Gender & Sexuality

Pameran Seni Tunjukkan Tak Ada Kaitan antara Pakaian dan Kekerasan Seksual

Pameran 'Saat Itu Aku...' menunjukkan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi pada siapa pun dan tidak pernah merupakan kesalahan korban.

Avatar
  • December 4, 2018
  • 3 min read
  • 806 Views
Pameran Seni Tunjukkan Tak Ada Kaitan antara Pakaian dan Kekerasan Seksual

Banyak pihak yang  masih sering menyalahkan gaya berpakaian korban yang dianggap “mengundang” kekerasan seksual, namun sebuah pameran seni instalasi di Jakarta berupaya mengubah persepsi itu.

Diadakan dalam rangka 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP), gerakan global melawan kekerasan berbasis gender, pameran bertajuk “Saat Itu Aku…” menampilkan replika pakaian yang dipakai para korban penganiayaan dan pelecehan seksual saat kejahatan itu terjadi, berikut cerita yag menyertainya. Hal ini untuk menekankan bahwa pemilihan pakaian tak lantas menyebabkan ataupun mencegah terjadinya kekerasan seksual.

 

 

“Kami ingin memberi pandangan baru bahwa perempuan yang menjadi korban bukan hanya perempuan yang pulang malam atau berbaju seksi,” jelas Ayunita Xiao Wei, kurator dari Pamflet Generasi, sebuah organisasi yang berfokus pada gerakan anak muda.

Merupakan bagian dari rangkaian acara 16 Film Festival, pameran yang berlangsung di Paviliun 28 sampai 10 Desember ini diinisiasi dan dikurasi Pamflet Generasi dan lembaga riset Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, Universitas Indonesia. Dalam pameran ini, Pamflet Generasi mewakili Koalisi Indonesia untuk Keberagaman dan Seksualitas (KITASAMA) yang melibatkan 12 organisasi yang berkecimpung di isu kesehatan reproduksi, hak asasi manusia, dan keberagaman, seperti Aliansi Satu Visi, Ardhanary Institute, dan Sanggar Waria Remaja.

Cerita-cerita dalam pameran “Saat Itu Aku…” dikumpulkan dari data organisasi-organisasi yang berfokus mengentas isu pelecehan seksual di Indonesia, yakni Never Okay Project dan Hollaback Indonesia. Cerita dipublikasikan atas seizin korban serta dengan detil kronologi kejadian tertulis yang juga telah disetujui oleh korban.

“Kami ingin menyadarkan bahwa kekerasan seksual bisa terjadi pada siapapun, dan itu tidak pernah salah korban,” ujar Fatimah Az-Zahro, dari Pusat Kajian Gender dan Seksualitas, Universitas Indonesia.

Ada delapan kasus kekerasan seksual yang diangkat, yang terjadi pada individu dari berbagai identitas dan latar belakang, mulai dari siswa sekolah dasar, perempuan dewasa, karyawan laki-laki, hingga waria atau transpuan. Salah satu kasus melibatkan seorang mahasiswi yang mengenakan gamis longgar, rok panjang dan berhijab. Ketika ia naik angkot menuju kampusnya, seorang supir angkot berpeci meraba pahanya dengan tatapan nafsu.

Pada kasus lain, seorang guru menceritakan pengalamannya difoto diam-diam, direkam, serta tangan dan tubuhnya dipegang-pegang oleh kawan kerja serta kepala sekolah di tempat ia mengajar. Ia mengenakan pakaian seragam mengajar yang serba panjang dan hijab.

Ada pula seorang perempuan yang menceritakan pengalaman menyakitkan di masa kecilnya, ketika seorang bapak tukang pijat yang dipercaya ibunya memijat liang vaginanya sambil berkata, “Kamu sering menahan kencing ya? Ini saya benerin ya.”

Kisah-kisah lainnya menyoroti perisakan di lingkungan kerja, kekerasan dalam pacaran, serta diskriminasi terhadap kelompok transpuan.

Pameran “Saat Itu Aku…” mengingatkan betapa pentingnya meninggalkan rasa tabu dan saru yang menyebabkan kisah-kisah pelecehan seksual urung diceritakan. Sudah saatnya kita mengakui bahwa memang pelecehan seksual dapat terjadi pada siapa saja, kapan saja, di mana saja, siapapun kita, dan apapun yang kita kenakan—karena jika korban hanya bungkam maka pelaku akan terus berkeliaran tanpa pernah menghadapi konsekuensi atas perbuatannya.

Kanal YouTube ini mengkritik tajam acara-acara televisi di Indonesia.

*Ilustrasi oleh Karina Tungari



#waveforequality


Avatar
About Author

Ayunda Nurvitasari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *