‘Passing’ dan Rekonstruksi Patriarki ala Komunitas Trans
Konstruksi gender biner yang dominan dalam masyarakat Indonesia diamini juga oleh orang-orang trans.
Pada Desember 2016, saya dan beberapa kawan transpria berlibur di Bandung dalam rangka menyambut tahun baru. Liburan yang istimewa, karena beberapa kawan berasal dari Surabaya. Sebuah hal yang sangat menyenangkan, mengingat betapa kecilnya komunitas kami.
Suatu sore, kami janjian dengan salah satu kawan kami dari Bandung untuk ngopi. Kapan lagi kami bisa berkumpul dengan teman yang sama dengan kami? Apalagi kami sudah saling mengenal di dunia maya dan saling mendukung transisi satu sama lain.
Obrolan sore itu terasa cair. Kami berdiskusi mengenai hal-hal yang tidak jauh dari kehidupan kami sebagai transpria. Beberapa jam berselang, datang lagi kawan kami yang lain. Sebut saja namanya Budi. Abdul, kawan kami yang sejak tadi sudah bersama kami, memandangi Budi dengan tatapan terkejut. Diperhatikannya Budi dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Ia berbisik pada saya, “Itu siapa? Siapa yang ngundang?”
Pertanyaan itu dijawab oleh Rino, “Gue yang ngundang. Kenapa?”
Abdul tidak berkomentar lagi. Belakangan, ia menceritakan ketakutannya ketika bertemu orang yang belum ia kenal, terutama jika sedang berada dalam lingkaran komunitas transpria. Apalagi jika menurutnya orang yang duduk bersamanya tidak terlalu terlihat seperti “laki-laki” atau membuat orang-orang di sekitar mereka meragukan jenis kelamin orang tersebut.
Abdul memang tidak melela sebagai transpria di ruang publik. Ia bahkan menutup rahasia itu rapat-rapat. Tidak boleh banyak yang tahu kalau dirinya adalah transpria. Baginya, lahir sebagai perempuan adalah masa lalu yang harus dikubur.
Sama halnya dengan kawan-kawan transpuan. Dalam sebuah obrolan dengan mereka, salah seorang transpuan berkata pada temannya, “Muka lo kalau enggak make up kayak laki!” atau “Makanya, waria kalau mau keluar rumah pake bra!”
Itu hanya sebagian kecil dari contoh kebutuhan komunitas trans untuk passing atau dalam istilah mereka disebut “enggak kwetong”.
Passing adalah kondisi di mana orang-orang di sekitar seorang transgender tidak mengetahui bahwa ia adalah transpria atau transpuan, terutama jika dilihat secara fisik. Misalnya, seorang transpria yang secara fisik mengikuti stereotip laki-laki pada umumnya.
Konstruksi biner
Perkara passing ini menjadi krusial bagi seorang trans. Dimulai sejak seseorang mulai mengidentifikasikan dirinya sebagai transgender. Konstruksi gender biner masih dominan dalam masyarakat Indonesia, yang pada umumnya hanya mengakui laki-laki dan perempuan, sepaket dengan segala kriteria fisik dan sosialnya.
Berangkat dari konstruksi ini, muncul kebutuhan dari diri seorang trans untuk dapat masuk ke dalam kriteria tersebut. Misalnya, seorang transpuan yang harus tampil feminin, berambut panjang, memiliki payudara, menggunakan tata rias, dan sebagainya. Sementara transpria harus terlihat maskulin, berambut pendek, bertubuh kekar, berkumis, dan seterusnya. Kotak-kotak biner ini mereka pilih untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat.
Media pun tidak kalah penting dalam mempromosikan standar tubuh dan kecantikan. Minimnya informasi tentang trans yang berasal dari dalam negeri membuat komunitas ini mencari dan mendapatkan informasi yang berasal dari luar negeri. Banyak representasi trans di media yang secara langsung maupun tidak langsung turut mempromosikan standar tubuh dan kecantikan yang umum. Informasi ini kemudian menjadi kiblat bagi mereka dalam menentukan stardar tubuh demi menunjang transisinya. Misalnya, transpria berkiblat ke Amerika Serikat dan Eropa, sedangkan transpuan berkiblat ke Thailand.
Konstruksi yang didukung oleh media ini berdampak secara signifikan pada kondisi trans di Indonesia. Keinginan untuk dapat segera memenuhi standar ketubuhan kemudian membuat seorang trans melakukan transisi yang tidak aman. Selain karena terbatasnya akses kesehatan yang dapat mendukung transisi, banyak oknum yang mencari keuntungan dari kondisi ini.
