Pelayanan Kesehatan Reproduktif Harus Jangkau Anak Muda
Dalam masyarakan Indonesia yang konservatif, layanan kesehatan seksual dan reproduktif telah secara keliru ditargetkan untuk pasangan yang belum menikah, padahal seharusnya juga tersedia untuk setiap anak muda, yang sudah menikah ataupun belum.
“Kenapa sih, sulit sekali mencari pekerjaan?”
Sejak lulus kuliah dua bulan yang lalu, pertanyaan ini selalu bergema di kepala saya. Saya dan teman-teman sampai tak punya topik yang lebih menarik untuk dibicarakan selain semangat– atau mungkin rasa takut–yang kami dapatkan ketika melamar kerja. Saat bertemu, percakapan kami hanya seputar “bagaimana si A menderita di perusahaan B, atau bagaimana si C tiba-tiba banting setir ke industri D”.
Namun, ada satu teman yang jadi pengecualian dari percakapan tersebut. Ia belum melamar kerja, belum pernah melakukan wawancara — bukan karena ia memilih untuk langsung melanjutkan kuliah ke jenjang berikutnya, tapi karena ia harus mengurus anaknya.
Teman saya menikah di usia 18 tahun, tepat setelah ia sadar bahwa ia telah mengandung anak pacarnya. Jangan kawatir, dia dan keluarganya sekarang baik-baik saja. Namun, yang ingin saya bahas adalah bagaimana lima tahun yang lalu ia tidak memiliki pilihan lain — dan bagaimana semua orang, termasuk saya, tidak menyadari bahwa seharusnya ada.
Lima tahun lalu, ketika kami berumur 18 tahun, tidak pernah terdengar oleh kami apa yang disebut dengan Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (atau Sexual Reproductive Health and Rights dalam bahasa Inggris, yang kemudian disingkat jadi SRHR) — yang apabila dapat diakses dengan mudah oleh remaja yang memiliki kasus sama seperti teman saya, dapat memberi mereka lebih banyak pilihan hidup.
Seharusnya, kami semua yang pada saat itu masih remaja dapat mengakses pelayanan SRH, yang termasuk edukasi dan konsultasi tentang pemahaman seksual secara komprehensif. Hak ini seharusnya dihargai dan pelayanannya diberikan oleh pemerintah tanpa pandang bulu — tapi aksesnya tidak ada bagi kami saat itu, dan juga masih sulit didapatkan sekarang.
Jangan bertanya, jangan beritahu
Bagaimana anak muda seperti saya mengakses informasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi? Karena penasaran, saya bertanya ke sana ke mari. Jawabannya, tentu saja, kebanyakan dari Internet — karena rasanya bodoh untuk bertanya pada orang lain sesuatu yang bisa kita temukan di Google, bukan?
“Dari nyokap.. alias ibu Google”, kata satu teman, sebelum menertawakan kemustahilan bertanya ke orang yang lebih tua, apalagi ibunya, mengenai informasi kesehatan reproduksi. Satu teman lain, seorang laki-laki, berkata bahwa ia mendapat informasi-informasi ini dari situs Reddit.
Intinya, kami takut bertanya. Namun, ketika akhirnya kami memberanikan diri, mereka tidak mau memberitahu. Dari 15 orang yang menjadi kelompok responden kecil saya, ada satu teman yang bercerita bahwa ia pernah pergi ke suatu klinik untuk mendapatkan informasi seksual dan reproduksi. Teman saya ini, tentunya belum menikah, pergi ke seorang dokter kandungan di sebuah klinik untuk konsultasi mengenai suatu masalah yang ia alami. Ujungnya, ia dicap sebagai perempuan tidak baik dan dituduh telah berhubungan seks sebelum menikah. Ia kemudian mencari klinik lain, dan akhirnya menemukan suatu klinik yang ia sebut ideal karena “tidak menghakimi”.
“Merasa dihakimi” adalah apa yang anak muda deskripsikan sebagai alasan untuk tidak datang ke tempat pelayanan kesehatan publik, atau bertanya pada orangtua mereka mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Selain itu, banyak juga teman saya yang memegang prinsip tidak akan berhubungan seks sampai menikah. Menurut mereka, karena prinsip tersebut, mereka tidak butuh informasi SRHR sekarang. Mungkin beberapa tahun lagi.
