December 24, 2025
Issues Opini

‘Ojo Ngenteni Pangeran’: Dongeng yang Membuat Perempuan Jawa Menunggu

Petuah tentang “ngalah” dan “sabar” sering terdengar manis, tapi membentuk perempuan untuk menunggu diselamatkan

  • December 24, 2025
  • 7 min read
  • 122 Views
‘Ojo Ngenteni Pangeran’: Dongeng yang Membuat Perempuan Jawa Menunggu

Anak wedok kuwi kudu iso ngalah, sabar, ojo kakehan protes.”
(Anak perempuan itu harus bisa mengalah, sabar, jangan kebanyakan protes)

Sejak kecil, banyak anak perempuan Jawa tumbuh dengan petuah semacam itu. Dalam bayang budaya yang menjunjung kesantunan, perempuan diajarkan untuk lemah lembut, tidak menentang, dan terbiasa menunggu. Menunggu dipilih, menunggu dinikahi, atau menunggu diselamatkan. Seolah dunia akan lebih tenteram jika perempuan tetap diam, dan cukup “pantas” untuk ditunggu.

Tapi benarkah diam adalah keutamaan, dan menunggu adalah nasib?

Di balik citra budaya yang konon melindungi, ada naskah panjang tentang bagaimana perempuan dibentuk agar tidak merasa utuh tanpa laki-laki. Budaya tutur, tembang dolanan, sampai dongeng rakyat yang diwariskan turun-temurun kerap menempatkan perempuan sebagai sosok yang pasif, sabar, dan setia, sementara laki-laki menjadi penentu jalan cerita. Di banyak kisah masa kecil, tokoh laki-laki adalah penyelamat, dan perempuan adalah yang menanti dijemput atau “dipinang”.

Baca Juga: Benarkah Perempuan Harus Meredup Setelah Menikah?

Dongeng yang membiasakan menunggu

Di ruang-ruang sunyi tempat anak perempuan belajar memahami dunia, dongeng itu berulang dalam berbagai bentuk: bahagia akan datang ketika seseorang datang menjemput; keselamatan tak perlu dicari, cukup ditunggu. Lama-lama, ia berubah menjadi keyakinan tak kasat mata: menjadi perempuan berarti menanti, bukan mencari; menyesuaikan diri, bukan mengenali diri.

Polanya bisa terlihat sejak kecil. Anak laki-laki sering didorong untuk “berani”, “coba saja”, “jatuh nanti bangun”. Anak perempuan lebih sering diberi rambu: “jangan keras-keras”, “jangan kelihatan ambisius”, “ora penak”. Nasihat itu terdengar manis, tapi menyimpan pesan halus: jangan terlalu menonjol, jangan terlalu menentukan.

Di banyak keluarga, masa remaja yang mestinya jadi waktu membangun kepercayaan diri, sering berubah jadi latihan menjadi “anak wedok sing apik”. Pencarian diri bergeser menjadi kebiasaan menyesuaikan diri. Pertanyaan “siapa aku” sering kalah oleh “apa kata orang”. Dari situ perempuan belajar satu hal yang tampak aman: kalau kita tidak merepotkan, hidup akan lebih mudah.

Masalahnya, pola pikir “lebih mudah” itu menempel sampai dewasa. Ketika hidup menuntut keputusan besar—kuliah, kerja, pindah kota, memilih pasangan—banyak perempuan merasa harus “minta izin” pada banyak pihak, bukan sekadar berdiskusi. Bahkan ketika kemampuan ada, ada yang mundur karena takut dicap “terlalu jauh”, “terlalu tinggi”, atau “kebanyakan maunya”. Rasa bersalah menyelinap: kalau aku memilih untukku sendiri, apakah aku egois? Apakah aku durhaka?