Sebut saja jual beli hormon, injeksi silikon, calo operasi, jual beli surat diagnosa, hingga calo layanan hukum. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh oknum trans sendiri. Sudah menjadi rahasia umum di komunitas transpuan adanya korban injeksi silikon ilegal yang meninggal dunia. Iming-iming cantik dengan harga miring dari para senior membuat mereka tidak mempertimbangkan keputusan dengan matang. Informasi yang mereka dapat sangat terbatas, hanya untuk kepentingan penjualan semata. Efek samping dari penggunaan hormon dan injeksi silikon bahkan tidak dijelaskan.
Standar ketubuhan ini membuat sebagian orang tidak pernah puas. Transisi dan memulai hidup baru menjadi tujuan terbesarnya. Dalam komunitas sendiri, tidak jarang kami membanding-bandingkan transisi kami dengan teman-teman kami.
Seorang transpria yang bekerja sebagai tenaga kerja Indonesia di Hongkong pernah bertanya pada saya, “Bro, kamu pakai hormon apa? Kalau ganti pakai itu, saya bisa numbuhin jenggot kayak kamu enggak?” Padahal yang bersangkutan sudah menggunakan testosteron lebih dulu dari saya.
Ketika berinteraksi dengan kawan-kawan transpuan, tidak jarang saya mendengar ungkapan-ungkapan seperti berikut:
“Aku mau pakai obat ini aja. Soalnya kata anak-anak reaksinya lebih cepat bikin cantik.”
“Aku mah belum pakai hormon aja udah cantik, banyak yang mau.”
Bagi seorang trans, menjadi diri sendiri adalah hal yang sangat mahal di negeri ini. ‘Passing’ menjadi sebuah penghargaan atas keputusan besar dan segala pengorbanan tersebut.
Tidak heran kalau passing juga menimbulkan kesenjangan dalam komunitas trans. Mereka yang lebih passing menganggap dirinya lebih tinggi daripada yang tidak atau belum, dan begitu juga sebaliknya. Tidak jarang pula terjadi perisakan pada mereka yang tidak passing. Misalnya, transpuan yang berambut pendek dan maskulin. Padahal, urusan transisi adalah kebutuhan personal yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain.
Kondisi ini kemudian berlanjut pada invisibilitas komunitas trans yang rendah di Indonesia, terutama transpria. Karena mereka yang sudah dianggap passing memilih untuk membuang masa lalu mereka. Bahkan untuk berbagi soal proses yang telah mereka jalani pada sesama trans pun mereka tidak mau. Menurut mereka, kalau passing jangan setengah-setengah. Termasuk keharusan mengikuti peran-peran gender dalam patriarki, bahkan dalam hal-hal yang termasuk racun maskulinitas.
Kekerasan dan objektifikasi tidak hanya berlaku pada transpria yang menelan bulat-bulat konsep patriarki. Saya pernah mendengar cerita seorang kawan transpuan yang tidak melawan ketika mendapatkan kekerasan fisik dari pasangannya. Alasannya, “kalau dipukulin gue ngerasa makin pewong (perempuan).” Miris. Sama saja dengan mengamini bahwa perempuan layak menerima kekerasan dari pasangannya. Sementara transpria banyak yang secara sadar maupun tidak, menjadi pelaku kekerasan dalam relasi.
Salah satu standar passing yang kerap kali diamini komunitas trans adalah objektifikasi. Tidak semua trans melakukannya, namun objektifikasi dalam konteks relasi ini selalu menjadi pembicaraan dalam lingkaran komunitas transpria maupun transpuan.
Seorang transpria di Jakarta bercerita, “Gue tiap abis dugem pasti bawa pulang cewek. Saking banyaknya gue sampai lupa pernah tidur sama siapa aja. Nih, gue kasih tau. Cewek kalau udah mabok pasti mau diajak ngewe.”
Yang terjadi pada transpuan pun serupa tapi tak sama. “Saya lebih suka berperan sebagai tante girang dengan brondong-berondong-nya yang jumlahnya semakin lama semakin banyak,” ungkap seorang transpuan.
Bro, sis, apakah hal itu membuat kalian merasa paling ganteng atau cantik di dunia? Tidak selamanya indikator ganteng atau cantik hanya dari seberapa banyak yang mau berelasi atau berhubungan seks denganmu.
Keamanan dan kepercayaan diri
Apa yang membuat komunitas trans merasa penting untuk passing?
