kaos.

Saya tidak pernah berpikir ingin menjadi laki-laki. Walau mungkin kalau saya menjadi laki-laki, saya tidak harus berjuang seberat itu untuk mendapatkan posisi tertentu dalam jenjang profesional. Saya tidak usah takut ada yang mengirimkan pesan kejam atau mengerikan ke akun media sosial saya. Saya tidak perlu begitu takut diperkosa ketika saya harus pulang malam karena bekerja lembur atau habis menonton pemutaran film midnight dengan teman saya yang tinggal di seberang kota. Dan jika saya menjadi laki-laki, mungkin saya tidak merasa khawatir harus mengirimkan pesan pada teman saya malam itu, “Hati-hati ya, nanti kirim screenshot driver ojek online kamu.”

Tapi kita tidak sedang membahas itu, ya? Kita sedang membahas kenapa saya memilih untuk memakai baju laki-laki.

(Perlu saya tekankan bahwa saya adalah perempuan cis yang tidak pernah merasakan dismorfia tubuh. Saya merasa nyaman dengan gender yang ditentukan bagi saya saat lahir, oleh karena itu saya pribadi tidak merasakan ada masalah ketika ada yang keliru mengira saya lelaki (misgendering). Saya yakin semua orang yang pernah mengalami hal tersebut memiliki pengalamannya masing-masing, dan saya juga mengerti bahwa bagi teman-teman transgender khususnya, misgendering dapat menimbulkan trauma yang jauh lebih menyakitkan dari apa pun yang saya rasakan bila dipanggil “mas”. Saya tidak ingin meminimalisir dampak tersebut terhadap komunitas transgender serta betapa pentingnya mendengar kisah mereka terkait hal ini.)

Saya sendiri suka benda-benda yang sering diasosiasikan dengan feminitas. Saya suka gaun musim panas, pita rambut, rok yang bahannya bisa jatuh di sisi pinggul dengan elegan, dan saya suka warna merah muda. Saya suka serial komik cantik, saya suka Sailor Moon, saya suka aksesoris lucu yang sebenarnya tidak saya butuhkan, tapi karena lucu tetap saja saya beli. Saya suka lipstik berwarna pucat, merah tua, dan hitam. Hitam seperti kopi yang sering saya minum dan selalu mengundang pertanyaan tidak jelas dari banyak laki-laki seperti, “Oh, Gita ngopi?”

Saya juga suka hal-hal yang diasosiasikan dengan maskulinitas. Saya suka celana yang dijahit dengan rapi, saya suka sepatu oxford dan sepatu brogue serta topi fedora abu-abu yang dikenakan Don Draper saat pergi ke kantor. Saya suka jas dan dasi kupu-kupu. Saya suka komik pahlawan super, saya suka film western, saya suka warna biru. Saya suka celana jin, sepatu Converse merah cherry, dan kaos.

Laki-laki tidak memiliki monopoli atas maskulinitas; perempuan tidak memiliki monopoli atas feminitas. Cara kita mengekspresikan diri dengan pakaian, hobi atau cara pembawaan masing-masing tidak semestinya mengindikasikan gender kita. Feminin tidak otomatis perempuan, dan maskulin tidak otomatis lelaki.

Idealnya masyarakat kita sudah siap untuk menerima pemikiran tersebut tapi nyatanya tidak juga, ya? Sejujurnya saya sendiri juga ingin bisa percaya pernyataan tadi secara mendarah daging tapi nyatanya belum juga.

Sejak kecil saya telah dipanggil tomboi karena saya suka memanjat pohon, bermain bola, dan tidak suka memakai rok. Dan sejujurnya konotasi tomboi saat itu terasa seperti validasi bagi saya bahwa saya bukan perempuan lemah yang hanya diam dan otomatis menurut perkataan orang tua. Saya merasa diperbolehkan untuk nakal. Saya merasa kuat. Saya merasa seolah masyarakat lebih menghargai saya. Saya merasa seperti halnya laki-laki.

Dari dulu hingga sekarang, jika ada orang yang keliru mengira saya laki-laki, yang biasanya terjadi sebagai berikut: 1) Orang tersebut menyadari ia salah, dan meminta maaf; 2) Saya menertawakannya dan terkadang bisa saya menceritakan kejadian tersebut kepada teman-teman saya setelahnya sebagai pengalaman yang lucu. Tidak ada kerugian yang saya alami dengan orang lain memikir saya laki-laki.

Sebaliknya, kira-kira bagaimana ceritanya jika saya laki-laki yang berpenampilan atau bertingkah feminin?

Mereka menertawakan saya, mereka memanggil saya banci, mereka mengucilkan saya. Mereka menyakiti saya, tidak hanya secara emosional tetapi juga secara fisik. Kenapa istilah “tomboi” tidak mengandung konotasi negatif seperti “banci”?

Saya memang tidak pernah berpikir ingin menjadi laki-laki, tetapi jika dari kecil saya melihat betapa rendahnya masyarakat di sekitar saya menilai feminitas, untuk apa saya merangkul sisi feminin saya? Untuk apa saya bersusah payah memilih baju dan berdandan tiap pagi jika saya bisa saja terus menerus mengenakan celana jin yang dilipat di mata kaki, sepatu Converse merah cherry dan kaos? Pada dasarnya saya memang perempuan yang malas.



#waveforequality


Avatar
About Author

Gita

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *