Obsesi Orang Sunda pada Aci: Cerita Singkong, Kolonialisme, dan Industri Minyak Sawit
Cilok, aci dicolok; cireng, aci digoreng; cimol, aci digemol. Dari mana obsesi orang Sunda pada aci—camilan berbahan tapioka ini?
“Han, kenapa sih orang Sunda terobsesi banget sama aci?”
Pertanyaan itu dilempar teman saya sambil mengirim link konten Instagram Rafael Tan, artis asal Garut, Jawa Barat, yang belakangan viral karena resep seblak coet (cobek) buatannya. Rafael dalam kontennya, baru saja memperkenalkan camilan baru bernama citul, singkatan aci tulang. Bahan dasarnya tepung tapioka atau aci dalam bahasa Sunda.
Saya bisa paham dari mana rasa penasaran yang dilontarkan teman saya ini. Sebagai orang yang tumbuh dan besar di Makassar, Sulawesi Selatan, dia pasti lebih terbiasa dengan makanan olahan ikan. Ketika kuliah di bumi pasundan, tak heran kalau dia bingung melihat obsesi orang Sunda pada aci.
Apalagi, cara bahan pangan ini diolah betul-betul penuh kreativitas. Mulai dari cireng (aci digoreng), cimol (aci digemol-dibikin bulat-bulat kecil) cilok (aci dicolok), cipuk (aci kerupuk), cibay (aci ngagebay), cimin (aci mini), cilung (aci digulung), cilor (aci telor) dan masih banyak lagi jenis-jenis lainnya yang saya sendiri tak hapal.
Sebagai orang USA alias Urang Sunda Asli – yang juga besar di Garut, harus saya akui bahwa camilan berbahan dasar aci sudah dikenalkan pada kami sejak kecil.
Di sekolah, cireng dan cimol jadi jajanan favorit. Saat Ramadan, cireng dan cipuk adalah kudapan wajib berbuka puasa dengan es buah. Ketika bermain masak-masakan bersama teman-teman, seblak yang berbahan dasar kerupuk dan cilok selalu jadi pilihan. Bagi kami yang uang jajannya pas-pasan, aci adalah jalan ninja untuk membuat camilan yang murah meriah, enak dan mengenyangkan.
Tapi, sejak kapan sebetulnya camilan aci-acian ini melekat dan digemari orang Sunda?
Baca juga: Sambal, My Very Own Version of Jewish Penicillin
Kebijakan Menanam Singkong dari Pemerintah Kolonial
Dosen dan Sejarawan dari Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran, Fadly Rahman mengatakan kegemaran orang Sunda pada aci sebetulnya tak lepas dari ketela pohon atau singkong yang dijadikan komoditas oleh pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Pada abad ke-19 pemerintah kolonial banyak mendorong budidaya singkong untuk pengganti pangan, terutama beras di Jawa. Di saat produksi beras tak surplus, singkong dijadikan alternatif pangan untuk dikonsumsi.
“Orang-orang Jawa dan Sunda itu banyak diarahkan untuk mengonsumsi singkong karena sebagai komoditas dia sangat resisten terhadap kondisi iklim apa pun. Nanamnya juga gampang tinggal tancepin aja batangnya udah tumbuh,” ujar penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia itu pada saya.
Menurut Fadly, saat itu popularitas singkong sebagai bahan makanan rakyat juga meningkat seiring terjadinya alih fungsi lahan kopi di dataran tinggi Jawa Barat dan Jawa Timur. Tak seperti jenis umbi-umbian lainnya, singkong selain bisa jadi sumber makanan, juga punya pasar sendiri untuk dijual. Dari sanalah singkong mulai ditanam di berbagai wilayah Jawa Barat seperti Bandung, Garut, dan Bogor.
Komoditas singkong yang melimpah membuat masyarakat mulai berinovasi menciptakan berbagai kudapan dari singkong seperti combro (oncom di jero), misro (amis di jero), kue putri noong, hingga singkong yang difermentasi seperti peuyeum, tambahnya.
Selain itu, melimpahnya pasokan singkong di awal abad ke-20 mendorong para pengusaha terutama dari kalangan Tionghoa untuk mendirikan pabrik tepung tapioka. Mereka mendirikan pabriknya di beberapa wilayah di Jawa Barat.
“Dari sinilah produksi tepung tapioka yang kemudian dinamakan aci oleh orang Sunda makin mudah didapat dan dimanfaatkan dengan membuat olahan aci-acian seperti candil untuk kolak,” ujar Fadly.
Makin beragamnya inovasi olahan aci dari masa ke masa menurut Fadly adalah upaya yang dilakukan oleh orang Sunda ketika dihadapkan pada melonjaknya harga bahan-bahan pangan. Aci yang murah dan terjangkau ditambah kreativitas orang Sunda, membuat ragam cemilan berbahan dasar aci terus muncul.
Biasanya nama yang diberikan adalah akronim dari bahan dasar yang digunakan.