Pertama, keamanan. Tingginya angka kekerasan terhadap LGBT di Indonesia menjadi faktor utama. Masyarakat Indonesia belum mengenal SOGIESC sebagai bentuk keberagaman manusia. Seorang yang ekspresi gendernya tidak biner menjadi lebih rentan mengalami kekerasan, diskriminasi, dan persekusi. Ketakutan inilah yang memaksa seorang trans untuk bisa passing dan meletakkan dirinya dalam kotak biner laki-laki atau perempuan. Rasa aman dari passing ini kemudian meningkatkan kenyamanan diri pada seorang trans dalam menjalani hidupnya.
Kedua, lebih percaya diri dalam bekerja. Setiap orang membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup, tidak terkecuali seorang trans. Sulit bagi komunitas trans untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan minat mereka. Diskriminasi membuat lapangan pekerjaan yang ramah trans semakin terbatas. Seolah kami hanya memiliki dua pilihan, yaitu bekerja tidak sesuai dengan minat atau harus passing. Kepercayaan diri menjadi faktor yang meningkatkan produktivitas dalam bekerja.
Ketiga, agar tidak merasa sia-sia telah melakukan transisi. Banyak upaya yang harus dilakukan seorang trans untuk menjadi dirinya sendiri. Pengorbanan berupa tenaga, waktu, uang, hingga kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Bagi seorang trans, menjadi diri sendiri adalah hal yang sangat mahal di negeri ini. Passing menjadi sebuah penghargaan atas keputusan besar dan segala pengorbanan tersebut.
Apakah passing adalah segala solusi dari permasalahan komunitas trans? Belum tentu.
Seorang trans yang passing sekalipun kerap menghadapi kendala ketika berhadapan dengan masalah administrasi, karena jenis kelamin yang tertulis pada KTP tidak sesuai dengan penampilan yang ada. Ini menyulitkan seorang trans yang tidak atau belum melakukan transisi secara hukum. Tidak semua trans yang passing nyaman menjelaskan tentang identitas mereka saat mengakses layanan publik.
Sama seperti pengalaman saya ketika harus mengambil uang dari Western Union melalui kantor pos. Penerima uang harus menunjukkan minimal dua identitas resmi untuk verifikasi. Saat itu saya membawa KTP dan paspor saya, dengan pertimbangan foto saya di keduanya paling sesuai dengan wajah saya saat ini, walaupun jenis kelamin saya secara hukum belum diganti.
Petugas yang melakukan verifikasi pun bertanya pada saya, “Mas, mohon maaf banget. Ini di KTP sama paspor jenis kelaminnya perempuan. Tapi, kok yang datang laki-laki?”
Saya sudah sering menghadapi perkara macam ini. “Iya mbak. Nama penerima sama nama di ID sama enggak? Terus foto paspor saya sama kan sama muka saya?”
“Iya sih, mas. Kok bisa ID-nya kayak gini ya?” tanyanya.
“Soalnya belum diganti, Mbak. Hehehehe,” jawab saya dengan muka bocah polos memelas.
“Oh, masnya trans ya? Mohon maaf ya mas. Bukan maksud saya menyinggung. Soalnya untuk kebutuhan verifikasi harus jelas. Ada identitas lain enggak, mas?”
“Hahahaha… enggak apa-apa, mbak. Sudah biasa.”
Saya pun membongkar dompet dan mengeluarkan SIM A, SIM C, kartu alumni, dan kartu lisensi kerja yang semuanya bernama sama. Proses verifikasi pun lancar dan saya bisa membawa pulang uang tersebut.
Itu hanya satu dari sekian banyak pengalaman saya. Saya memang passing secara fisik sebagai laki-laki yang sangat maskulin. Kalau saya tidak bilang, tidak akan ada orang yang tahu kalau saya seorang trans. Mungkin saya sudah terbiasa menghadapi pengalaman seperti itu. Namun, di luar sana masih banyak kawan-kawan trans yang tidak tahu harus berbuat apa dalam situasi yang sama.
Kalau dilihat dari konsep patriarki yang hanya mengakui gender biner, seharusnya keberadaan trans mampu membongkar konstruksi tersebut. Namun, stigma dan diskriminasi membuat komunitas trans mau tidak mau mengikuti konstruksi tersebut dengan bentuk yang berbeda. Padahal, kita paham kalau stigma dan diskriminasi itu terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat tentang keberagaman gender dan seksualitas. Pengenalan ini tidak dapat terjadi tanpa keterlibatan dari komunitas trans sebagai bagian dari masyarakat.
Sayangnya, saat ini komunitas trans belum membongkar patriarki. Mereka hanya merekonstruksinya dengan cara passing. Mau sampai kapan rantai ini berlanjut? Hanya waktu dan komunitas trans yang bisa menjawabnya.