Partisipasi Politik Perempuan Tak Boleh Hanya Angka
Pemilu segera tiba, caleg perempuan jangan cuma memenuhi kuota saja.
Pada 2021, Komite Nasional (Komnas) Perempuan mencatat terdapat 441 Peraturan Daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan. Salah satu hal yang menjadi hulu persoalan ini adalah peran perempuan yang masih minim dalam aktivitas politik di Indonesia. Politik sendiri pada hakikatnya adalah upaya untuk merebut peran kekuasaan serta akses dan kontrol dalam pengambilan keputusan serta kebijakan publik.
Ketika masih didominasi oleh laki-laki, maka sangat sulit untuk mengharapkan terciptanya peraturan dan kebijakan yang ramah akan perempuan dan memperhatikan kesejahteraan perempuan. Maka dari itu, perempuan harus turut serta dalam bidang politik guna menciptakan kesetaraan gender dalam proses pengambilan keputusan dan upaya kontrol terhadap kekuasaan.
Meskipun dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 55 mengamanatkan keterwakilan perempuan harus mencapai angka 30 persen dalam daftar calon legislatif, namun tingkat keterpilihannya masih belum menyentuh angka tersebut (Very Wahyudi, 2018). Bisa dilihat dari hasil Pemilihan Umum 2019 baru mencapai 20,5 persen dengan jumlah 118 anggota perempuan dari 575 total anggota DPR RI (Juniar, 2019). Aksi Afirmatif yang diamanatkan dalam UU Nomor 8 Tahun 2012 Pasal 55 memang merupakan bentuk pengejawantahan dari paham feminisme liberal yang menuntut adanya kebebasan individu dan kesetaraan rasionalitas antara perempuan dan laki-laki (Siti, 2020).
Namun, setelah adanya kebijakan yang berlandaskan paham feminisme liberal, pada realitasnya masih terdapat kendala. Meskipun keterwakilan perempuan di parlemen mengalami kenaikan jumlah yang signifikan, tetapi masih urung melakukan perubahan terhadap pola atau budaya legislasi di gedung perwakilan rakyat.
Baca Juga: Lagi, Pejabat Remehkan Kasus Pelecehan Seksual: Sudah Saatnya Berubah, Pak, Bu!
Kita bisa lihat, di masa kepemimpinan Puan Maharani sebagai Ketua DPR RI, rancangan kebijakan pro-kesejahteraan perempuan seperti UU PPKS dan RUU PPRT masih saja sukar diperjuangkan, padahal Ketua DPR adalah seorang perempuan. Hal ini menunjukan bahwa keterwakilan jumlah saja, yang berdasarkan paham feminisme liberal, tak cukup untuk menjamin sebuah parlemen dapat mengeluarkan kebijakan yang ramah terhadap perempuan.
Kendala Partisipasi Perempuan dalam Politik
Seperti yang sudah diketahui, UU di Indonesia telah mengamanatkan adanya tindakan afirmatif 30 persen calon anggota parlemen di partai peserta pemilu. Namun, hal ini tidaklah cukup untuk menjamin kualitas produk legislasi yang akan dikeluarkan benar-benar berpihak kepada kepentingan perempuan. Salah satu faktor penyebab sulitnya perempuan berperan aktif dalam pengambilan keputusan di parlemen adalah sifat kelembagaan politik yang sangat maskulin.
Laki-laki sangat dominan dalam membentuk budaya dan aturan main dalam politik sehingga semua ukuran ideal ditentukan menurut preferensi laki-laki. Lebih jauh lagi, kultur politik yang maskulin seperti didasarkan pada konsep kompetisi dan konfrontasi sangat jauh dari pendekatan feminin (Balington dan Sakuntala, 2002). Hal ini membuat perempuan urung terjun ke dalam politik dan meski berhasil terjun, mereka kurang bisa berpartisipasi karena terjerat kultur politik yang maskulin.
Selain itu, penempatan calon legislatif perempuan yang hanya sebatas memenuhi syarat UU menyebabkan partisipasinya kurang dihargai, bahkan terkesan sengaja untuk tidak terpilih oleh partainya. Kurangnya dukungan dari partai ini, diakibatkan oleh posisi strategisnya yang masih dikuasai oleh laki-laki, sehingga kulturnya masih sangat patriarki dan maskulin, menyebabkan tidak terciptanya kesetaraan dalam mendukung calon-calon legislatifnya.
Perempuan yang terjun dalam pemerintahan dan mengambil peran dalam pengambilan kebijakan juga akan mendapat kendala ideologis dan psikologis. Perempuan yang masuk ke dalam dunia politik, selalu dipaksa untuk mengikuti kultur maskulinitas yang sudah tertanam lama. Hal ini membuat suara mereka akan didengar jika berusaha bersikap layaknya laki-laki.