Baca juga: Tidak Menjadi Perempuan Sunda
Populer karena Media Sosial
Orang Sunda sudah dekat dengan olahan aci-acian sejak awal abad ke-20. Dulu camilan berbahan aci hanya dibuat di rumah. Anak-anak bahkan sering menjadikannya bahan bermain, saat main masak-masakan. Kini, camilan aci justru punya industri yang nilai ekonominya baik, saking populernya. Seblak contohnya.
Dulu, waktu kecil hingga remaja, rasanya akan sulit bagi saya menemukan pedagang seblak selain di kawasan Bandung. Sekarang, bahkan saat berkunjung ke Palu, Sulawesi Tengah awal tahun lalu, saya dengan mudahnya bertemu tukang seblak dan cilok.
Peluang usaha karena kian populernya aci juga dimanfaatkan Parman, 45, yang sudah dua tahun ini berjualan cilok di Jakarta Selatan. Ia mengatakan bahwa dulu kuliner orang Sunda yang cukup terkenal adalah batagor dan peuyeum, tapi sekarang, tukang cilok, cimol, seblak, cireng, cilor dan olahan aci lainnya sudah menjamur di Jakarta.
“Ya saya juga ambil peluang lah, lihat orang udah makin tahu soal cilok, cilor, seblak, ya pokoknya aci-acian. Makanya mutusin dagang weh,” ujar Parman pada Magdalene.
Selain itu, Parman menambahkan, berjualan cilok cukup mudah dan murah karena bahan dasarnya dari aci dan terigu yang terjangkau.
Parman hanya satu contoh pedagang di level gerobakan, di ranah lebih besar, usaha cilok, seblak, hingga baso aci bisa punya omzet ratusan juta. Para selebriti seperti Ivan Gunawan, Ruben Onsu, Atta Halilintar, hingga Ashanty juga berbondong-bondong bikin brand bakso aci sendiri.
Menurut Fadly, melejitkan popularitas cemilan berbahan dasar aci juga tak lepas dari peran media sosial. Makanan-makanan seperti seblak yang dulu dibikin rumahan bisa jadi bisnis baru yang menjanjikan berkat promosi di media sosial.
“Sama halnya seperti makanan Korea, kalau tren K-Pop dan drakor enggak ada, mungkin juga gak seterkenal sekarang ya. Apalagi Bandung sebagai kota besar juga jadi kiblat kuliner, orang jadi makin tertarik mencoba kuliner orang Sunda,” imbuh Fadly.
Baca juga: Polemik ‘Food Vlogger’, Magdalena, dan Komen Pasaran ‘Enak Banget Kayak Mau Meninggal’ (1)
“Kemunduran” Kuliner Sunda di Balik Popularitas Camilan Aci-acian
Meski camilan berbahan aci makin dikenal, tak sedikit juga yang mengkritik soal kandungan gizi dan masalah kesehatan yang ditimbulkan jika konsumsinya dilakukan terus-menerus. Apalagi rata-rata camilan dari aci ini lebih banyak digoreng. Tak mengherankan jika banyak yang menilai camilan orang Sunda berbanding terbalik dengan makanan pokoknya yang terkenal sehat.
Fadly mengamini hal ini. Menurutnya, kuliner orang Sunda itu dari dulu dikenal karena lebih banyak sayur, protein nabati, dan sambel. Kuliner orang Sunda justru jarang memakai minyak goreng, bahkan protein hewani yang pengolahannya pun cenderung lebih sehat.
Pais atau pepes misalnya, jadi salah satu andalan orang Sunda untuk memasak ayam, ikan, hingga tahu-tempe. Dalam mengolah umbi-umbian, orang Sunda mengenal istilah bubuy, saat hui atau ubi dimasak di abu bekas bara api memasak di tungku, ujar Fadly.
Pertemuan antara aci dan minyak, kata Fadly, mulai terjadi terutama sejak tahun 90-an, saat pasokan minyak goreng sawit mulai diproduksi secara masif. Padahal, sebelum ada minyak sawit, orang Sunda biasa membuat minyak kletik yang terbuat dari kelapa.
“Minyak ini jadi berpengaruh banyak pada kuliner orang Sunda. Banyak pelaku usaha dan rumah tangga yang jadinya sedikit-dikit digoreng karena dianggap lebih praktis,” tambahnya.
Hal ini cukup disayangkan, ungkap Fadly, apalagi selama ini tak pernah ada pendampingan antara produsen atau konsumen di kalangan masyarakat untuk memahami berbagai konsekuensi saat mengonsumsi olahan aci-acian yang terus-menerus.
Selain itu, popularitas cemilan aci-acian ini juga seolah meminggirkan khazanah kuliner orang Sunda sebenarnya yang sehat dan penuh serat.
“Satu sisi menarik, tapi di sisi lain bisa dibilang kemunduran. Generasi sekarang ini justru enggan konsumsi lalap-lalapan. Kuliner Sunda yang dari dulu dipuji sehat itu jadi disekunderkan. Memang menarik, tapi juga ironis,” kata Fadly.