Oligarki di Balik Bisnis Transisi Energi Biomassa
Pemerintah mendorong energi biomassa sebagai energi baru dan terbarukan. Sayangnya, energi ini jadi lahan bisnis baru para oligarki yang kembali rugikan rakyat
Sektor energi kini memegang peran sentral dalam upaya pemerintah Indonesia mencapai target net zero emission (NZE) di tahun 2060. Peningkatan pemanfaatan energi baru dan energi terbarukan (EBT) dan implementasi co-firing pada PLTU adalah dua dari beberapa strategi utama yang sengaja digodok pemerintah untuk mencapai target ini.
Direktur Bioenergi, Direktorat Jenderal EBTKE, Andriah Feby Misna dalam keterangan pada kegiatan Webinar Bioshare Series #6 2021 lalu mengungkapkan salah satu sumber EBT yang berperan besar dalam pencapaian target NZE adalah melalui program bioenergi (energi yang diperoleh, dibangkitkan, dan atau berasal dari biomassa).
“Ini satu-satunya sumber energi bersih yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber listrik maupun non-listrik,” tuturnya.
Presiden dan Wakil Presiden terpilih Prabowo dan Gibran Rakabuming mengutip dari Tempo.co kemudian juga menyampaikan bahwa Indonesia akan menjadi raja energi hijau dunia, salah satunya melalui pemanfaatan biomassa kayu sebagai sumber energi listrik. Senada dengan Andriah, pemanfaatan biomassa dengan teknologi co-firing ini juga diklaim sebagai sumber energi alternatif bahan bakar fosil yang netral karbon alias bersih, sehingga berpeluang emas menurunkan emisi gas rumah kaca.
Tidak semanis apa kata para pejabat pemerintahan, Trend Asia melalui riset Ancaman Deforestasi Tanaman Energi justru mendapati klaim ini bertentangan. Melalui perhitungan yang dilakukan Trend Asia ditemukan ada kebutuhan lahan yang masif untuk membangun Hutan Tanaman Energi (HTE) demi memasok bahan baku biomassa pelet kayu bagi 107 unit PLTU di 52 lokasi yang menerapkan co-firing. Jika HTE menggunakan jenis tanaman gamal, maka dibutuhkan konsesi seluas 7.781.626 hektar (tertinggi) atau bila menanam lamtoro gung dibutuhkan konsensi seluas 2.334.488 hektar (terendah).
Proyeksi terendah kebutuhan konsesi HTE sama dengan 35 kali luas daratan DKI Jakarta atau setara dengan 3.270.000 lapangan sepak bola, sehingga terlihat jelas bagaimana potensi deforestasi besar-besaran bakal terjadi dan menimbulkan hutang karbon yang akan memakan waktu puluhan tahun untuk dilunasi.
Baca Juga: ‘Saya dan Keadilan’: Ubah Paradigma Lingkungan yang Berpusat pada Manusia
Sumber Cuan Baru para Oligarki
Dalam penelitian Trend Asia lain berjudul Adu Klaim Menurunkan Emisi menemukan proses produksi kayu bakal menghasilkan net emisi 26,48 juta ton emisi karbon. Undang-Undang Cipta Kerja kemudian punya peran penting dalam mengenalkan perizinan multi-usaha dalam bidang kehutanan. Perizinan multi-usaha memungkinkan pelaku usaha bermain dalam sektor energi ini dengan mengembangkan berbagai model usaha dalam satu areal konsesi pemanfaatan hutannya, tapi minim pelibatan masyarakat dalam rantai pasok penyediaannya.
Trend Asia kemudian melihat secara kritis implementasi biomassa, termasuk aktor-aktornya dalam laporan Penangguk Cuan Transisi Energi yang baru-baru ini mereka terbitkan. Amalya Oktaviani, Manajer Program Biomassa, Trend Asia dalam perilisan riset 24 Juni lalu mengungkapkan bahwa rantai suplai biomassa didominasi oleh oligarki dari industri kayu.
“Pelaku usaha yang terlibat dalam bisnis kayu energi merupakan pemain lama dan kuat di industri kayu. Mereka diuntungkan dari implementasi program co-firing karena berhasil memperoleh jenis bisnis baru, menutup keterlibatan pihak lain, terutama masyarakat, serta memastikan perolehan insentif dari pemerintah,” jelas Amalya.
Nama-nama grup besar yang memang sudah lama terjun di bisnis kayu ditemukan dalam riset ini. Mereka di antaranya adalah APP Sinarmas Group, Sampoerna Group, Salim Group, Medco, Barito Pacific Group, Jhonlin Group, dan Wilmar. Beberapa dari grup tersebut kata Amalya, seperti Sinarmas dan Wilmar juga terkait dengan bisnis bioenergi lain, yaitu biodiesel, dan menerima insentif dari Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.
Tak cuma berkaitan dengan skema bisnis energi “bersih”, konglomerasi tersebut nyatanya juga terkait dengan bisnis energi kotor.
Baca Juga: Energi Terbarukan Muncul di Desa, Pemerintah Harus Dukung
“Jhonlin Group dan Barito Pacific Group misalnya punya anak perusahaan yang menjadi pemasok batubara. Sementara Wilmar Group juga terlibat dalam investasi PLTU Sumatera Utara-2,” tutur Amalya.
Ada pula orang terdekat Presiden Joko Widodo dan nama pejabat di pemerintahan yang ikut bermain dalam bisnis menggiurkan ini. Sosok yang menonjol salah satunya adalah Andi Syamsuddin Arsyad alias Haji Isam, pemilik Jhonlin Group. Haji Isam adalah orang dekat Presiden Joko Widodo. la sempat menjabat wakil bendahara Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma’ruf Amin dalam pemilihan umum presiden 2019.