Ini adalah akar dari banyaknya masalah kesehatan reproduksi di Indonesia: kesalahpahaman bahwa untuk mendapatkan akses ke pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi, seseorang harus dinyatakan “aktif” berhubungan seks terlebih dahulu. Miskonsepsi ini, yang kemudian teraduk dengan unsur agama dan budaya, tidak mengakui aktivitas seks sebelum menikah, dan kemudian menyebabkan pelayanan SRHR hanya dibatasi pada pasangan yang sudah menikah. Ini tidak benar.
Pertanyaannya adalah, apabila batasan-batasan tersebut masih ada di kehidupan perkotaan, bagaimana dengan anak muda yang hidup di daerah terpencil di Indonesia? Apa yang harus mereka lewati ketika ingin mengakses pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi? Anak muda yang hidup di komunitas yang termarjinalisasikan menghadapi batasan yang jauh lebih besar dari kita, batasan-batasan hasil stereotip gender dan budaya. Karena minimnya akses SRHR, mereka jadi sasaran empuk pernikahan anak, kehamilan yang tak diinginkan, bahkan infeksi menular seksual.
Apalagi pendidikan seks dan pelayanan kesehatan preventif, ketika diberikan pada anak muda, hanya menjangkau mereka yang ada di sekolah. Sedangkan, menurut Badan Pembangunan Nasional (Bappenas), presentase anak usia 16-18 tahun di daerah miskin yang dapat bersekolah hanya mencapai 43 persen. Hal ini menjelaskan mengapa 60 persen permasalahan kesehatan reproduksi di Indonesia terjadi pada remaja yang tidak sekolah, menurut Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI).
Lucu bagaimana pelayanan kesehatan reproduksi di negara kita mengabaikan target utamanya. Padahal, anak muda di Indonesia merupakan golongan yang seharusnya dijaga agar dapat tetap produktif bekerja. Jika Anda seorang remaja Indonesia berumur 16 hingga 25 tahun seperti saya, Anda adalah bagian dari apa yang disebut Bank Dunia sebagai “bonus demografi”.
Saat ini, jumlah kita mencapai angka 65 juta — generasi anak muda terbesar yang pernah dimiliki Indonesia. Artinya, kontribusi kita sangat penting bagi perkembangan perekonomian negara 15 tahun ke depan.
Selain, rasio kematian ibu saat melahirkan di Indonesia telah meningkat dari 228 kematian per 100.000 kelahiran di 2007, menjadi 359 kematian di 2012, dengan sebagian besar ibu adalah wanita muda, bahkan remaja. Menurut Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), jumlah aborsi meningkat 15 persen tahun lalu, dengan 800.000 dari totalnya dilakukan oleh remaja perempuan.
Untuk benar-benar menghapus batasan yang ada pada pelayanan kesehatan reproduksi bagi remaja, dibutuhkan suatu pendekatan holistik. Apapun yang dilakukan tidak akan signifikan tanpa adanya tindakan pemerintah menghapus semua hukum dan peraturan — baik pada tingkat pusat ataupun daerah yang menghalangi akses ke pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi bagi remaja. Selain itu, harus ada pelatihan dan edukasi bagi petugas-petugas kesehatan yang bekerja di garis depan, seperti bidan, agar tidak diskriminatif pada remaja.
Kepercayaan agama dan budaya memang dapat membatasi aktivitas seksual seseorang, namun seharusnya keduanya tidak membatasi akses pada kesehatan seksual dan reproduksi, ataupun penegakkan hak terhadapnya. Setiap remaja di Indonesia–menikah ataupun tidak–berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersahabat, dimana mereka dapat mengakses informasi dan mengajukan konsultasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi dengan nyaman, tanpa merasa dihakimi.
Haryani Dannisa berusia 20an dan senang membaca dan menulis untuk membuat keingintahuan dan jiwanya terus waspada. Ia baru lulus dari jurusan jurnalistik di Universitas Indonesia.