‘Ode Tusuk Konde’ Simbol Pencarian Keadilan Penyintas Kekerasan
Drama ini mengedepankan narasi pengalaman para penyintas yang selama ini terdengar sayup-sayup.
“Aku bahagia!“ teriak para pemain dan kru pementasan drama musikal “Ode Tusuk Konde” sebelum pementasan dimulai di Goethe Haus, Minggu lalu (10/12).
Mereka pantas bergembira karena tekanan dan ketegangan yang menumpuk selama tiga bulan berlatih akhirnya akan lepas. Tiga bulan memang waktu yang singkat untuk para pemain dan awak pementasan, apalagi jika sebagian besar pemain adalah penyintas kekerasan dan tidak memiliki pengalaman akting.
Digagas oleh Forum Suara Penyintas pada Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK), pementasan ini bertujuan untuk mengedepankan narasi pengalaman para penyintas, yang suaranya selama ini hanya terdengar sayup-sayup.
“(Pementasan ini) juga sebagai salah satu upaya pemulihan bagi para korban melalui bidang seni, sekaligus juga untuk memberdayakan para penyintas,” ujar Veni Siregar selaku Direktur LBH APIK, dalam sambutannya di awal acara.
Siti Rubaidah, salah satu penyintas yang berperan di balik layar sebagai koordinator publikasi, mengatakan bahwa dalam proses latihan dan menggodok naskah, para penyintas diajak untuk berbicara dari hati ke hati dan menceritakan kisah-kisah mereka.
“Ini jadi terapi bagi kami, jadi proses penyembuhan itu pun juga bisa melewati medium seni,” ujar Ida dalam konferensi pers di Art Society, Kemang, beberapa hari sebelum pementasan.
Minggu malam itu, aula Goethe Haus hampir penuh dipadati para penonton yang berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Semua pemain bersiap di posisi masing-masing, menunggu beberapa sambutan selesai, dan lampu sorot di panggung pun perlahan meredup. Alunan senandung yang lirih terdengar diiringi suara musik tradisional dan modern.
Sosok perempuan paruh baya muncul di tengah panggung, ia bernama Mak Ecih (Anggia Yulia Angely). Dalam monolognya, ia bercerita betapa ia sangat suka menari ronggeng. Ia sangat bahagia saat ia menari, dan walaupun lelah ia terus menari dan tersenyum.
Namun kebahagiaan itu direnggut serdadu-serdadu Jepang yang datang dan mengambil Mak Ecih dari kampungnya. Ia dipaksa menari di depan para serdadu itu dan diperkosa secara bergiliran oleh mereka. Sambil terisak, Mak Ecih mengisahkan kekejaman dan kebejatan mereka, dan bagaimana ia sampai hamil. Ketika ia berhasil lepas dari cengkeraman para serdadu itu dan kembali ke kampungnya, semua orang memandangnya dengan jijik, dan orang tuanya bahkan menolak menerima kehadirannya.
Mak Ecih akhirnya pergi dari kampungnya, berjuang sendirian dengan janin dalam kandungannya. Sampailah ia di sebuah tempat tidak dikenal, dan ia putuskan menjadikan tempat itu sebagai tempat para perempuan penyintas kekerasan yang selalu dipandang tidak bermartabat dan distigma sebagai perempuan nakal dan jalang. Ia namakan tempat itu Kampung Jugun, dari Jugun Ianfu (budak seks tentara Jepang pada Perang Dunia II).
Foto: Bunga Kalamanda Soejoso
Cerita berlanjut dengan beragam kekerasan yang dialami oleh para penyintas warga Kampung Jugun, mulai dari kehamilan akibat pemerkosaan, kekerasan dalam rumah tangga, sampai penganiayaan oleh majikan. Tusuk konde sendiri adalah simbol keadilan, yang digambarkan oleh Kembang, anak hasil pemerkosaan, yang mencari tusuk konde peninggalan Mak Ecih sebagai syarat untuk menjadi penari ronggeng.
Kisah-kisah para penyintas ini dirajut secara baik oleh sutradara Agus Tian dengan diawali oleh latar waktu penjajahan Jepang. Narasi “Ode Tusuk Konde” memperlihatkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum memahami perspektif korban.
Pementasan ini berhasil memancing beragam emosi penonton, yang menitikkan air mata, bergidik ngeri, atau terdiam terpaku. Namun beberapa penonton masih belum dapat memperlihatkan respons yang pantas dengan ribut berkomentar, mengobrol dan main ponsel. Mereka juga tertawa di saat yang tidak tepat, seperti saat ibu Kembang yang baru saja melahirkan bayinya dan mengusir semua warga yang membantunya melahirkan beserta anaknya.
“Ode Tusuk Konde” merupakan penutup dari rangkaian acara-acara dalam kampanye 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan. Pementasan ini juga merupakan salah satu upaya untuk mendesak pemerintah agar segera mengesahkan Rancangan Undang-undang Penghapusan kekerasan Seksual.
Seperti wasiat Mak Ecih lewat tusuk kondenya, yang disampaikan Kembang di depan warga Kampung Jugun: “Jika konde adalah laki-laki atau perempuan, maka dia hendaknya saling menguatkan dan saling memberikan rasa aman bagi para korban kekerasan. Jika tusuk konde ini adalah kekuasaan, maka dia hendaknya membuat hukum-hukum, kebijakan untuk melindungi korban kekerasan.”
Baca juga tentang film dokumenter soal penghayat kepercayaan di Indonesia.