Haji Salim tak cuma jadi pemain penting di penambangan batu bara lewat anak perusahaannya PT Jhonlin Baratama, ia kini juga merambah ke bidang usaha pembuatan pelet kayu lewat anak perusahaannya yang lain, yaitu PT Jhonlin Agro Mandiri (PT JAM).
Direktorat Usaha Hutan Produksi KLHK menyebutkan, PT JAM merencanakan penanaman tanaman energi pada 2015-2024 seluas 7.384 hektar dari total area konsesi 17.730 hektare. Hingga 2022 PT JAM merealisasikan penanaman jabon dan sengon di area seluas 1.694 hektare.
Salah satu pemegang saham PT JAM sendiri juga adalah Soenarko Danu Ardanto, purnawirawan Polri dengan pangkat inspektur jenderal yang menempati sejumlah posisi sebagai Kepala Kepolisian Bali dan Jawa Barat. Setelah pensiun, Soenarko masuk ke PT JAM.
Pemegang saham lain dari JAM kemudian adalah Hanny Kuncoro Hendarso, anak pertama dari Bambang Hendarso Danuri, Kapolri periode 2008-2010. Keterlibatan purnawirawan Polri dalam skema bisnis energi semakin terang benderang. Ini sekaligus memperlihatkan bagaimana PT JAM melengkapi portofolio bisnis Jhonlin group. Bisnis yang diklaim oleh Trend Asia cukup banyak menimbulkan kontroversi seperti menabrak aturan tata ruang dan program Kementerian.
Baca juga: Problem Perempuan Penjaga Hutan: Akses Minim hingga Kesenjangan Upah
Aktor Lama yang Punya Catatan Kelam
Tidak ada hal baik yang tercipta dari monopoli bisnis yang dilakukan oligarki. Monopoli cuma menciptakan lingkaran setan bagi tak hanya bagi lingkungan, tetapi masyarakat adat yang mendiami hutan atau lahan tempat bisnis para oligarki. Oligarki bermain kasar. Tanpa pelibatan bahkan persetujuan, mereka memasuki hutan atau lahan, tempat masyarakat adat bergantung dalam segala aspek kehidupan, sehingga menimbulkan konflik tak berkesudahan.
“Kami mendapati banyak dari korporasi tersebut bermasalah secara sosial dan lingkungan, baik melakukan perampasan lahan masyarakat adat, konflik dengan petani, maupun berada di kawasan gambut. Jadi tidak hanya klaim tentang ekonomi kerakyatan mampu terbantahkan, tapi ini juga menunjukkan bahwa transisi energi lewat biomassa kayu hanya bisnis,” tutur Amalya.
Dalam penuturannya Amalya kemudian memberikan contoh kasus PT. Sadhana Arifnusa (SAN), anak perusahaan dari Sampoerna Group. PT SAN merupakan pelaku usaha THE yang punya rekam buruk dalam konflik lahan. Saat mereka mendapatkan izin konsesi pada 2011, mereka berkonflik dengan masyarakat di Lombok Utara, meliputi Desa Sambik, Bayan, Loloan dan Baturakit. Lahan yang dimanfaatkan masyarakat untuk lahan garapan, permukiman, rumah kebun dan kandang ternak, dibabat oleh mereka.
Konflik lahan juga terjadi di area konsesi PT SAN di Lombok Timur. Masyarakat Desa Lendang Tengak dan Deduman, Kecamatan Sambella tak cuma dapat intimidasi dari orang suruhan perusahaan. Masyarakat juga dibatasi melakukan kegiatan pertanian, dan bahkan tidak diperbolehkan mencari kayu bakar. PT SAN parahnya lagi justru merusak hutan dengan menebangi pohon-pohon yang sudah ditanam masyarakat.
Selain PT SAN, ada pula PT Selaras Inti Semesta (PT SIS) yang memiliki keterhubungan dengan Medco Group. PT SIS aktif melakukan kegiatan dan penebangan pohon di tanah ulayat Suku Malind di Kampung Zanegi, Distrik Animha, Kabupaten Merauke selama 2009-2016. PT SIS mengklaim memiliki perjanjian dengan masyarakat Zanegi tahun 2009, termasuk soal kompensasi Rp 2.000 per meter kubik kayu hasil panen hutan alam. Padahal, masyarakat merasa tak pernah menyetujui kompensasi yang sangat jauh dari harga.
Lewat catatan kelam yang dibawa oleh para pemain lama inilah, Anggi Putra Prayoha, Manajer Kampanye dan Intervensi Kebijakan Forest Watch Indonesia (FWI) kemudian menegaskan kembali bahwa agenda transisi energi yang digembar-gemborkan pemerintah nyatanya memang cuma bisnis semata. Transisi energi yang dicanangkan pemerintah tak pernah memberikan solusi yang tepat dengan partisipasi masyarakat sebagai fondasinya. Sebaliknya, pemerintah cuma menawarkan solusi palsu dengan keterlibatan masyarakat terbatas pada remah-remah saja.
Petani-petani dilibatkan hanya sebagai buruh perkebunan murah, sementara UMKM perkayuan hanya terlibat menyuplai limbah, seperti serbuk kayu, dengan harga murah. Dalam rantai suplai pun, ia didominasi oleh cukong dan badan usaha yang terafiliasi dengan PLTU.
“Jadi jangan ini (transisi energi) jangan dikaitkan dengan upaya pengurangan emisi dan upaya meningkatkan bauran energi nasional. Ini justru jadi bisnis energi yang menjadi pendorong deforestasi baru di Indonesia. Bahkan deforestasi secara terencana seluas 420 ribu hektare hutan alam di dalam 31 konsesi HTE,” tutup Anggi.