Di sinilah konsep yang dikenal sebagai Cinderella Complex terasa relevan: ketakutan halus untuk berdiri sendiri, disertai harapan bahwa akan ada figur penyelamat yang membuat hidup terasa aman. Ini tidak selalu hadir sebagai mimpi literal tentang pangeran. Kadang ia muncul sebagai kebutuhan untuk selalu ditemani, selalu dibimbing, selalu “dipegangi” dalam keputusan. Bahkan relasi yang timpang bisa dipertahankan, karena alternatifnya, lajang dan sendiri, terasa lebih menakutkan.

Yang rumit, pola ini sering dianggap wajar karena dibungkus sebagai kesantunan. “Ngalah” dan “sabar” sebenarnya bukan nilai buruk. Ia bisa menjadi cara merawat hubungan, menahan diri dari reaksi impulsif, dan menjaga suasana tetap adem. Tetapi ketika nilai itu dipakai untuk meminta perempuan menelan ketidakadilan, menahan suara, dan menukar diri demi ketenteraman orang lain, ia berubah menjadi beban.

Kita juga melihat dampaknya di ruang sosial. Perempuan lajang, perempuan mapan, atau janda sering menghadapi tatapan kasihan atau curiga. Mereka yang memilih berdiri sendiri jarang dirayakan sebagai pribadi yang berani, tapi lebih sering ditempeli label “tidak laku”, “terlalu keras”, “terlalu mandiri”. Padahal banyak dari mereka sedang melakukan hal yang paling sulit: memutus kebiasaan menunggu dan mulai berjalan.

Tekanan itu tidak berhenti di cerita. Suharto dan Kusuma (2021) mencatat bahwa 67 persen perempuan muda di Jawa Timur merasa mengalami tekanan sosial dalam menentukan arah hidupnya sendiri. Tekanan itu datang dari keluarga, tetangga, sampai narasi tentang “perempuan baik-baik”. Seakan kemandirian adalah bentuk pembangkangan yang harus ditekan secara halus namun konsisten. Data Bank Dunia (2023) juga menunjukkan partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia sekitar 53 persen, lebih rendah dibandingkan laki-laki. Angka ini tidak berdiri sendiri, tetapi sering berkaitan dengan tembok sosial. Bagaimana beban domestik yang dianggap kodrat, ekspektasi untuk “di rumah saja”, dan rasa bersalah ketika perempuan dianggap “terlalu ambisius”.

Dan pada akhirnya, dunia nyata tidak seindah dongeng. Pangeran tidak selalu datang. Kalau pun datang, belum tentu membawa kebahagiaan. Kebaya yang rapi dan tutur yang lembut kadang menutupi keresahan yang dalam: takut berdiri sendiri, takut bersuara, takut menentukan arah hidup. Dongeng tentang ngalah dan diam menyimpan luka karena perempuan tidak pernah benar-benar diajak menjadi dirinya sendiri.

Baca Juga: Beban Perempuan-Pekerja-Urban dan Pertanyaan ‘Yakin Nikah’?

Menulis ulang warisan: Lembut tanpa kehilangan suara

Yang perlu diubah bukan budaya Jawa sebagai keseluruhan, melainkan cara kita membacanya. Budaya bukan sesuatu yang harus ditolak mentah-mentah, tapi juga tidak bisa diterima begitu saja tanpa refleksi. Di balik tembang dan petuah, ada nilai yang layak dirawat, seperti kelembutan, kesopanan, dan gotong royong. Namun nilai-nilai itu tidak harus berdiri di atas pengorbanan keberanian, kemandirian, dan suara perempuan.

Kita bisa mulai dari rumah sebagai sekolah pertama. Petuah lama tidak selalu buruk, tetapi perlu ditempatkan dengan hati-hati. “Ngalah” bisa diajarkan sebagai kemampuan bernegosiasi, bukan kewajiban mengalah terus-menerus. “Sabar” bisa dimaknai sebagai ketangguhan, bukan alasan untuk bertahan dalam situasi yang menyakitkan. Dan “ora penak” bisa digeser: kadang yang tidak enak justru ketika kita terus menahan diri sampai lupa apa yang kita mau.

