Nobar Pemilu Inklusif: Dari Prabowo Kita Belajar Apa pun Masalahnya, Makan Solusinya
Catatan dari nobar dan diskusi pemilu inklusif bersama Magdalene, praktisi kesehatan, dan aktivis penyandang disabilitas.
Debat calon presiden (capres) yang kelima sekaligus terakhir baru saja selesai diselenggarakan pada (4/2). Masing-masing capres, Anies Baswedan, Prabowo Subianto, dan Ganjar Pranowo beradu gagasan dan saling melempar pertanyaan satu sama lain. Topiknya seputar kebudayaan, pendidikan, kesejahteraan sosial, teknologi informasi, ketenagakerjaan, sumber daya manusia, dan inklusi.
Di saat bersamaan, para pemerhati dan aktivis berkumpul untuk nonton bareng (nobar) sekaligus mengkritisi substansi debat tersebut. Acara itu terselenggara berkat kerja sama Humanis Foundation bersama Magdalene dan Omong-omong Media di Dialogue, Kemang, Jakarta Selatan.
Sebagai panelis, ada Lita Anggraini (Aktivis Hak PRT dan Pekerja yang Diinformalkan), Nena Hutahean (Aktivis Perempuan Disabilitas), Okky Madasari (Penulis dan Sosiolog), dan Clarisa Magdalene (Policy and Advocacy Manager CISDI). Lalu bertindak sebagai moderator adalah Devi Asmarani (Pemimpin Redaksi Magdalene.co). Diskusi ini sendiri mengambil tajuk #PEMILUINKLUSIF.
Ada beberapa poin dan bahasan menarik yang didiskusikan dari acara itu. Berikut Magdalene rangkum untukmu.
Baca juga: Rangkuman Debat Capres Terakhir: Solusi ‘Mukbang’ Prabowo hingga Disabilitas yang Jadi Token
1. Makan Bergizi, 1 Faskes 1 Nakes, dan Kesehatan Mental
Pada segmen pertama debat capres, masing-masing calon menggaungkan visi-misi mereka. Prabowo bilang ingin membuat program makan bergizi untuk anak-anak Indonesia. Dari bayi masih dalam kandungan, usia sekolah hingga dewasa, dan ibu hamil. Alasannya untuk mengatasi angka kematian ibu, stunting, dan kemiskinan ekstrem.
Ia juga ingin menambah fakultas kedokteran dan memberi beasiswa kepada anak-anak pintar untuk belajar kedokteran dan STEM untuk merebut science.
Lalu Ganjar ingin melakukan gerakan preventif, salah satunya dengan program 1 Desa 1 Faskes 1 Nakes. Tujuannya agar ibu, anak-anak, lansia dan masyarakat adat bisa mendapat akses kesehatan yang sama. Selain itu ingin membuat nasib guru dan dosen menjadi lebih baik dan mengkaji ulang UU Cipta Kerja yang punya banyak lubang.
Sementara, Anies membahas persoalan besar tentang ketimpangan, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan. Ia menyampaikan 45 juta orang sekarang belum bekerja dengan layak, dan lebih dari 70 juta belum mendapatkan jaminan sosial. Ia juga membahas masalah kesehatan mental dan kekerasan seksual.
Clarissa yang hadir dalam diskusi ini mengritisi program para capres di atas. Baginya ada beberapa hal yang perlu diperbaiki dan dikaji ulang, khususnya untuk program makan dan susu gratis dari capres nomor urut dua.
“Apakah kita kalo enggak makan bergizi akan menjadi akar masalahnya? Apa kalo kita makan bergizi akan langsung menyelesaikan semua masalah seperti stunting, angka kematian ibu dan lainnya? Padahal kita bisa melihat akar permasalahannya bukan dari makan bergizi ini tapi bisa dari adanya ketimpangan pangan, sosio ekonomi dan kesetaraan yang rendah, dan susahnya akses untuk mendapatkan makan bergizi tersebut,” ujar Clarissa, (4/2).
