#BasaBasiReformasiPolri: 4 Alasan Kenapa Kita Harus Tolak Revisi RUU Polri
Dari penambahan wewenang yang berlebihan hingga ancaman kebebasan berbicara di ruang siber.
Penetapan Rancangan Undang-undang (RUU) Perubahan Ketiga UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri sebagai usul inisiatif DPR pada (28/5), menuai kontroversi. Selain dibahas dengan mengesampingkan prosedur legislasi yang semestinya, RUU ini gagal menyoroti masalah fundamental di tubuh kepolisian.
Muhammad Isnur, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyampaikan, revisi RUU Polri berpotensi menjadikan polisi sebagai alat kekuasaan yang otoriter. “RUU ini adalah bagian dari ciri-ciri kebijakan atau kelembagaan yang otoritarian. Jadi ini adalah ciri-ciri menguatnya kehendak untuk menjadikan polisi alat otoriter,” kata Isnur kepada Magdalene, (3/7) via telepon.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta di laman resminya mencatat, terdapat beberapa pasal bermasalah yang termuat dalam RUU Polri. Penjabaran terkait deretan pasal ini merupakan hasil diskusi yang dilakukan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Reformasi Kepolisian (Reform For Police) pada (2/6) lalu di Jakarta.
Dari pelebaran kewenangan kepolisian sampai pelegalan penyadapan, berikut Magdalene rangkum beberapa pasal bermasalah yang termuat dalam RUU Polri:
Baca juga: 5 Pasal Bermasalah dalam Revisi UU Penyiaran
Kebebasan di Ruang Digital Yang Terancam
Merambah ke pengaturan ruang digital, lewat RUU Polri, polisi dapat secara bebas melakukan tindakan apapun tanpa proses hukum yang jelas di ruang maya. Sesuai dengan aturan yang tertera pada Pasal 14 ayat (1) huruf b dan Pasal 16 Ayat 1 Huruf (q) pada RUU Polri, nantinya, polisi dapat melakukan kegiatan pembinaan, pengawasan, dan pengamanan ruang siber secara penuh.
Otoritas yang didapat atas ruang siber ini tentunya juga disertai dengan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan represif. Secara penuh, lewat RUU Polri, polisi dapat melakukan penindakan, pemblokiran atau pemutusan, hingga memperlambat akses ke ruang siber untuk tujuan dalam negeri.
Tanpa pertimbangan yang jelas, alih-alih melindungi masyarakat, pengaturan terkait pengawasan ruang siber oleh polisi ini justru bisa membuka ruang lebar bagi subjektifitas polisi. Dikutip dari laman LBH Jakarta, tindakan-tindakan memperlambat dan memutus akses internet sendiri sejauh ini selalu digunakan sebagai alat peredam protes dan aksi masyarakat. Seperti yang terjadi di Papua dan Papua Barat pada 2019 lalu, pengesahan RUU satu ini pun bisa mempersempit ruang bebas berpendapat di dunia maya, khususnya pada ruang-ruang yang penuh terisi dengan kritik terhadap pemerintah.
Baca juga: Mahkamah Rakyat Luar Biasa Adili 9 Dosa Besar Jokowi
Polisi Bisa Bebas Menyadap
Pada RUU Polri, polisi bisa bebas menyadap, sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf o. Meskipun dijelaskan, penyadapan harus dilakukan sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang penyadapan. Masalahnya, sampai saat ini, Indonesia belum memiliki pengaturan yang pasti terkait tindak penyadapan.
Aturan terkait penyadapan merupakan sesuatu yang rentan menciptakan diskresi pada tubuh kepolisian. Sebab, ketika kewenangan penyadapan diberikan penuh kepada polisi, mereka bisa bertindak sewenang-wenang atau semaunya sendiri.
Kewenangan semacam ini juga rentan bertentangan dengan aturan lembaga penegak hukum lainnya, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Secara berbeda, anggota kepolisian tidak perlu mendapatkan izin jika ingin melakukan penyadapan. Sebaliknya, dalam UU KPK, diatur bahwa penyadapan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pengawas KPK.
Baca juga: 3 Alasan Kenapa Ormas Keagamaan Jangan Kelola Tambang
Melebihi Kewenangan Lembaga Lain soal Intelijen
Melalui Pasal 16A RUU Polri, polisi juga bisa melakukan penyelidikan, pengamanan, hingga penggalangan intelijen dalam fungsi intelkam. Dilansir dari bantuanhukum.com, penggalangan intelijen sendiri merupakan tindakan untuk memengaruhi sasaran dengan tujuan mengubah perilaku atau tindakan sesuai dengan keinginan dari pihak yang melakukan penggalangan.
Mengacu pada fungsi yang tertera pada RUU Polri, kepolisian bisa menagih data intelijen dari lembaga-lembaga lain yang menjalankan fungsi intelijen. Dengan kata lain, apabila nantinya RUU ini disahkan, institusi kepolisian memiliki otoritas yang cukup tinggi, bahkan melebihi lembaga-lembaga lain yang mengurus soal intelijen.
Pengaturan soal kewenangan Intelkam yang tertuang pada Pasal 16B RUU Polri juga menuai kontroversi. Pasalnya, mengutip dari laman resmi LBH Jakarta, perluasan kewenangan ini memperbolehkan Intelkam Polri untuk melakukan penangkalan dan pencegahan terhadap kegiatan tertentu guna mengamankan kepentingan nasional. Diksi ‘kepentingan nasional’ tidak memiliki definisi operasional yang detail. Hal ini, rentan menciptakan ambiguitas dalam tindak penangkalan dan pencegahan yang dilakukan oleh Intelkam kepolisian.
Menjadi Lembaga Superbody Investigator
Pada Pasal 14 Ayat 1 (g) RUU Polri disebutkan, polisi berwenang mengawasi dan melakukan pembinaan teknis kepada penyidik di berbagai lembaga negara. Lewat aturan ini, Polri dapat menjadi lembaga superbody karena mampu menentukan langkah-langkah intervensi dari tahap rekrutmen penyelidik dan penyidik KPK, sampai dengan pelaksanaan tugas dari KPK dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS).
Selain itu, pada Pasal 16 ayat (1) huruf o Revisi UU Kepolisian dijelaskan, polisi dapat memberi petunjuk dan bantuan Penyelidikan dan/atau Penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil dan/atau penyidik lainnya. Intervensi yang termuat dalam klausul ini berpotensi memberikan Polri kewenangan supervisi yang cukup besar. Polisi, dalam RUU ini, ditempatkan sebagai lembaga tertinggi dalam urusan penyidikan.
Isnur sendiri mengatakan, aturan terkait penyidikan ini berbahaya bagi independensi lembaga seperti KPK. Kewenangan supervisi yang dimiliki polisi juga bisa mengganggu pertahanan negara.
“Jadi di situ kalau mau rekomendasi pengangkatan penyidik PPNS, penyidik yang lain, harus atas rekomendasi polisi. Berarti kan penyidik korupsi di kejaksaan, penyidik korupsi di KPK, penyidik perburuhan di pasar kerja, penyidik lingkungan hidup, itu akan ada semua di bawah supervisi atau koordinasi dari Polri. Itu merusak pertahanan. Kita bisa lihat semua kehendak kekuasaan itu ada di situ.” pungkas Isnur.
Dalam rangka HUT Bhayangkara, Magdalene merilis series liputan bertajuk #BasaBasiReformasiPolri yang akan tayang sepanjang Juli 2024.