Anak perempuan berhak mendengar kalimat lain selain “jangan banyak protes”. Mereka berhak mendengar “kamu boleh punya pendapat”, “kamu boleh salah”, “kamu boleh berubah pikiran”, “kamu boleh memilih”. Jika anak laki-laki diajarkan berani, anak perempuan juga perlu diajarkan hal yang sama. Bukan untuk menjadi keras, tetapi untuk tidak takut mengambil tempat.

Kita tahu, anak menyerap norma dari lingkungan terdekatnya. Sandra Bem (1981) menyebut ini sebagai gender schema, atau cara anak menyusun “peta” tentang peran laki-laki dan perempuan, yang kemudian memengaruhi cara mereka berpikir, merasa, dan bertindak. Karena itu, pola asuh menjadi kunci.

Penelitian Wijaya, Noviekayati & Ananta (2023) menunjukkan bahwa pola asuh permisif-indulgent—terlalu memanjakan tanpa batasan—dapat meningkatkan kecenderungan Cinderella Complex. Anak perempuan yang selalu dibantu dan dilindungi secara berlebihan cenderung tidak mengembangkan kepercayaan diri untuk menghadapi tantangan sendiri. Sementara pola asuh otoriter yang menekankan kendali ketat, seperti dijelaskan Mardhotillah dan Agustriarini (2021), juga dapat menekan inisiatif dan rasa percaya diri, sehingga anak lebih takut mengambil keputusan.

Di sisi lain, ada temuan yang memberi harapan: pola asuh yang lebih sadar gender dan mendorong kematangan pribadi bisa menjadi pelindung. Anggriany & Astuti (2021) menemukan bahwa semakin sadar orang tua pada nilai kesetaraan gender dalam pengasuhan, semakin rendah kecenderungan Cinderella Complex pada anak perempuan. Zahrawaany dan Fasikhah (2019) juga menunjukkan bahwa perempuan dengan kematangan pribadi yang tinggi—yang mengenal dan menerima dirinya—lebih kecil kemungkinannya mengalami ketergantungan emosional pada pasangan.

Selain rumah, sekolah dan media juga punya peran besar. Cerita yang kita ulang membentuk imajinasi. Kalau yang terus disajikan adalah kisah perempuan yang dibahagiakan karena dipilih, wajar bila banyak anak perempuan tumbuh dengan perasaan bahwa dirinya baru lengkap ketika “ada yang datang”. Kita butuh lebih banyak cerita tentang perempuan yang bergerak: yang belajar, bekerja, berteman, gagal, bangkit, dan tetap utuh—dengan pasangan atau tanpa pasangan.

Menulis ulang dongeng bukan berarti membuang semua yang lama. Ini soal memilih mana yang ingin diteruskan. Kesantunan bisa tetap hidup tanpa meminta perempuan mengecil. Kelembutan bisa tetap ada tanpa membuat perempuan diam. Kita bisa tetap menjaga harmoni tanpa menjadikan perempuan sebagai pihak yang selalu menanggung biaya harmoni itu sendirian.

Pada akhirnya, “ojo ngenteni pangeran” bukan ajakan untuk membenci cinta atau menolak hubungan. Ini ajakan untuk tidak menggantungkan harga diri dan arah hidup pada siapa pun. Relasi yang sehat bukan tentang diselamatkan, melainkan tentang bertemu sebagai dua pribadi yang sama-sama utuh.

Perempuan Jawa hari ini tidak harus menjadi putri dalam dongeng yang menunggu dijemput. Mereka bisa menjadi penulis kisahnya sendiri. Bukan lagi “ojo wani urip dewe” (jangan berani hidup sendiri), melainkan ojo wedi dadi awake dewe—jangan takut jadi diri sendiri.

About Author

Inge Bondan Pratiwi