Ia juga mengritisi program capres nomor urut tiga tentang program 1 Desa 1 Faskes 1 Nakes. Menurutnya, cara preventif yang ingin dilakukan oleh Ganjar memang baik, tapi perlu juga dievaluasi dulu, apakah daerah tertentu membutuhkan lebih dari satu faskes dan nakes. Atau mungkin daerah lain punya dan kelebihan tenaga kesehatan dan faskes yang tersedia.
Baca juga: Masalah Lain Baliho Politik: Bahayakan Pengguna Jalan dan Jadi Sampah Baru
2. Kebudayaan Bukan Hanya Sejarah Masa Lalu
Di segmen kedua debat capres kemarin ditanyakan tema soal kebudayaan. Okky berkomentar, selama ini kebudayaan sering kali dilihat sebagai tradisi masa lalu dan sesuatu yang bersifat performatif. Padahal kalau membicarakan soal kebudayaan, ada sesuatu yang lebih besar dari itu. Bisa jadi bagian dari dari ideologi sebuah bangsa dan strategi pembangunan negara.
UU Kebudayaan yang bisa membawa arah budaya kita ke komersialisasi itu perlu dihilangkan dan Okky enggak setuju dengan pernyataan ini. Memang ada benarnya tapi enggak sepatutnya dihilangkan begitu saja.
Kita bisa mencontoh Korea Selatan yang bisa mengalahkan Amerika bukan dari masalah ekonomi tapi lewat kebudayaannya. Mereka bisa memanfaatkan kebudayaan ini untuk membangun sebuah negara dan dikenal banyak orang.
“Jadi kebudayaan itu bukan sekadar sejarah masa lalu tapi kita bisa memanfaatkan kebudayaan dan kreativitas anak muda sekarang sebagai kekuatan baru negara,” ungkapnya dalam diskusi yang sama.
3. Bahasa Isyarat yang Tokenism
Anies Baswedan juga sempat memulai sesinya dengan bahasa isyarat, tapi tanpa membuka mulut dan menggerakan bibir. Meski berhasil menarik perhatian, gimik Anies ini dinilai hanya tokenisme—alias aktivisme performatif karena dilakukan tanpa benar-benar mendalami esensi.
Dalam nonton bareng debat Capres bersama Humanis dan Magdalene (4/2), penulis dan aktivis Okky Madasari mengkritisi ketiga capres saat membicarakan inklusivitas. Menurutnya, dalam debat itu inklusivitas tidak dibicarakan sebagai pendekatan dalam semua isu. Sehingga banyak gagasan mereka yang terkesan hanya tokenisme.
Nena Hutahaean lawyer dan aktivis perempuan disabilitas, dalam acara yang sama juga merasa kecewa karena ketika istilah-istilah ableis itu muncul dalam debat, tidak satu pun capres saling mendebat atau mengoreksi penggunaannya.
Ini cerminan sejauh mana pemahaman mereka tentang isu yang sedang dibicarakan.
4. Terminologi yang Tak Inklusif dan Klaim Kosong Prabowo
“Sekarang ada teknologi-teknologi baru yang bisa membantu mereka bisa hidup mandiri dan bisa bekerja hampir mendekati orang-orang normal,” ujar Prabowo ketika mendapat pertanyaan seputar UU Penyandang Disabilitas.
Ia menambahkan, Partai Gerindra yang dipimpinnya mensponsori UU Penyandang Disabilitas dan mendorong agar bisa lolos di DPR.
Nena sebagai aktivis penyandang disabilitas enggak setuju dengan perkataan Prabowo ini. Menurutnya penggunaan kata normal itu sangat tak bisa diterima. Mereka juga normal dan manusia biasa sama seperti teman-teman non disabilitas lain.
“Yang mendorong UU Disabilitas itu adalah komunitas disabilitas. Enggak ada satu pun partai politik yang menginisiasi UU ini. Ia juga yang menyusun UU itu teman-teman disabilitas dan banyak yang dipangkas karena dianggap bermasalah,” ujar Nena.