Baca juga: Adopsi Energi Terbarukan: Perempuan Bergerak, Perempuan Berdaya
Perempuan tak leluasa menunjukan perbedaan mereka secara seksual dalam perdebatan-perdebatan di parlemen, tetapi dipaksa untuk bersikap non-seksual dan cenderung menjadi maskulin sehingga perspektif dalam argumentasi yang disampaikan akan seragam. Dengan ini, perwakilan perempuan yang ada di parlemen tak bisa menunjukan sikap dan argumentasinya yang menonjolkan sisi keperempuanannya. Tentunya, hal tersebut membuat kebijakan yang dihasilkan kemungkinan kecil berpihak kepada perempuan.
Dari berbagai uraian di atas, permasalahan partisipasi perempuan dalam politik tidak cukup hanya dianalisis menggunakan sudut pandang feminisme liberal yang hanya mensyaratkan kesamaan hak lewat adanya kebijakan aksi afirmatif.
Tetapi perlu ditilik lebih jauh menggunakan pemikiran feminisme radikal yang memahami melihat bahwa negara didominasi oleh budaya patriarki yang bersifat maskulin (Siti, 2020). Tak hanya laki-laki saja yang bisa terjebak dalam sifat-sifat maskulin dalam kelembagaan politik, tetapi perempuan juga dapat menganut hal tersebut. Maka, persamaan hak dan aksi afirmatif semata tak cukup untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan publik yang berpihak kepada perempuan, tetapi perlu perubahan budaya dan cara pandang secara kelembagaan.
Strategi Mendorong Partisipasi Perempuan
Kelembagaan politik yang masih sangat bersifat maskulin harus direduksi dengan perbedaan yang muncul lewat partisipasi berarti para politisi perempuan. Maka dari itu, meskipun jumlahnya masih minoritas dalam parlemen, namun jika para politisi perempuan ini berani untuk membuat sebuah perbedaan dalam argumentasi, maka pengaruh mereka untuk menciptakan kebijakan yang berpihak kepada perempuan semakin terbuka lebar. Ketimbang para politisi perempuan tersebut terbawa arus untuk serupa dengan laki-laki.
Drude Dahlerup dalam risetnya, kepada anggota parlemen perempuan di negara Skandinavia, menunjukan jika para politisi tersebut tak hanya berpuas diri dengan cukup dirinya yang menjadi anggota parlemen, tetapi mereka aktif untuk merekrut dan mengkader perempuan lain yang berpotensi bergabung dalam parlemen (Balington dan Sakuntala, 2002). Hal ini memungkinakan agar suara mereka dalam parlemen akan semakin kuat dan membuka peluang besar memberi pengaruh kepada kebijakan yang dikeluarkan. Cara-cara seperti ini mungkin masih kurang dilakukan oleh para politisi perempuan di Indonesia. Majunya perempuan sebagai anggota parlemen tak lain biasanya dorong dari laki-laki seperti suami atau ayahnya. Hal tersebut membuat politisi perempuan tersebut, tak punya kesadaran untuk melakukan kaderisasi kepada perempuan lain karena latar belakangnya yang sangat kental dengan dominasi laki-laki. Sehingga kepentingan yang dia bawa juga tak lepas dari itu.
Selain melakukan pengkaderan, perempuan-perempuan dalam parlemen juga perlu untuk membangun jaringan bersama agar dapat menyamakan sikap dan pandangan mereka untuk melihat sebuah permasalahan yang ada.
Baca Juga: Inisiasi Energi Terbarukan Untuk Masyarakat Sumba
Sering kali di Indonesia, para politisi perempuan masih terikat dan disekat oleh ideologi serta kepentingan partainya masing-masing sehingga tak kunjung bisa menyamakan sikap atas suatu kebijakan yang sedang dibahas. Hal ini seperti yang tergambar dalam pembahasan UU TPKS, di mana fraksi partai PKS meskipun mempunyai perwakilan perempuan, tetapi tetap teguh menolak karena menganggap aturan itu melanggengkan seks bebas yang tidak sesuai ideologi partai mereka.
Perempuan di pemerintahan juga tak cukup hanya membangun jaringan di lingkungannya saja. Mereka harus mampu juga menguatkan jaringan di luar pemerintahan seperti dengan organisasi-organisasi sipil pergerakan perempuan dan para akademisi. Hal ini membuat para perempuan di pemerintahan mempunyai dasar representasi yang kuat dan hubungan antar-konstituen dan wakil-nya tetap solid. Upaya-upaya ini membuat aspirasi yang ada di tengah masyarakat perempuan di bawah, dapat dengan cepat disampaikan dalam pembahasan di parlemen sehingga mampu menciptakan kebijakan yang mengatasi persoalan tersebut.
Politisi perempuan juga perlu untuk meningkatkan kualitasnya dalam hal bernarasi, berdebat, dan bernegosiasi dalam pemerintahan agar agenda perempuan yang dibawanya dapat mengundang perhatian publik dan anggota parlemen lain. Maka dari itu, politisi perempuan juga perlu memanfaatkan media sebagai corong pembuat narasi dan pemengaruh opini masyarakat agar isu yang mereka angkat menjadi urgen untuk dibahas dan diselesaikan oleh pemerintah.