Satu lagi pertanyaan yang tidak dijawab oleh Prabowo adalah soal konsensi atau potongan beban biaya dari pemerintah pada teman-teman disabilitas. Padahal potongan harga—termasuk pajak ini sangat penting sekali bagi mereka. Contohnya saja ketika mereka ingin menjangkau fasilitas kesehatan yang susah dan mereka harus mengeluarkan banyak biaya dalam sekali jalan.
Baca juga: Baliho ‘Mama Semok’ dan ‘Mama Muda’: Benarkah Ini Objektifikasi dan Seksualisasi Diri?
5. Nasib Guru Honorer yang Enggak Jelas
Ada satu hal yang menarik datang dari audiens ketika diskusi ini berlangsung. Ia adalah seorang mantan guru honorer yang punya pengalaman dengan digaji sebesar Rp100 ribu sebulan. Ia membagikan jika Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebenarnya sangat cukup sekali untuk membiayai para guru honorer dan tenaga lain yang enggak di-cover seperti PNS.
Namun, masalahnya ada di sistem dan kepentingan orang-orang yang jabatan tinggi terkait Dana BOS tersebut. Berdasarkan pengalamannya ketika Dana BOS ini sampai ke daerah, maka pelaku kepentingan masing-masing akan langsung menanyakan jatahnya masing-masing. Contoh seperti kepala sekolah hingga bupati. Mereka sudah merencanakan pembagian Dana BOS bakal seperti apa.
6. Ganjar yang Mode Serang
Ganjar sendiri tampil dengan mode serang sejak diberi kesempatan bicara. Ia tak ragu-ragu menyebut jelek program makan gratis Prabowo, dan menyebut kasus seniman Butet Kertaradjasa yang “diganggu” negara saat bikin seni kritis. Dalam statement-nya, Ganjar juga tak sungkan name-dropping beberapa nama aktivis yang memberi kesan ia paham isu dan situasi.
Serangan pamungkas Ganjar diselipkan dalam pernyataan terakhirnya saat mengutip Presiden Joko Widodo untuk tidak memilih capres “yang punya potongan otoriter, yang punya rekam jejak melanggar ham, dan melakukan kekerasan.”
Namun, statement Ganjar yang menyebut akan merevisi UU Cipta Kerja dinilai bermasalah. Sebab partai pendukungnya adalah fraksi yang menggolkan UU tersebut.
7. Inklusi Belum Dianggap Pendekatan Menyeluruh
Menurut Okky, para capres hanya menganggap inklusi sebagai isu pelengkap, sesuatu yang dianggap amal saja. Padahal justru inklusi inilah inti dan tujuan berbangsa dari serangkaian semua debat yang ada. Ini adalah pembangunan manusia.
“Inklusi harus menjadi approach dalam setiap strategi setiap area. Makanya kita harus tahu dulu apa pemimpin ini sudah tahu apa belum soal inklusi tersebut. Contohnya di sektor pendidikan mau enggak menerima murid yang berbeda agar bisa melihat bagaimana sekolah bisa diakses dan merata ke semua orang,” ujar Okky.
Inklusi ini juga harus mencakup perempuan dan kesetaraan dan menjadikannya masuk dalam setiap sektor pembangunan. Anggaran makan gratis Prabowo itu Rp450 triliun, sedangkan pendidikan yang mencakup semua aspek hanya 665 triliun. Kita bisa lihat adanya gap di situ. Jadi kita patut mempertanyakan apa program itu sudah inklusif apa tidak?
8. Yang Luput Dibicarakan
Debat kali ini memang berisi banyak sekali tema berat, yang memang tak akan bisa dikupas tuntas dalam durasi singkat. Namun, ada beberapa aspek penting terkait tema malam itu yang masih luput dibicarakan. Misalnya, masalah carework dan jaminan hak pada Pekerja Rumah Tangga (PRT). Belum ada satupun paslon yang membahas pekerja perawatan ini dalam beberapa debat. Pekerjaan ini memang sering dianggap sudah selayaknya kodrat perempuan dengan nilai ekonomi rendah.